Mohon tunggu...
Vela Andapita
Vela Andapita Mohon Tunggu... -

seorang mahasiswa sebuah universitas swasta di Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Museum Wayang: “Kita Tidak Bersaing dengan Mall”

5 Januari 2013   12:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:28 688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1357391561508986870

[caption id="attachment_233739" align="aligncenter" width="580" caption="Ilustrasi / Admin (Klinik Fotografi Kompas)"][/caption]

Ada mall apa saja di Jakarta?  Seharian pun barangkali tak habis kita sebut satu persatu.  Namun saat ada yang bertanya, di mana Museum Wayang berada? Sebagian dari kita mungkin justru bertanya, ‘Ha? Ada museum wayang?’

Di tengah gegap gempita kehidupan megapolitan yang modern, tak banyak dari kita yang peduli ada apa di sudut Jakarta.  Sementara kita disibukkan rutinitas di tengah kota, terdapat sebuah bangunan jaman Belanda yang keukeuh berdiri dengan segala kekunoannya.  Bangunan bekas gereja di kawasan Kota Tua ini menyimpan ribuan kisah budaya Nusantara.  Adalah Museum Wayang yang sejak 1974 bertahan dengan segala keterbatasannya, menjaga peninggalan budaya bangsa dalam ujud wayang, patung, topeng, dan koleksi seni rupa lainnya.  Bukan sekadar menjaga, museum ini juga berupaya melestarikan warisan leluhur, tanpa khawatir dilibas reputasi mall yang kian menjamur.  Namun siapa sangka, di balik debu yang menyelimuti benda-benda tua itu, justru tersimpan beragam cerita yang bermakna tentang bagaimana sebuah museum mempertahankan eksistensinya di era modern seperti ini.

Museum Wayang Tempo Dulu

Kawasan Kota Tua memang dikenal dengan bangunan-bangunan bersejarah peninggalan jaman kolonialnya.  Di antara bangunan-bangunan tersebut yang masih terawat dengan baik salah satunya adalah gedung di samping kiri Museum Fathahillah, yaitu gedung Museum Wayang.  Konon gedung ini dahulu dibangun oleh VOC di tahun 1640 dan diberi nama de oude Hollandsche Kerk.  Hingga tahun 1732 gedung ini aktif digunakan sebagai tempat beribadah umat Kristen kaum Belanda.  Sayangnya pada masa pendudukan Jepang, gedung ini sempat terabaikan beberapa saat.  Singkat cerita, pada 13 Agusts 1975, di masa pemerintahan Gubernur DKI Jakarta H. Ali Sadikin, gedung ini diresmikan sebagai Museum Wayang.

Museum Wayang vs Mall?

Melangkahkan kaki ke dalam gedung Museum Wayang serasa mendadak diseret waktu ke kombinasi jaman yang unik.  Arsitektur dan interior bangunan yang kental dengan nuansa masa kolonial berpadu dengan tampilan display wayang, topeng, dan patung yang membuat seolah kita berada di jaman waktu Ken Dedes masih belia.  Maka yang sangat terasa di sepanjang perjalanan menikmati koleksi Museum Wayang adalah kesan klasik.  Terlebih lagi suasananya yang hening, hawanya yang sejuk karena gedungnya yang tinggi, dan penerangannya yang redup nan syahdu.  Ah, bisa-bisa tanpa sengaja kita tidur siang di sana.

Sangat berbeda jika kita memasuki sebuah pusat perbelanjaan atau mall.  Ratusan gemerlap lampu yang menyoroti setiap sudut stand dan toko seolah berebut perhatian kita.  Musik masa kini yang entah bersuara dari mana mengiringi langkah kita dari satu toko ke toko lain menguras kantong.  Ditambah lagi dengan ciri khas mall yang selalu menawarkan segala hal yang berbau kekinian.  Model baju terkini, gadget dan alat elektronik terkini, buku terbitan terkini, dan lain-lain.  Dengan demikian rasanya mustahil kita kehilangan selera untuk menghabiskan waktu di mall.

Belakangan hal ini menjadi isu yang marak diperbincangkan orang, bahwa masyarakat kita saat ini cenderung lebih memilih jalan-jalan di mall dan kehabisan uang, daripada berwisata ke museum dan menambah pengetahuan tentang sejarah bangsa.  Fenomena ini menimbulkan kesan bahwa kita sekarang lebih senang berkejar-kejaran dengan modernitas yang tak berujung, dan sudah tidak peduli lagi terhadap kelestarian budaya Nusantara.  Bahkan dalam sebuah kesempatan, Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Kebudayaan, Wiendu Nuryanti, mengatakan, "Jangan museum itu jadi kesunyian di tengah keriuhan kota. Kita perlu galang aspirasi sebanyak mungkin dari masyarakat dan generasi muda untuk membuat museum juga semenarik mall."  Demikian yang dikutip dari situs online Kompas, Kamis (1/12/2011).

Benar memang yang dikatakan Wiendu, bahwa museum saat ini adalah ‘kesunyian di tengah keriuhan kota’.  Terbukti dengan tercatatnya lebih kurang 170 mall yang mengepung keberadaan Museum Wayang dan 59 museum lainnya di penjuru Jakarta.  Dengan begini, museum-museum itu memang hanya bisa ditelan sunyi dengan berbekal benda-benda kunonya yang makin lapuk dimakan waktu, sementara mall-mall tetap berkilauan dengan antusiasme masyarakat untuk berkunjung yang tak pernah surut.  Namun tak banyak yang tahu, data yang terekam Museum Wayang berkata lain.  Jumlah pengunjung Museum Wayang sejak 2004 melonjak tajam pada tahun 2010.  Pada 2004 total pengunjung adalah 15.801 orang.  Angka it uterus meningkat setiap tahun hingga pada 2010 jumlah pengunjung Museum Wayang sebanyak 207.062 orang.  Angka tersebut dihitung berdasarkan jumlah karcis yang terjual dan mencakup semua golongan, baik dewasa ataupun anak-anak, umum maupun rombongan.  Mungkin memang tidak sebanding dengan pengunjung mall, tapi setidaknya ini membuktikan bahwa reputasi Museum Wayang tidak seburuk yang tampak di mata orang kebanyakan.

Museum Wayang yang hanya dioperasikan 14 orang pegawai, termasuk kepala hingga pengurus biasa, diam-diam melakukan beragam perubahan.  Mulai dari renovasi penataan interior gedung, peremajaan bangunan agar tetap tampak cantik, hingga penyesuaian diri dengan tuntutan perkembangan jaman, yaitu dengan mengadakan sebuah ruangan untuk menampilkan pertunjukan wayang 3D (3 dimensi).  Walau dibatasi kendala rupiah dan sumber daya manusia yang serba diatur pemerintah daerah, para pegawai Museum Wayang tak gentar untuk terus menghidupi museum ini.  Perubahan-perubahan yang mengarah pada kemajuan ini dilakukan semata-mata untuk menjaga eksistensi museum, melestarikan budaya bangsa, sekaligus mengedukasi masyarakat tentang budaya negeri sendiri, sebagaimana yang tertuang dalam Visi dan Misi Museum Wayang.

Mengetahui fakta ini, rasanya kurang tepat jika masih saja kita membandingkan museum dengan mall.  Salah seorang pegawai Museum Wayang yaitu Kepala Seksi Pameran dan Edukasi, Budi Santosa, bahkan berkata, “Kita tidak bersaing dengan mall, karena kita melihat kepada perhatian pada generasi penerus terhadap pelestarian budaya.”  Hal ini memperjelas keberadaan museum dan mall yang tidak sama.  Mall sejatinya didirikan sebagai pusat perbelanjaan dengan tujuan yang berorientasi pada keuntungan.  Setiap hari yang terjadi di mall adalah kegiatan jual-beli, perputaran uang, dan beragam aktivitas hedonisme lainnya.  Sementara museum, khususnya Museum Wayang, ada dengan tujuan menjaga dan melestarikan sekaligus mengedukasi masyarakat tentang budaya yang ditinggalkan nenek moyang bangsa, tanpa hasrat ingin memperkaya diri.  Maka saban hari yang terjadi di museum adalah warga yang datang memperkaya diri akan informasi mengenai sejarah dan kebudayaan Nusantara.  Berbelanja dan bersenang-senang di mall tentu menyenangkan meski harus dibarengi dengan kerelaan mengeluarkan banyak uang.  Namun berwisata ke museum dan memperluas khasanah pengetahuan tentang budaya Indonesia, meski mungkin tak akan bertahan lama dalam memori kita, merupakan investasi yang dapat kita ceritakan pada anak dan cucu kita.  Dengan kata lain, mall bukanah tandingan yang sebanding dengan museum.

Ke Museum Wayang, Yuk!

Hanya dengan Rp 7.000 kita sudah bisa berwisata ke Museum Wayang dan kembali pulang dengan nyaman menggunakan Transjakarta.  Dari Halte Busway Kota cukup berjalan kaki 200 meter ke arah lokasi wisata Kota Tua, atau ojek sepeda onthel dari depan Museum Bank Mandiri dengan ongkos Rp 5.000 saja.  Sesampai di kawasan Kota Tua, kita akan disambut berbagai penjaja pernak-pernik aksesoris, jajanan ringan seperti cilok dan es potong, jasa penyewaan sepeda onthel, dan lain-lain.  Berjalanlah terus dengan sesekali menengok ke samping kiri, maka kita akan mendapati Museum Wayang, yaitu tepatnya di Jalan Pintu Besar Utara 27, Jakarta Barat.  Untuk bertandang ke sana terlebih dahulu kita wajib membayar retribusi yaitu karcis masuk.  Tarif bagi orang dewasa adalah Rp 2.000 dan bagi anak-anak Rp 600.  Asal bukan datang di hari Senin, kita dapat menikmati ratusan dari total lebih kurang 5281 koleksi Museum Wayang yang dipajang di display museum, mulai pukul 9 pagi sampai 3 sore.

Selama di Museum Wayang, kita dapat melihat berbagai macam wayang, seperti wayang kulit, wayang golek, dan wayang klitik.  Bukan hanya wayang, museum ini juga memajang beragam patung, topeng, foto, boneka, bahkan perangkat gamelan dan perangkat perwayangan.  Koleksi Museum Wayang bukan hanya datang dari penjuru Nusantara, namun banyak pula yang berasal dari negara-negara tetangga: Kamboja, Vietnam, Cina, India, Inggris, hingga Perancis.  Benda-benda ini didapatkan Museum Wayang dengan cara menyimpan benda peninggalan, memesan untuk melengkapi koleksi, bahkan ada pula yang merupakan hibah dari pemerintah.  Dari benda-benda itu kita dapat melihat keberagaman kebudayaan berbagai bangsa di dunia.  Meski deskripsi yang disediakan pada masing-masing pajangan yang ada di display kurang lengkap, pada satu sudut di suatu ruangan akan kita dapati sebuah dinding dengan tulisan yang unik.  Tulisan itu berupa diagram pohon yang ternyata menceritakan silsilah perwayangan Indonesia.

Museum Wayang juga secara rutin mengadakan pergelaran dan pementasan wayang.  Biasanya diadakan empat kali dalam sebulan, yaitu tiap akhir pekan: Pergelaran Wayang Golek setiap Minggu II, Pergelaran Wayang Kulit Betawi Minggu III dan Pergelaran Wayang Kulit Purwa Minggu Terakhir. Pementasan ini diselenggarakan secara cuma-cuma dan terbuka bagi siapa saja yang ingin datang dan tertarik untuk menyaksikan.  Selain pertunjukan wayang, pernah pula diselenggarakan acara Peragaan Pembuatan Wayang Golek, Kulit dan Peragaan Karawitan untuk masyarakat umum dan pelajar.  Acara-acara yang diadakan Museum Wayang selalu menarik minat banyak orang, bahkan Pak Budi mengaku penonton pergelaran wayang seringkali melebihi daya tampung.  Sehingga belakangan pementasan wayang lebih sering diadakan di pelataran depan Museum Wayang daripada di dalam gedung.

Pak Budi beserta 13 orang rekan kerjanya sudah cukup lama mengabdi pada Museum Wayang.  Pak Budi pribadi mengaku tidak menghitung sudah berapa tahun ia berada di museum itu dan berjibaku menghadapi tantangan kemajuan jaman demi melestarikan perwayangan Indonesia.  Saat ditanya senangkah ia menjadi seorang pengurus Museum Wayang, “Yo seneng kerja di sini, kalo ndak seneng museumnya ndak jadi apa-apa,” ujarnya dengan dialek khas Jawanya yang kental.  Tentang kendala dalam menjaga eksistensi Museum Wayang, Pak Budi seolah tak ingin bicara banyak.  Ia menyadari tentu kendala dari mana pun selalu siap menghadang setiap usahanya memajukan museum.  Meski begitu ia optimis akan setiap usaha yang ia lakukan bersama Museum Wayang adalah untuk kemajuan Museum Wayang ini sendiri.

Museum Wayang di usianya yang menginjak tahun ke-37, boleh dikatan semakin tua.  Namun kemajuan yang diusahakan Pak Budi beserta pegawai museum lainnya, justru menjadikan Museum Wayang semakin remaja.  Dengan fisilitas teknologi yang dihadirkan dan acara-acara menarik yang diselenggarakan untuk menyenangkan pengunjung, Museum Wayang tetap setia melestarikan budaya perwayangan bangsa di tengah gemerlap megapolitan. (Vela)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun