Mengapa Pendidikan Seks Penting?
Maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi belakangan ini tidak lagi hanya mengancam para remaja yang rentan terhadap informasi yang salah mengenai seks. Eksploitasi seks pada anak dibawah umur nyatanya juga sering terjadi oleh orang-orang terdekat yang bahkan dilakukan oleh keluarga korban sendiri. Meningkatnya kasus kekerasan merupakan bukti nyata kurangnya pengetahuan anak mengenai pendidikan seks yang seharusnya sudah mereka peroleh dari tahun pertama oleh orang tuanya. Tetapi persepsi masyarakat mengenai pendidikan seks yang masih menganggap tabu untuk dibicarakan bersama anak menjadi sebab yang harus dibenahi bersama untuk membekali anak melawan arus globalisasi yang semakin transparan dalam berbagai hal termasuk seksualitas.
Pendidikan seks seharusnya menjadi bentuk kepedulian orang tua terhadap masa depan anak dalam menjaga apa yang telah menjadi kehormatannya, terlebih bagi seorang perempuan. Pendidikan seks menjadi penting mengingat banyaknya kasus-kasus yang terjadi mengenai tindak kekerasan seksual terhadap anak dan remaja. Tetapi yang terjadi di lapangan justru orang tua bersikap apatis dan tidak berperan aktif untuk memberikan pendidikan seks sejak usia dini kepada anaknya. Mereka beranggapan bahwa pendidikan seks akan diperoleh anak seiring berjalannya usia ketika ia sudah dewasa nanti. Mereka seolah menyerahkan pendidikan seks kepada pihak sekolah sebagai sumber ilmu bagi anaknya. Padahal pendidikan seks sendiri belum diterapkan secara khusus dalam kurikulum sekolah. Kurangnya pengetahuan orang tua terhadap kebutuhan anaknya sendiri dalam mengahadapi tuntutan zaman yang semakin berkiblat ke arah barat menjadi faktor utama belum tersampaikannya pendidikan seks sejak usia dini di lingkup keluarga.
Hasil penelitian yang dikutip dari sebuah Jurnal Pemikiran Alternatif Pendidikan mengenai Pendidikan Seks pada Usia Dini oleh Moh. Roqib menunjukkan bahwa 97,05% mahasiswa di Yogyakarta telah kehilangan keperawanannya. Nyaris 100% atau secara matematis bisa disepadankan dengan 10 gadis dari 11 gadis sudah tidak perawan yang diakibatkan oleh hubungan seksual. Fakta yang sangat memprihatinkan melihat kondisi remaja saat ini yang tengah terancam dalam mempertahankan kesucian dirinya baik karena paksaan atau karena sama-sama suka saat melakukannya (free sex). Hal ini menunjukkan bahwa perlunya pendidikan seks untuk diberikan sejak usia dini guna memberikan informasi dan mengenalkan kepada anak bagaimana ia harus menjaga dan melindungi organ tubuhnya dari orang yang berniat jahat terhadap dirinya.
Pandangan masyarakat sepertinya masih terlalu sempit dalam mengartikan seks yang hanya dianggap sebagai aktivitas mesum hingga ke hal-hal yang lebih intim. Makna seks sebenarnya menurut KBBI adalah jenis kelamin, maksudnya disini adalah jenis kelamin yang membedakan pria dan wanita secara biologis. Namun karena kurangnya pengetahuan para orang tua itulah yang menjadikan pendidikan seks belum diajarkan kepada anak bahkan sebagian besar remaja pun tidak memperoleh pengajaran tentang pendidikan seks dari keluarga terutama dari orang tuanya sehingga mereka mendapatkan informasi yang tidak tepat bahkan cenderung menjerumuskannya untuk melakukan apa yang mereka temukan dari informasi yang tidak bertanggung jawab tersebut.
Para ahli di bidang kejahatan seksual terhadap anak menyatakan bahwa aktivitas seksual pada anak yang belum dewasa selalu memunculkan dua kemungkinan pemicu: pengalaman dan melihat. Hal ini berarti anak-anak yang menyimpang secara seksual sering melihat adegan seks tanpa penjelasan ilmiah yang selalu membangkitkan birahinya dan menimbulkan kecanduan. (Andika, 2010:31).
Namun seberapa jauh pendapat tersebut dapat dibenarkan?
Dalam sebuah penelitian yang dikutip dari buku Bicara Seks Bersama Anak oleh Alya Andika (2010) menyatakan bahwa dari 600 lelaki dan perempuan usia SMP ke bawah di AS, peneliti Dr. Jennings Bryant menemukan bahwa 91% lelaki dan 82% wanita mengaku telah menonton film porno atau yang berisi kekerasan seksual. Lebih dari 66% lelaki dan 40% wanita dilaporkan ingin mencoba beberapa adegan seks yang telah ditontonnya. Di antara siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) tersebut, 31% lelaki dan 18% wanita mengaku benar-benar melakukan beberapa adegan dalam film porno itu beberapa hari setelah menontonnya.
Senada dengan penelitian tersebut, berdasarkan hasil survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat 62,7% remaja Indonesia tidak perawan lagi. Hasil peneitian tahun 2008 tersebut menyebutkan bahwa dari 4.726 responden siswa SMP/SMA di 17 kota besar menunjukkan bahwa 21,2% mengaku pernah melakukan aborsi. (tribunnews.com)
Seks memang bagian integral dalam kehidupan untuk mencapai kebahagiaan duniawi, tetapi ketika keberadaanya justru menjadi candu yang merusak moral anak bangsa, perlu adanya pembenahan bersama demi terselamatkannya masa depan mereka dari semakin terbukanya arus globalisasi lengkap dengan dampak negatif yang diterima anak akibat tidak adanya filtrasi dari orang tua dan pendidik di usia prasekolah. Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan informasi kepada orang tua dan pendidik usia prasekolah tentang pentingnya mengenalkan pendidikan seks beserta bagaimana memulai komunikasi dengan anak agar mereka memperoleh informasi yang tepat dalam menyikapi arus globalisasi yang semakin transparan dalam berbagai hal.
Pendidikan Seks Berdasarkan Usia
Semakin transparannya berbagai informasi yang bisa diakses lewat jaringan internet oleh setiap orang sangat memungkinkan bagi sebagian besar anak dan remaja untuk memanfaatkannya sebagai media penolong dalam memenuhi rasa keingintahuannya mengenai seks. Padahal tidak semua informasi yang tersebar di internet merupakan informasi yang tepat untuk dikonsumsi anak dan remaja yang masih rentan karena tidak adanya filtrasi dari diri mereka sendiri untuk memilah informasi mana yang tepat.
Pendidikan seks bisa ditanamkan sejak dini saat anak mulai mengajukan pertanyaan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas. Misalnya saat anak bertanya mengapa organ tubuh laki-laki berbeda dengan perempuan atau mengapa anak laki-laki harus berdiri ketika buang air kecil berbeda dengan anak perempuan yang harus jongkok. Dari pertanyaan sederhana itu, orang tua bisa memulai menanamkan pendidikan seks mulai dari tingkat paling dasar mengenai organ tubuh dan fungsinya. Semakin dewasa usianya orang tua dapat memberikan informasi yang lebih lengkap sehingga mereka tidak mencari tahu sendiri informasi-informasi yang tersebar bebas di internet tanpa adanya pembenaran yang akurat dan bertanggung jawab.
Menurut Sigmund Freud, pakar psikolog yang dikutip dari buku Ibu, Dari Mana Aku Lahir oleh Alya Andika (2010), tahapan perkembangan psikoseksual yang dilalui anak terbagi menjadi empat fase. Fase pertama adalah fase pragential, yaitu saat anak belum menyadari fungsi dan perbedaan alat kelamin antara laki-laki dan perempuan. Masa ini dibagi menjadi dua, yaitu masa oral (0-2 tahun) dan masa anal (2-4 tahun). Masa oral ditandai dengan kepuasan yang diperoleh anak melalui daerah oral atau mulut. Pada tahap ini, anak memperoleh informasi seksual melalui aktivitas mulutnya. Pada usia 0-1 tahun bayi mendapat perasaan nikmat ketika menyusu melalui puting susu ibunya. Sedangkan pada usia 1-2 tahun anak terlihat cenderung antusias memasukkan apa saja yang dilihat ke dalam mulutnya. Sementara pada masa anal, kepuasan anak didapat melalui daerah anusnya. Rasa nikmat dirasakan melalui aktivitas yang menyangkut proses pembuangan. Mereka cenderung berlama-lama di kamar mandi. Anak usia 2-4 tahun juga sering menahan kencing atau buang air besar.
Fase yang kedua disebut masa phallus, yaitu saat anak sudah mulai menyadari perbedaan seks antara dirinya dengan temannya yang berbeda jenis kelamin. Ketika memasuki umur 4 tahun, anak akan merasakan nikmat ketika alat kelaminnya disentuh atau diraba. Anak pun mulai suka membandingkan alat kelamin miliknya dengan temannya yang lain. Bahkan, pada anak laki-laki, mereka sering memegang atau menggosokkan alat kelaminnya. Anak juga akan mengalami fase laten yang umumnya berlangsung pada usia 6-10 tahun. Minat seksual berkembang menjadi berbagai bentuk sublimasi dari kemampuan psikis anak. Fase ini terbagi menjadi dua, yaitu bagian awal dan bagian akhir. Di bagian awal anak tidak lagi memperhatikan sensasi yang dirasakan alat kelaminnya. Sedangkan dibagian akhir anak mulai merasakannya kembali. Ini dikarenakan anak mulai beranjak mengenal dorongan seksual dan ketertarikan pada lawan jenis.
Tetapi seringkali orang tua tidak memahami perilaku anak ketika melakukan tahap perkembangan psikoseksual tersebut dan menganggapnya sebagai sesuatu hal yang terkesan belum waktunya untuk diberikan penjelasan mengenai seksualitas sehingga melewatkan pendidikan seks untuk diajarkan sejak dini kepada anak. Sejalan dengan pendapat Dr. Boyke Dian Nugraha, seorang ginekolog dan konsultan seks yang mengatakan bahwa anak-anak perlu diberikan pendidikan seks sedini mungkin dengan materi dan cara penyampaian pendidikan seks yang berbeda dengan orang dewasa, sehingga pendidik seks yang paling baik adalah orang tua anak sendiri.
Masih menurut Boyke dalam jurnal Perlunya Pendidikan Seks Pada Anak Sejak Usia Dini oleh Adel Adelia menerangkan bahwa secara garis besar pendidikan seks untuk anak dibagi ke dalam empat tahap berdasarkan usianya, yaitu usia 1-4 tahun, usia 5-7 tahun, usia 8-10 tahun dan usia 10-12 tahun. Pada usia 1-4 tahun, orang tua disarankan untuk mulai memperkenalkan anatomi tubuh, termasuk alat genitalnya. Kenalkan pada anak, ini mata, ini kaki, ini vagina dengan bahasa ilmiah tanpa menggunakan istilah lain agar ketika remaja anak tidak canggung untuk menyebutkannya. Pada usia 5-7 tahun rasa ingin tahu anak tentang aspek seksual biasanya meningkat. Mereka akan menanyakan kenapa temannya memiliki organ-organ yang berbeda dengan dirinya sendiri. Rasa ingin tahu itu merupakan hal yang wajar. Karena itu, orang tua diharapkan bersikap sabar dan komunikatif, menjelaskan hal-hal yang ingin diketahui anak. Jika anak laki-laki mengintip teman perempuannya yang sedang buang air, itu mungkin karena ia ingin tahu. Jangan hanya ditegur lalu ditinggalkan tanpa penjelasan. Terangkan bedanya anak laki-laki dan perempuan. Orangtua harus dengan sabar memberikan penjelasan pada anak.
Selanjutnya pada usia 8-10 tahun Anak sudah mampu membedakan dan mengenali hubungan sebab akibat. Pada fase ini, orangtua sudah bisa menerangkan secara sederhana proses reproduksi, misalnya tentang sel telur dan sperma yang jika bertemu akan membentuk bayi. Pada usia 11-13 tahun Anak sudah mulai memasuki pubertas. Ia mulai mengalami perubahan fisik, dan mulai tertarik pada lawan jenisnya. Ia juga sedang giat mengeksplorasi diri. Anak perempuan, misalnya, akan mulai mencoba-coba alat make up ibunya. Pada tahap inilah, menurut Boyke, peran orang tua amat sangat penting untuk berusaha melakukan pengawasan lebih ketat, dengan cara menjaga komunikasi dengan anak tetap berjalan lancar.
Seksualitas berkembang sejak masa anak-anak, remaja, sampai dewasa. Perkembangan ini meliputi perkembangan fisik dan psikis. Tahapan anak bermain dengan genitalnya merupakan fase yang normal. Oleh sebab itu, dugaan bahwa anak tengah melakukan mastrubasi merupakan pikiran yang tidak benar. Meski demikian, orang tua juga tidak boleh membiarkan anak asyik memainkan alat kelaminnya. Sebab, hal itu bisa menjadi kebiasaan buruk hingga anak dewasa nanti. (Faizah, 2012)
Bagaimana Memulai Komunikasi dengan Anak?
`
Menguasai munculnya perasaan seksual dan pembentukkan kesadaran terhadap identitas seksual merupakan proses yang beragam dan panjang. Hal tersebut melibatkan pembelajaran untuk menangani perasaan-perasaan seksual (seperti gairah seksual dan daya tarik), untuk mengembangkan bentuk-bentuk baru dari keintiman dan belajar keterampilan untuk mengatur perilaku seksual untuk menghindari konsekuensi yang tidak diinginkan. Identitas seksual muncul dalam konteks faktor-faktor fisik, sosial dan budaya, dengan kebanyakan orang menempatkan kendala terhadap perilaku seksual remaja. (Santrock, 2011:309)
Memahami besarnya keingintahuan anak tentang perilaku seksual yang sering dilihatnya mengharuskan adanya komunikasi yang intens antara orang tua dan anak agar informasi yang didapatkan bisa menjadi benteng pertahanan diri bukan malah menjerumuskan masa depan anak karena tidak mendapatkan informasi yang tepat. Pertanyaan-pertanyaan anak yang sering diajukan merupakan bentuk tahap perkembangan anak dalam bereksplorasi terhadap lingkungannya. Orang tua disarankan untuk tetap menjawab pertanyaan anak tersebut dengan tenang dan sesuai dengan pemahaman anak. Karena ketika orang tua terkihat bingung atau kaget ketika mendapatkan pertanyaan tersebut, anak justru merasa segan untuk bertanya kembali. Dalam benaknya terekam memori yang menyatakan bahwa dirinya telah menanyakan sesuatu yang salah. Hal ini akan berlangsung sampai ia dewasa dan akan kesulitan untuk mulai bertanya tentang seks terhadap orang tuanya.
Sebagai contoh pertanyaan yang lazim ditanyakan anak usia 3-6 tahun adalah, “Ibu, dari mana aku lahir?” Orang tua dapat menjawab, “Dari rahim Ibu, adek keluar melalui vagina (kemaluan perempuan)”. Bila anak bertanya lebih lanjut, orang tua dapat menjelaskan melalui buku yang benar, seperti ensiklopedia. Tunjukkan gambar yang ada di buku dengan metode KISS (Keep Information Short and Simple). Orang tua dapat menerangkan, “Kalau adek sudah mau keluar dari rahim Ibu, kemaluan ibu akan melar seperti karet gelang ini.” Bila anak sudah berhenti bertanya, tak perlu melanjutkan penjelasan. (Andika, 2010)
Pendidikan seks harus dimulai sejak dini dan bertahap sesuai perkembangan anak. Bila hal ini dilakukan saat beranjak dewasa mereka tidak akan mencari penjelasan dari lingkungan sekitar yang terkadang menyesatkan. Untuk mulai menciptakan komunikasi yang terbuka terhadap anak, orang tua bisa mendiskusikan beberapa hal berikut ini sesuai kesepakatan, yaitu (1) cara yang santun untuk mengungkapkan pendapat ke orang tua, (2) jam belajar anak dalam satu hari, (3) batas waktu anak keluar malam, (4) wilayah mana saja yang menjadi privasi anak dan orang tua, dan (5) tayangan televisi yang bisa ditonton oleh anak berdasarkan usia. (Andika, 2010:35-36)
Pembicaraan harus diawali dengan menaruh rasa hormat sehingga anak tidak menertawakan pertanyaan atau kata-kata yang diucapkan. Jika orang tua memberikan contoh bagaimana mengucapkan kata-kata “sensitif” dengan penuh hormat, maka anak meniru sikap tersebut. Mereka tidak akan merasa malu atau tertekan untuk membicarakan hal-hal yang masih dianggap jorok atau tabu bagi sebagian masyarakat.
Selain mengatur cara berkomunikasi, orang tua juga dapat menyisipkan peringatan-peringatan kecil sebagai proteksi dini bagi anak. Hal ini untuk menghindarkan si anak dari tindakan jahat yang akan dilakukan oleh orang lain pada dirinya. Tanamkan pada anak bahwa hanya ibu, dan ayah atau dokter saja apabila kamu sakit yang boleh melepaskan pakaianmu, menyentuh dan memeriksa bagian pribadi tubuhmu. Jangan mau diajak ke tempat yang sepi oleh siapapun.katakan pada anak bahwa apapun yang dia alami, ceritakan pada ayah atau ibu. Dan yang terakhir adalah jka ada orang yang mencoba mengancam anak, segera bertahukan ayah atau ibu karena mereka akan melindunginya. (Andika, 2010)
Urgensi dari pendidikan seks kepada anak adalah dengan menanamkan nilai-nilai agama yang kuat untuk membentuk karakter anak agar ketika dewasa nanti anak memiliki bekal yang kuat dalam dirinya untuk tidak terjerumus dalam pergaulan seks bebas. Nilai agama sangat berperan penting sebagai dasar pemahaman anak untuk dapat menjaga dirinya dengan baik.
Tidak disangsikan lagi bahwa Islam tidak sekedar menganjurkan perbaikan perilaku seksual pada dunia anak-anak, melainkan juga (dan ini palin utama) dalam kehidupan orang dewasa. Sebab jika seorang pendidik muslim berhasil dalam menata kegiatan seksual pada orang dewasa, hal itu akan berpengaruh terhadap pendidikan seksual pada anak, dimana orang dewasa, secara khusus orang tua, mengajarkan kepada anak sikap-sikap seksual yang aman atau sehat. (Yusuf, 2004:184)
Kesimpulan
Pada dasarnya, seksualitas adalah pembelajaran jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan. Tidak hanya itu, seksualitas berkaitan dengan segala sesuatu mengenai organ reproduksi. Termasuk pula cara merawat kebersihan dan menjaga kesehatan organ vital. Namun perlu dipahami, pendidikan seks berbeda dengan pengetahuan reproduksi. Pendididkan seks bertujuan untuk mengenalkan anak tentang jenis kelamin dan cara menjaganya baik dari sisi kesehatan dan kebersihan, keamanan, serta keselamatan. Sementara pengetahuan reproduksi sangat berkaitan dengan proses perkembangbiakan makhluk hidup. Reproduksi memungkinkan kelangsungan hidup suatu spesies. Manusia, hewan, dan tumbuhan dapat berkembang biak karena peran reproduksi.
Pendidikan seks pendidikan mengenai kesehatan reproduksipenting diberikan lewat keluarga maupun kurikulum sekolah. Sedini mungkin anak harus bisa menjaga dirinya sendiri. Prinsip penting yang harus mereka ketahui adalah tidak mudah percaya pada orang yang bau dikenal. Untuk orang yang sudah dikenal dekat pun, tekankan untuk tetap mawas diri. Bukan berartibmengajarkan anak untuk mudah curiga pada orang lain, namun sikap mawas diri ini akan berguna bagi pembentukkan sikap mandiri dan teguh memegang pendirian.
Daftar Pustaka:
Andika, Alya. 2010. Ibu, Dari Mana Aku Lahir. Yogyakarta : Pustaka Grhatama
John W. Santrock. 2011. Masa Perkembangan Anak. Jakarta : Salemba Humanika
Madan, Yusuf. 2004. Sex Education For Children (Panduan Islam Orang Tua dalam Pendidikan Seks untuk Anak). Bandung : Hikmah PT Mizan Publika
Moh. Roqib. 2008. Pendidikan Seks pada Anak Usia Dini. Jurnal Pemikiran Alternatif Pendidikan. Vol. 13 No. 2. P3M STAIN Purwokerto.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H