Mohon tunggu...
Vika Kurniawati
Vika Kurniawati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Freelancer

| Content Writer

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Akhirnya Ada Wayang Potehi di Jemari Saya

5 Februari 2018   08:39 Diperbarui: 15 Februari 2018   13:49 1963
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wayang Kwan Kong. Doc:Riana Dewie

Ujung lengan jaket merah sedetik berpindah ke hidung Saya. Setitik curahan langit menetap di dahi, dan setali tiga uang dengan keadaan dua alas kaki. Kampung Ketandan selain dipadati pencinta kuliner serta seni, juga disayangi oleh langit malam saat perayaan Cap Go Meh. Semua merah.

Saya memang tidak merayakan imlek secara khusus, namun selalu jatuh cinta pada suasana yang terbangun. Lontong Cap Go Meh menjadi godaan pertama dari salah satu mentor untuk menyusuri 30 menit perjalanan dari kediaman. Setelah menemukan kuliner yang memang tak perlu diragukan akan membuat rindu, Saya melangkah ke ujung jalan. Jauh dari kerumunan, untuk membuat memori tersendiri.

Kampung Ketandan. Doc:Pribadi.
Kampung Ketandan. Doc:Pribadi.
"Jreng!"  Saya sejurus sedikit melompat mendekati teman yang berada di samping. Saya tahu bahwa sumber suara Simbal tersebut ada dibalik panggung Wayang Potehi. Hanya saja tidak mengira bahwa pertunjukan akan segera dimulai. Dalam hitungan menit kemudian suara pria yang terdengar sudah paruh baya menyebutkan bahwa kisah "Zaman Tiga Negara" akan segera dimulai. Saya sedikit mengenal kisah tersebut dari media lain, dan penasaran bagaimana bila dijabarkan melalui Wayang Potehi. Mungkin Anda pernah mendengar tentang Cao Cao ahli strategi?

Lontong Cap Go Meh. Doc:Pribadi.
Lontong Cap Go Meh. Doc:Pribadi.
Panggung berbentuk kotak dengan perkiraan panjang 2,5 m, lebar 2 m dan tinggi 1,5 m yang dihiasi kain merah khas perayaan Imlek, terlihat menjadi pusat perhatian. Saya kemudian berdiri beberapa langkah di depan panggung, walhasil wayang dengan busana cerah terlihat begitu nyata beraksi. Untunglah dialog saat itu banyak menggunakan bahasa Indonesia, sehingga kaki Saya berdiam lama. Jamaknya pertunjukan Wayang Potehi diantarkan menggunakan bahasa Indonesia, dan bahasa Jawa dengan diselingi bahasa Hokkian. Gerimis mulai datang menemani saat sekeliling Saya mulai menghangat.

Saya menyempatkan menenggok area belakang panggung, dan nampaklah beberapa pria paruh baya duduk di kursi asyik memainkan simbal, suling(Bien Siauw), rebab(Hian Na), juga ditemani dengan gember(Toa La) serta gitar khas Tiongkok.  Silakan meluncur di dunia maya jika ingin mendengar apa yang Saya dengar saat pertunjukan Wayang Potehi tersebut.

Bersama panitia PBTY ke-13. Doc:Riana Dewie
Bersama panitia PBTY ke-13. Doc:Riana Dewie
"Mba, mau main Wayang Potehi ini?" Tawaran yang meniupkan jauh kilasan peristiwa yang tercipta setahun lalu. Bila Pekan Budaya Tionghoa ke XII(PBTY 2017) menjadi awal perkenalan dengan Wayang Potehi bukan melalui dunia maya semata, maka sekarang reuni sedang berlangsung. Saya bersama teman bloger Kompasiana, dan Genpi sedang menghadiri diskusi singkat dengan panitia PBTY ke XIII di restoran West Lake.

Panitia membawa satu karakter Wayang Potehi ke dalam ruangan, menciptakan keriuhan sejenak disela diskusi. Semua orang termasuk panitia juga asyik memulai swafoto dengan wayang setinggi kurang lebih 30 cm. Seperti tahun-tahun sebelumnya maka pementasan Wayang Potehi akan dihelatkan dengan mendatangkan dalang Purwanti dan kru musik dari Paguyuban Fu He An dari Jombang Jawa Timur.

Pemilihan Koko Cici 2017. Doc:Panitia PBTY
Pemilihan Koko Cici 2017. Doc:Panitia PBTY
Setelah berdiri menunggu antrian dalam sekian menit, maka giliran Saya sudah datang.  Sebenarnya gampang memainkan wayang tersebut, kita perlu memasukan jari tengah, dan ibu jari masuk ke tangan kanan dan kiri wayang Poteh.i  Saya tidak menyangka ukuran Wayang Potehi ternyata lumayan panjang namun ringan saat di tangan. Apakah Anda mengetahui nama dari Wayang Potehi yang Saya pegang?

Benar, dewa Kwan Kong Guan Yu adalah karakter wayang yang sedang Saya pegang. Secara penampilan fisik, wayang nampak gagah dengan kostum perang, serta golok tongkat di tangannya.  Sedikit ragu awalnya, karena Saya tahu bahwa wayang khas Tionghoa ini sangat berharga baik nominal maupun estetikanya, namun ahkirnya ujung jemari berhasil menyentuh permukaan wajahnya. Kayu Waru ataupun kayu Jati sendiri diukir sampai sebatas leher wayang. Jika Anda pernah melihat boneka Unyil, maka tak jauh beda secara fisik. Rautan dahi, pipi, hidung dibalik cat merah terasa lembut saat terusap, dan Saya baru menyadari bahwa bibir karakter ini terlihat tersenyum walau seulas. Apakah Anda bersependapat?

Barongshai. Doc:Panitia PBTY
Barongshai. Doc:Panitia PBTY
Penggunaan warna merah pada wajahnya bukan tanpa sebab, namun sebagai perlambang bahwa karakter tersebut berani serta setia. Pada opera tradisional Tiongkok, memang warna wajah mempunyai berperan penting. Cao Cao digambarkan dengan wajah putih mengkilat, yang menandakan kelicikan. Hitam sendiri berarti kebaikan, ketegasan serta tekad kuat. Saya kemudian teringat karakter hakim Bao.

Pementasaan Wayang Potehi sendiri merupakan bentuk seni pertunjukan hasil perpaduan dari budaya Tiongkok dengan Jawa. Kedatangan pendatang suku Hokkian dari daratan Tiongkok pada abad ke-16 ke nusantara menjadi awal dari berkembangnya Wayang Potehi hingga sekarang. Nama Potehi sendiri berasal dari tiga  kosa kata yaitu Poo yang berarti kain, Tay artinya kantung, serta Hi dengan arti pertunjukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun