Mohon tunggu...
syaiful HALIM
syaiful HALIM Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Sekadar pendongeng di berbagai pojokan sekolah, penjelajah setiap sudut kota dengan kekumuhannya, perekam setiap detil kehidupan dengan keindahannya, penikmat alam semesta dan rumput-rumput di atasnya, serta pecinta film dan musik-musik yang asyik.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Demokrasi Wayang Suket

26 Maret 2013   10:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:12 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Tiba-tiba si Sulung berkeinginan memahami demokrasi secara nyata dan dengan penjelasan yang ringan. Saya berpikir keras. Akhirnya, saya meminta ia agar membaca salah satu tulisan saya. Ternyata juga, tulisan itu masih cukup segar untuk ditampilkan di masa sekarang. Inilah dongeng itu.

Ki Slamet Gundono adalah dalang ternama dari Tegal, yang mempopulerkan Wayang Suket—wayang yang terbuat dari rumput. Dalam bahasa Jawa, suket berarti “rumput”.  Dan, dengan kreativitasnya, Ki Dalang bertubuh tambun itu memadukan keterampilan mendalang, berteater, dan bermusik, sambil memainkan lakon-lakon pewayangan klasik yang diaktualkan dengan peristiwa nyata. Di tangannya, suket menjelma menjadi wayang-wayang yang memiliki “otak” dan “hati”.

Dalam satu kesempatan di depan “publik”nya di Solo, Ki Dalang mempertontonkan pertarungan dua murid Pandita Durna, Raden Arjuna dan Bambang Ekalaya. Bila Arjuna murid resmi yang setiap hari isi absen, duduk, memperoleh penjelasan, dan rapor, maka sebaliknya dengan Bambang Ekalaya. Sebenarnya, Durna adalah guru imajinernya.

Durna dijadikan guru lantaran nafsu nan tak terkendali Bambang Ekalaya yang benar-benar ingin dijadikan murid. Padahal, ia dan Durna tidak pernah bertemu dan berurusan. Proses belajar, sepenuhnya di dalam bayangan. Tapi, ketekunan Bambang Ekalaya membuatnya cerdas laksana anak-anak Laskar Pelangi. Ia belajar apa pun, seperti Arjuna belajar kepada Durna, benar-benar secara otodidak. Sehingga, pada waktunya, ia merasa percaya diri untuk “bertarung” keilmuan dengan “kakak seperguruannya” itu.

Akhirnya, Durna jadi repot. Karena, demi memenuhi nafsu muridnya yang ingin dibilang pintar, cerdas, dan mumpuni di segala hal, ia harus menyiapkan soal-soal ujian dan bentuk penilaian. Maunya Durna, ya berkelahi saja Arjuna dan Bambang Ekalaya seperti raja-raja tempo dulu. Namun, karena zaman menuntut kejujuran, transparansi, dan  demokrasi, maka formula pertarungan pun diubah. Supaya tidak terlalu pusing, maka ia mengadu kedua dalam ruangan khusus, dengan penonton khusus, diliput media massa nasional, plus konsumsi dan ongkos penonton yang memadai. Mereka tak ubahnya Obama dan Romney dalam acara Debat Presiden.

Keduanya ditempatkan di dua mimbar, saling berhadapan, dan bisa menyapa penonton. Sedangkan, Durna sebagai host merangkap juri berada di bawah panggung, dengan tubuh menancap pada batang pisang. Seperti biasa, Ki Slamet Gundono duduk bersila di tengah podium sambil merogoh “jeroan” kedua wayang suket itu. “Pertanyaan pertama, silahkan Ananda jelaskan makna demokrasi yang sejelas-jelasnya,” kata Durna.

Raden Arjuna langsung menarik mikrofon dengan penuh kesombongan. Ia tak hiraukan Bambang Ekalaya yang masih komat-kamit membaca doa. Seakan, ia sengaja melepas Arjuna untuk bicara terlebih dahulu. “Demokrasi adalah permainan kekuasaan: untuk merebut, mempertahankan, dan menjaganya mati-matian agar kekuasaan itu langgeng sepanjang masa. Sistem itu menuntut kecerdasan para pelaku dan rakyatnya. Dan, hasilnya seperti terlihat di negara-negara maju. Para pemimpin yang dipilih rakyat terlihat cerdas, berwibawa, berwawasan luas. Ya, seperti di Amerika Serikat itu. Dan, hanya ksatria dengan wawasan sekelas Obama atau Romney yang bisa tampil ke permukaan,” kata Arjuna seraya melirik tajam ke arah lawannya.

Penonton bertepuk tangan. Durna ikut tertawa terkekeh-kekeh. Bangga dan haru menjadi satu. Tidak sia-sia menempa sang ksatria Pandawa itu siang dan malam karena hasilnya sekarang sudah terlihat. Sementara Bambang Ekalaya tertunduk agak malu. Penonton melihatnya “mati angin”.

“Apa yang dikatakan Kakanda Arjuna memang tepat. Karena definisi itu, orang-orang jadi mati-matian mempelajari ilmu merebut kekuasaan. Orang-orang jadi bersemangat belajar ilmu mempertahankan kekuasaan. Sehingga, orang-orang lupa tujuan berkuasa itu sendiri: menyejahterakan rakyat atau membangun terus tiang-tiang kekuasaannya? Orang jadi lupa, melaksanakan amanah atau mengkhianati amanah?

Amerika Serikat memang contoh paling bagus. Orang-orang ramai nonton Debat Presiden Obama dan Romney. Rating dan share televisi di negara itu melonjak karena tayangan itu. Pameran kecerdasan dan kharisma memang tengah digelar. Tapi, pernahkah terpikir, bila ada sebagian penonton lain tengah menghitung-hitung risiko: berapa banyak lagi kilang minyak negara-negara Timur Tengah yang bakal dirampok, siapa lagi tokoh-tokoh Islam yang bakal dicap teroris, negara mana yang bakal digoyang politik dan ekonominya, dan citra apalagi yang terus dijual pemimpin Negara Adidaya itu? Debat Presiden kan etalse penjualan citra yang sekarang ditiru banyak pemimpin negara berkembang. Padahal, setelah terpilih, ah bohong semua. Tidak ada janji yang menjadi bukti. Tidak ada tawaran yang menjadi nyata….”

“Cukup!” Tiba-tiba Durna memotong penjelasan Bambang Ekalaya. Ia khawatir penjelasan itu justru akan memperlihatkan “citra” baru murid imajinernya itu. Tapi, penonton yang kadung suka, tepuk tangan tanpa diminta. Sebagian lagi melakukan standing ovation.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun