Wayang, berasal dari kata ayang-ayang atau bayangan, salah satu cabang kesenian yang cukup lengkap. Ada musik, drama yang dibawakan sang Dhalang, seni rupa pada teknik sunggingan atau tatahan wayang, seni suara pada nyanyian atau tembang yang dibawakan oleh para sinden,wiraswara (penyanyi latar), dan dhalang dengan suluk-suluknya.
Cara menonton wayang yang sebenarnya adalah dari belakang kelir (foto by Mikael Mitang Kasi)
Sebuah pergelaran wayang kulit di pendopo (foto by me)
Sumber cerita wayang biasanya diambil dari cerita Ramayana atau Mahabaratta, selain itu bisa juga diambil dari cerita carangan, yaitu cerita karangan baru yang biasanya berlatar belakang cerita pakemnya. Untuk menuju keadiluhungan pergelaran wayang, seorang dhalang harus memenuhi beberapa syarat. Di antaranya antawecana (menyuarakan secara tepat masing-masing tokoh wayang), renggep (dapat menyajikan tontonan yang mengasyikkan, nges (dapat mendramatisasi adegan sehingga mampu membangkitkan rasa keterlibatan penonton/pendengar), tutug (dapat menyajikan lakon sampai tuntas), gecul/banyol (dapat membuat lelucon) ,kawiradya (dapat membedakan janturan untuk masing-masing adegan),sabet (cara memainkan wayang).
Dhalang sedang nyabet (memainkan wayang) dengan tingkat kesulitan tinggi (foto by me)
Dhalang tidak bisa pentas sendiri, butuh para pemain gamelan dan sinden yang menyertai di setiap pergelaran. Sinden dan pemain gamelan biasanya menjadi satu paket dalam sebuah pertunjukan wayang.
Para sinden (penyanyi jawa) (foto by me)
Para pengrawit (pemain gamelan) (foto by me)
Setiap pergelaran wayang kulit haruslah memenuhi peraturan-peraturan tertentu yang telah ada sejak dahulu kala, walaupun pada perkembangannya inovasi-inovasi telah banyak dilakukan di hampir semua pendukung pergelaran wayang, baik berupa ditambahkannya unsur lawak, tari, alat musik diatonis,bahkan terkadang juga sampai menambah setting dan ligting untuk mendukung dramatisasi adegan.