Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Santri Perennial, Revitalisasi Genealogi Intelektual Pesantren

22 Oktober 2019   10:11 Diperbarui: 21 Oktober 2020   13:38 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Kompas.com)

Menyebut "santri" tentu saja lebih berkonotasi budaya dan bukan agama. Tak pernah ditemukan istilah ini dalam sejarah agama manapun, kecuali terkait dengat budaya dan tradisi di Indonesia. 

Sulit untuk dapat menjelaskan kapan dan siapa yang pertama kali memberikan nama santri, kecuali istilah ini telah secara turun temurun menjadi istilah lokal yang mentradisi sekian lama dalam masyarakat Indonesia. 

Seorang peneliti Belanda, Karel Steenbrink, pernah menyinggung dalam bukunya, bahwa istilah ini terambil dari bahasa Belanda, "priesterschoolen" yang berarti "sekolah pendeta", sebab para santri adalah mereka yang belajar di dalam lingkungan pesantren, mirip seperti lembaga kependetaan di gereja. 

Istilah ini kemudian diserap ke dalam budaya Indonesia untuk menyebut mereka yang mempelajari agama Islam secara khusus dengan bimbingan seorang guru atau kiai dalam lembaga yang dinamakan pesantren. 

Perennial memang dipergunakan dalam istilah filsafat yang memiliki nilai "keabadian" secara ontologis, di mana setiap pengetahuan yang dimiliki manusia lahir dan ditularkan dari generasi ke generasi hingga saat ini. 

Filsafat perennial secara genealogis menularkan tradisi keilmuan secara terus menerus membentuk suatu tradisi mata rantai intelektual yang abadi. 

Seorang filosof Muslim yang pertama kali mempopulerkan istilah "filsafat perennial" adakah Ibnu Maskuyah (yang sering dieja "Miskawaih" w. 421/1030) yang tertuang dalam sebuah karya doksografi (kidung) yang berjudul "Jawidan Khirad" dalam bahasa Persia atau "Hikmah Khalidah" dalam bahasa Arab (Eternal Wisdom atau Philosophia Perennis). 

Namun, seringkali yang beredar di masyarakat bahwa gagasan perennis dipopulerkan pemikir Barat, Augustino Steuco dan Leibnitz pada abad XVI, padahal jauh sebelum itu para filosof Muslim terlebih dahulu memperkenalkannya kepada dunia.

Itulah kenapa, saya menyematkan istilah "perennial" kepada santri, sebab santri sejatinya para pemikir yang terus hidup, menghidupkan dan mengabadikan tradisi keislaman secara integral, ke dalam suatu jaringan mata rantai intelektual mengikuti tradisi yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad. 

Perennis-nya terletak pada genealogi intelektual yang tak pernah terputus, berada dalam lingkaran tradisi intelektual yang hidup secara turun-temurun. 

Tradisi intelektual santri adalah menghubungkan yang tradisional dengan yang kontemporer secara terus menerus. Seorang santri sejati tidak mungkin menutup diri dari mata rantai intelektualitas ini dalam segala sisi kehidupannya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun