Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Siapa Aku?

4 Mei 2024   07:22 Diperbarui: 4 Mei 2024   08:13 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi inquiry "siapa aku?". (Freepik/tawatchai07)

"Siapa aku?", dalam konteks filosofis Barat, pertanyaan ini seringkali dianggap memerlukan jawaban substantif, tidak sekadar sebagai sarana introspeksi tanpa tujuan konkret. David Hume (1751), misalnya, menolak gagasan tentang identitas diri yang tetap dan abadi dengan argumen bahwa diri hanyalah sekumpulan persepsi yang berubah-ubah tanpa esensi yang nyata atau persisten. Menurut Hume, pencarian (inquiry) atas 'diri' yang abadi adalah usaha yang sia-sia karena apa yang kita anggap sebagai 'diri' hanyalah kumpulan momen kesadaran yang sementara.

Bisa jadi, perenungan pada "Siapa aku?", meski berguna sebagai latihan perenungan spiritual, tidak membawa kita lebih dekat ke pemahaman diri yang autentik atau objektif. Sebaliknya, hal ini mungkin hanya mengukuhkan apa yang Nietzsche (1869) sebut sebagai "kesalahan gramatikal," di mana bahasa dan struktur pemikiran kita memaksa kita untuk menetapkan identitas pada sesuatu yang mungkin pada dasarnya tidak memiliki identitas tetap. Nietzsche berpendapat bahwa konsep 'aku' atau 'diri' adalah konstruksi sosial yang berfungsi lebih banyak sebagai sarana untuk penjelajahan sosial daripada sebagai entitas yang memiliki realitas ontologis.

Selanjutnya, inquiry yang berfokus pada pertanyaan tanpa jawaban "Siapa aku?" mungkin memberikan kedamaian atau pencerahan spiritual bagi beberapa orang, namun dari sudut pandang skeptis, ini bisa dilihat sebagai latihan yang secara intrinsik nihilistik. Tanpa harapan untuk jawaban yang definitif atau substantif, aktivitas ini mungkin hanya menggiring ke nihilisme eksistensial, di mana tidak ada jawaban yang dapat diterima sebagai benar atau nyata, meninggalkan individu dalam keadaan ketidakpastian yang abadi atau mungkin keputusasaan.

Dengan demikian, sementara praktik perenungan ini mungkin mempunyai nilai terapeutik atau spiritual, skeptisisme filosofis mempertanyakan legitimasi dari proses ini sebagai metode untuk mencapai pengetahuan diri yang sejati atau mendalam. Hal ini menimbulkan pertanyaan lebih lanjut mengenai validitas dan efektivitas dari perenungan dalam pencapaian pengenalan diri dan apakah itu memang mengarah pada pemahaman yang lebih mendalam atau hanya sebuah pengalaman ilusi yang sementara.

***

Lebih lanjut, ketika meninjau proses perenungan "Siapa aku?" dalam konteks filosofis yang lebih luas, kita dapat mempertimbangkan pandangan dari filsuf seperti Immanuel Kant (1781), yang membedakan antara fenomena (dunia sebagaimana kita rasakan) dan noumena (realitas sejati yang tidak dapat diakses oleh penginderaan kita). Dalam konteks ini, pertanyaan "Siapa aku?" mungkin terjebak dalam paradoks Kantian: mencari esensi sejati diri yang mungkin sejatinya berada di luar jangkauan persepsi dan pemahaman manusia. Ini berarti bahwa sementara perenungan mungkin membantu menghilangkan beberapa prasangka atau identitas sosial yang dibangun, kemungkinan besar tidak dapat membuka jalan menuju pemahaman noumenal dari diri yang sejati, yang, menurut Kant, tidak dapat diketahui.

Di sisi lain, jika kita mempertimbangkan pandangan eksistensialis seperti yang dikemukakan oleh Jean-Paul Sartre (1964), konsep pencarian identitas yang murni melalui introspeksi bisa dilihat sebagai usaha yang keliru. Sartre berpendapat bahwa "eksistensi mendahului esensi," yang berarti bahwa individu pertama-tama ada di dunia tanpa esensi yang ditentukan, dan melalui tindakan serta pilihan, individu tersebut mendefinisikan diri mereka sendiri. Dalam konteks ini, pertanyaan "Siapa aku?" harus dijawab tidak melalui perenungan internal yang terus-menerus, tetapi melalui tindakan dan interaksi dengan dunia. Ini berlawanan dengan pendekatan perenungan yang pasif, yang menggali dalam diam dan kontemplasi.

Menggabungkan pandangan ini, kita melihat bahwa meskipun inquiry pada "Siapa aku?" bisa membantu dalam memecah beberapa struktur pemikiran dan identitas yang sudah mapan, itu mungkin juga mengarahkan individu ke dalam penelusuran yang tak berujung dan potensial tanpa tujuan yang konkret. Kita dapat berargumen bahwa pendekatan ini berisiko mengurangi individu menjadi entitas yang pasif, kehilangan kesempatan untuk secara aktif mendefinisikan dan mengekspresikan diri mereka melalui keputusan dan perbuatan mereka di dunia nyata. Selain itu, perenungan yang bertujuan untuk menghilangkan semua jawaban dan pertanyaan dapat menciptakan vakum eksistensial di mana individu merasa terlepas dari realitas objektif dan sosial, meninggalkan ruang untuk nihilisme yang tidak produktif.

Oleh karena itu, mungkin lebih produktif bagi individu untuk merangkul pendekatan hibrid yang mengakui nilai introspeksi dan perenungan dalam mencapai ketenangan dan penerimaan diri, tetapi juga menekankan pentingnya tindakan praktis dan interaksi sosial dalam mendefinisikan diri. Sebagai kesimpulan, sementara inquiry "Siapa aku?" dapat menawarkan wawasan dan momen kedamaian, keberadaan dan identitas kita mungkin lebih baik dipahami sebagai hasil dari dinamika antara pikiran internal kita dan dunia eksternal kita, sebuah proses yang melibatkan, dan mungkin membutuhkan, lebih dari sekedar introspeksi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun