dok: TS
Judul : Raudah-Raudah Sajadah
Penulis : DP Anggi
Penerbit : AG Litera, 2013
Tebal : 180 halaman
SAYA kerap tak percaya dengan remaja kita menulis puisi. Apa pasal? Ini negeri lisan, negeri yang lebih senang omong. Maka menjadi berjubel peserta jika ada Lomba Baca Puisi, namun sepi puisi yang ditulis puitis: berima dan berdiksi secara nges.
Namun saya terperangah dengan puisi-puisi yang diunggah DP Anggi di Kompasiana. Saya tak mengenal, namun saya merasa dekat. Ada kesesuaian hati dari pilihan kata untuk larik-lariknya nan Indonesia, persisnya Melayu. Begitu indah dan bermarwah. Boleh jadi, saya sempat ke Negeri Lancang Kuning, di mana diriwayatkan oleh seorang teman penyair Amarzan Lubis – yang puisinya tahun 1963 sudah diterjemahkan ke bahasa Polandia. Penyair seangkatan dan sekerabat dengan Goenawan Mohammad di majalah TEMPO, pernah menulis laporan panjang untuk rubrik di majalah bergengsi itu dan menang Sagang Award, penghargaan budaya dari Riau. Di mana disebutkan, Riau adalah (provinsi) Negeri penghasil buku tertinggi di negeri ini. Bisa jadi, di sini bersemayam para pujangga, termasuk paling dikenang Gurindam Dua belasnya Raja Ali Haji yang lahir di Pulau Penyengat. Atau Presiden Penyair Sutardji Calzoum Bachri pun lahir dari sini. Di mana Bahasa Indonesia disebut-sebut pula akarnya diambil dari Negeri ini.
DP Anggi ada di Bumi Lancang Kuning, yang meminum air berbahasa Melayu. Dan suatu ketika inbox ke saya minta untuk meng-endorsement calon buku, ya buku Raudah-Raudah Sajadah ini. “Saya melihat Bapak intens saja selain menerbitkan beberapa buku dari artikel Bapak,” alasannya.
Jadilah, saya membacai puisi-puisinya sebagai sebuah amanat dari seorang gadis yang sedang kuliah bukan sastra. Di situ menjadi genap kalau saya tidak salah terhadapnya, penyair muda, berusia 20 tahun dan piawai memuisikan kata, “Puisi tak pernah salah,” guratnya dalam tajuk Dermaga Puisi, 23 April 2013 di Kompasiana, yang saya komentari. Meski ada bait-bait yang menghujat: Puisi telah berganti fungsi / puisi menjadi sarana curhat / menjadi sarana debat.
Dari serenteng puisinya itu, 86 puisi, Anji memang lebih kerap mengusung dunia di sekitarnya: cinta, lingkungan, pendidikan dan seterusnya. Bagi saya bukan soal benar tema apa yang ditulis seorang penyair. Namun saya akan tersentuh dengan daya ungkap – dengan rima dan diksi yang menghujam. Tentang hal remeh-temeh pun, bila itu puitis jadilah itu sebuah puisi nan magis. Lebih dari itu menyiratkan relegiusitas – persis pembawaan sang gadis berkerudung ini. ***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI