Mohon tunggu...
masunardi
masunardi Mohon Tunggu... Administrasi - Dosen

hanya dosen jelata...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menikmati BPJS Kesehatan Ala Jepang, Murah dan Menyembuhkan

4 Juli 2015   07:42 Diperbarui: 4 Juli 2015   18:46 4400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Anda tahu bagaimana rasanya menjadi orang miskin, kemudian anak sakit dan saat itu sedang di negara orang yang kita tidak paham bahasanya? Betul, perasaan penuh dengan rasa panik, panik dengan kondisi anak, panik dengan kemampuan berkomunikasi serta panik dengan biaya kesehatan yang terkenal sangat mahal di Jepang. Apalagi saat di dalam ambulan yang mengantarkan kami ke rumah sakit, teman kami yang orang Jepang dengan serius menanyakan, “Kamu punya uang?” Dia bertanya dengan nada khawatir karena mengetahui kami adalah mahasiswa yang meskipun memperoleh beasiswa tetapi tetap dimasukkan ke dalam golongan orang miskin kota di Jepang, yang dibebaskan dari pajak penghasilan. Dengan senyum kecut kami pun mengatakan bahwa kami punya uang, meskipun uang tersebut adalah uang untuk bayar SPP yang kemarin belum sempat dibayarkan.

Dan akhirnya anak kami harus opname di rumah sakit, total menginap 4 hari 3 malam. Anak lelaki kecil itu ternyata sembelit alias tidak bisa buang air besar selama beberapa hari. Pantas saja dua dokter sebelumnya tidak menganggap anak saya sakit meskipun mengeluh sambil menangis saat periksa ke klinik, karena dari temperatur dan hasil pemeriksaan lain memang sehat. Dan karena kebodohan bapaknya, malah dikasih minum coca-cola yang menghasilkan gas dan menambah sakit perut. Dokter Jepang memang sangat hati-hati dalam memberi obat, tidak hantam kromo dengan obat dosis tinggi agar pasien cepat sembuh dan menjadi pelanggan setia karena dianggap “ampuh”. Bahkan setiap anak memiliki buku kontrol (catatan medis) yang harus selalu kami bawa saat berobat dan digunakan oleh dokter (yang berbeda-beda) untuk mengetahui obat apa saja yang pernah dikonsumsi dan dokter mana saja yang pernah didatangi.

Selama sakit tersebut, total yang kami lakukan adalah dua kali ke klinik. Kemudian ke rumah sakit dijemput ambulan yang datang dalam waktu kurang dari 10 menit setelah ditelepon Ojiisan-nya anak-anak (Orang Jepang yang baik dengan kami). Di rumah sakit dilakukan 3 kali rontgent, beberapa kali USG, cek darah dan pemeriksaan rutin setiap 2 jam sekali tanpa ada jeda selama 24 jam. Para perawat pun dalam menjalankan tugasnya terlihat sekali terampil, ramah, dan melakukan hal yang sudah ada sesuai dengan POS (prosedur operasional standar). Meski komunikasi tidak bisa lancar karena bahasa Jepang kami minim dan bahasa Inggris mereka juga pas-pasan, tetapi hal tersebut tidak menjadi masalah. Alhamdulillah anak kami berhasil sembuh dengan berhasilnya dia buang air besar, meskipun dalam waktu 2 hari harus menunggu dan memotivasinya dengan sabar. Betul, harus sabar. Karena setelah proses rontgent, dokter tahu bahwa anak kami sembelit. Tapi karena sangat hati-hati maka obat pencahar secara oral yang di Indonesia banyak dijual di warung baru diberikan hari kedua, itu pun dengan dosis yang sangat kecil. Bahkan informasi dari seorang kawan yang pernah melahirkan di Jepang, dokter kandungan sini tidak mau begitu saja mengobral operasi caesar hanya karena lama menunggu, meskipun si pasien sudah meminta.

Begitu anak kami sudah bisa BAB maka kelegaan langsung disambung dengan permasalahan berikutnya, berapa biaya rumah sakit yang harus kami bayarkan? Dalam hati berdoa, semoga tidak melebihi kemampuan kami agar tidak mengganggu uang hidup apalagi SPP semester ini.  Setelah dokter jaga pagi memeriksa dan kondisi dinyatakan sehat, maka giliran petugas administrasi yang bekerja mendatangi kami. Menghitung semua yang telah dilakukan rumah sakit dan menghitung biayanya. Semua tercatat dengan jelas bahkan sampai hal-hal yang sangat kecil seharga seratus yen. Setelah ditotal, maka seluruh biaya pengobatan selama 3 hari tersebut adalah sebesar 111.550 yen atau lebih dari Rp 12.000.000,-. Alhamdulillah… uang kami masih cukup. Tapi kemudian perawat memberi tahu bahwa nanti akan dipotong asuransi sehingga kami membayar kurang dari itu. Alhamdulillah lagi… Dan setelah dihitung semuanya, bagian administrasi mendatangi kami lagi sambil menyerahkan nota pembayaran. Dari angka yang tertera di catatan ternyata kami diharuskan membayar total sebesar 1.590 yen atau sekitar Rp. 166.000. Hal itu pun karena kami tetap mengambil jatah makan siang untuk hari itu sebelum pulang sebesar 550 yen yang sebelumnya ditanyakan oleh pihak RS. Jadi ternyata semua ditanggung oleh pihak asuransi, kecuali makan (Mungkin yang 1.040 yen tersebut adalah juga biaya makan 2 kali sebelumnya).

Luar biasa memang sistem asuransi di Jepang, padahal yang kami ikuti adalah asuransi nasional yang memang wajib dan paling murah. Kalau di Indonesia mirip dengan BPJS Kesehatan dengan premi termurah. O iya, Kejadian memalukan terjadi karena kami tidak paham baca tulis Jepang sehingga tidak tahu peraturan rumah sakit. Ternyata jatah makan untuk pasien tidak boleh dimakan orang lain, karena perawat akan mencatat berapa kalori yang dimakan pasien dengan mendata sisanya. Karena kami tidak tahu, makan pertama kami “cicip” agak banyak sehingga cukup berkurang secara signifikan. Tapi ketika ditanya perawat tentang makan anak kami, kami bilang tidak mau makan sama sekali. Jadi mereka bingung, pasien tidak makan kok makanan berkurang??!!  Nah lho…


Saya tidak paham dengan BPJS untuk pensiunan yang saat ini sedang ramai dipetisikan oleh netizen Indonesia dan menjadi alasan untuk menjelekkan kembali Pak Presiden. Saya juga tidak paham bagaimana pelayanan kesehatan menggunakan BPJS di Indonesia, karena kebetulan sudah tidak di Indonesia saat Askes-PNS berganti baju menjadi BPJS. Kabarnya yang mengeluh bukan lagi pasien tapi malah para medis dan pemilik bisnis kesehatan. Tapi saya belum tahu pasti sehingga saya tidak mau membandingkan.

Sistem asuransi kesehatan di Jepang kabarnya adalah sistem asuransi terbaik di dunia. Dengan sangat mahalnya biaya pengobatan di Jepang, maka asuransi kesehatan mutlak harus diikuti oleh seluruh masyarakat Jepang yang ingin selalu sehat dan tidak jatuh miskin secara tiba-tiba karena sakit. Apakah iuran asuransi kesehatan nasional tersebut besar? Sepertinya jika kita bandingkan dengan di Indonesia tidak jauh berbeda. Besaran iuran tergantung dari penghasilan kita, dan kami yang termasuk “rakyat miskin Jepang” mendapat jatah untuk membayar sekitar 6.000 yen untuk 4 orang anggota keluarga per bulan. Cukup murah karena sudah disubsidi oleh orang kaya yang iurannya lebih mahal. Uang sebesar 6.000 yen jika dibagi empat menjadi 1.500 yen per orang atau sekitar Rp. 150.000,-. Nilai uang sebesar itu di Jepang hanya cukup untuk membeli beras kualitas sedang sekitar 4 kg. Jika dirasakan di Indonesia tak berbeda jauh dengan iuran BPJS yang besarnya sekitar Rp. 25.000,-  sampai dengan Rp. 60.000,- (tolong jangan bandingkan makna seratus lima puluh ribu rupiah di Jepang dengan di Indonesia). Mungkin bedanya adalah di fasilitas pelayanan yang diperoleh jika harus berobat ke dokter atau rumah sakit, tak ada peng-kelas-an dalam pelayanan.

Bagaimana klaim asuransinya? Mudah dan tidak rumit, asal saat berobat memakai “kartu sehat” nya Jepang, maka untuk usia produktif akan ditanggung sebesar 70% biaya, untuk orang tua (manula) akan ditanggung sebesar 90%, dan untuk anak-anak gratis, asal membawa kartu tambahan yang berwarna merah jambu, dan berlaku di seluruh Jepang. Dan pengalaman luar bisa terjadi beberapa minggu yang lalu yang menyadarkan kami betapa pentingnya mengikuti asuransi kesehatan khususnya saat di Jepang. Kalau di Tanah Air? Entahlah… asuransi di Indonesia masih terkesan meragukan bagi kami karena kerumitannya…

 

 Catatan:
Beberapa kali ke klinik atau rumah sakit, ternyata kebanyakan fasilitas kesehatan di Jepang cenderung sepi, mungkin karena tidak banyak orang sakit. Klinik yang ramai adalah klinik gigi karena banyak yang melakukan perawatan gigi.

 

Salam dari pinggiran Jepang yang sedang hujan, 4 Juli 2015.

 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun