Mohon tunggu...
Sumarno
Sumarno Mohon Tunggu... -

Mencari dan mencari terus.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Generasi Muda, Wayang, dan Karakter Bangsa

31 Desember 2010   11:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:09 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh Sumarno

Di penghujung bulan Juli 2010, di Jakarta setidaknya ada dua even penting terkait wayang. Dua even yang dimaksud adalah pameran wayang di Bentara Budaya Jakarta dengan tajuk Mengenal Wayang Mengenal Jati Diri Bangsa (22 – 31 Juli) dan pagelaran wayang kulit dengan dalang Ki Enthus Susmono dari Tegal di Teater Salihara, (31 Juli).

Ada beberapa jenis wayang di Indonesia, namun yang paling populer wayang kulit dari Jawa atau ringgit purwa. Wayang kulit telah mendapat pengakuan sebagai karya agung budaya dunia (Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) yang disahkan oleh UNESCO, tanggal 7 Nopember 2003. Merupakan suatu kehormatan dan kebanggaan bagi bangsa Indonesia. Di sisi lain timbul keprihatinan, di tengah publiknya sendiri keberadaan wayang terindikasi semakin terpinggirkan, terutama di kalangan generasi muda.

Untuk mendekatkan wayang kepada generasi muda, dua even di Jakarta itu memiliki benang merah. Pameran wayang di Bentara Budaya Jakarta adalah sebuah upaya merayakan wayang dengan sasaran utama kaum muda/remaja perkotaan. Sedangkan di Teater Salihara pagelaran wayang kulit dengan dalang Ki Enthus Susmono, dalang yang biasa membawakan cerita pewayangan tidak terlalu ketat berpaku pada pakem pewayangan. Keberaniannya melakukan terobosan kreatif dan inovatif dan durasi pementasan yang pendek, diharapkan bisa menarik bagi kaum muda.

Walaupun sering mendapat kritik karena dianggap mengeksploitasi kesenian wayang secara serampangan, totalitas Ki Enthus di dunia pewayangan telah terbukti. Beberapa wayang yang merupakan adalah karyanya sendiri. Wayang kontemporer karyanya yang terkenal wayang rai wong (wajah manusia), menggambarkan tokoh-tokoh masa kini. Iringan musik kreasinya dikolaborasi jenis musik pop.

Selain sesuai untuk mendekatkan wayang kepada generasi muda, langkah Ki Enthus benar-benar membuktikan, bahwa wayang budaya dunia. Karena pada awal tahun 2009 ia pameran wayang di Museum Tropen Belanda dan diantara wayang kulit karyanya menjadi koleksi di museum yang sama. Misi membawa wayang go international patut menjadi contoh positif bagi generasi muda.

Jakarta, sebagaimana kota besar pada umumnya, modernitas, materialistis dan hedonis adalah menjadi cirinya. Di kota besar manusia hidup serba cepat, terburu-buru. Boro-boro sejenak bisa berkonsentrasi menikmati kesenian wayang yang harus saksama menyimak cerita penuh simbolik dan makna-makna filosofis.

Namun, setidaknya keberadaan komunitas seni yang bergiat untuk even terkait wayang dan dibantu media massa membuat wayang tidak absen sama sekali di tengah publik. Pameran wayang di Bentara Budaya Jakarta dan pagelaran wayang di Teater Salihara yang dikemas minimalis bagaikan oase di tengah minat publik , khususnya generasi muda, terhadap wayang yang kian pudar.

Kesenian asli Jawa

Wayang kulit merupakan kesenian asli Jawa. Seperti diungkapkan Dr.G.A.J.Hazeu, dalam disertasinya, Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche Tooneel (Th 1897 di Leiden, Negeri Belanda). Hazeu beralasan, istilah dalam wayang kebanyakan menggunakan bahasa Jawa. Misalnya, kelir , blencong , cempala , kepyak . Pada susunan rumah tradisional di Jawa, ada bagian-bagian ruangan: emper, pendhapa, omah mburi, gandhok senthong dan ruangan untuk pertujukan ringgit (pringgitan ), dalam bahasa Jawa ringgit artinya wayang.

Berbeda dengan pendapat Dr. W Rasses. Dalam bukunya Over de Oorsprong van het Java-ansche Tooneel, Rassers mengatakan, pertunjukan wayang di Jawa bukan ciptaan asli orang Jawa. Melainkan merupakan tiruan dari apa yang sudah ada di India. Di India pun sudah ada pertunjukan bayang-bayang mirip dengan pertunjukan wayang di Jawa.

Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, wayang kulit dari Jawa lebih dikenal publik secara luas. Secara empiris, pewayangan di Jawa sangat membumi. Wayang bukan semata-mata seni pertunjukan yang didominasi motif hiburan, tetapi menyangkut berbagai aspek kehidupan, agama/keyakinan, sosial kemanusiaan, politik dan ekonomi.

Sebagai hipotesa kritis, budaya adalah ciri karakter suatu bangsa, yang mewarnai kehidupan sosial, politik, dan ekonomi. Kesenian wayang sebagai bentuk karya budaya Jawa, berarti mencerminkan pola kehidupan masyarakatnya. Kalau orang Jawa banyak menduduki posisi kepemimpinan nasional, diantaranya pengaruh pewayangan sebagai satu kesatuan budaya. Walaupun faktor lain, seperti faktor sejarah ikut mewarnai sosiokultur masyarakat Jawa.

Krisis kesenian wayang

Krisis kesenian wayang memang sudah dirasakan. Seiring krisis ekonomi, tahun 1997 juga merupakan awal krisis kesenian tradisional, termasuk seni wayang (Sumarno dalam Kompas Jateng: 5/4/2010). Itu terjadi di Yogyakarta yang merupakan basis kebudayaan Jawa, dengan ditandai menurunnya job pementasan para dalang. Di daerah Tegal yang kultur Jawa-nya merupakan “kultur Jawa pinggiran,” krisis wayang telah dirasakan jauh sebelumnya.

Awal dekade 1980-an, di Tegal frekuensi tanggapan wayang pada orang hajatan masih tinggi, namun akhir dekade yang sama mengalami penurunan drastis. Kehadiran teknologi modern, waktu itu video (bukan layar tanjab) menggantikan wayang sebagai seni tanggapan. Video sekaligus pelan-pelan menurunkan pamor bioskop yang akhirnya mati sama sekali, hingga kini di Tegal tak ada bioskop yang beroperasi.

Mengingat masa keemasannya kesenian wayang sebagai karya budaya lebih membumi. Pada jamannya, ketika ada tanggapan wayang pada orang hajatan benar-benar terjadi pesta rakyat. Mayarakat di sekitar lokasi ikut kebagian rejeki dengan berjualan berbagai jenis makanan tradisonal. Jenis makanan favorit rakyat, mulai lothek, tahu plethok, kacang klitik, telor asin, muniman yang popular limun, dan juga mainan anak-anak.

Keterlibatan kaum dewasa sampai anak kecil dalam setiap pagelaran wayang membentuk tradisi komunal. Bahkan, antusias anak-anak seusia SD hingga semalaman suntuk, walaupun tidak fokus menonton wayang. Mereka ketiduran dengan menggelantung pakai sarung yang disangkutkan pada pagar bambu (gethek) di pingir jalan desa menjadi kekhasan tersendiri yang terbangun dari pentas wayang di desa-desa, dan kini tinggal kenangan.

Berbeda jika pagelaran wayang diselenggarakan di gedung, terkesan ekslusif. Bagaimanapun, pameran wayang di Bentara Budaya Jakarta dan pegelaran wayang kulit di Salihara tetap penting. Diharapkan, wayang bukan sekadar tontonan, bukan hanya diakui sebagai budaya dunia oleh UNESCO. Lebih menyakitkan kalau di klaim bangsa lain. Lebih dari itu, kesenian wayang kembali menjadi karya budaya yang membumi, yang mencerminkan karakter bangsa, apalagi di tengah karakter bangsa sedang banyak dipertanyakan.(*)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun