Mohon tunggu...
Suko Waspodo
Suko Waspodo Mohon Tunggu... profesional -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

amrih mulya dalem gusti

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ujian Nasional Mencederai Pendidikan

8 Februari 2014   12:51 Diperbarui: 12 Agustus 2015   02:29 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1391838628306940213

Penerapan dan pelaksanaan Ujian Nasional (UN) dari tahun ke tahun sejak penerapan nya tidak pernah baik, bahkan selalu berdampak buruk pada sebagian besar yang terlibat. Hampir sebagian besar yang terlibat dalam penerapan UN selama ini selalu berpendapat bahwa UN tidak perlu. Bahkan situasi UN tahun lalu sangat parah, amburadul. Maka semakin menguat lagi kecenderungan untuk menghapus saja penerapan UN.

Seandainya suatu saat diadakan jajak pendapat nasional tentang UN ini pasti hampir semua pihak tidak setuju pelaksanaan UN. Andai pun ada yang setuju, pasti hanya para pembuat kebijakan tentang UN ini, Lembaga Bimbingan Belajar (LBB) dan industri percetakan pembuat Lembar Kerja Siswa (LKS).

Menurut kenyataan yang terjadi selama ini, semenjak penerapan UN selalu hanya menimbulkan keresahan. Bahkan keresahan yang berskala nasional. Meningkatnya keresahan tersebut bisa kita lihat bagaimana gelisahnya para siswa, para orangtua, sekolah dan bahkan masyarakat pada umumnya.

Kegelisahan para siswa yang paling mudah bisa kita pantau tentu lewat jejaring sosial dimana mereka saling berkicau tentang kegalauan mereka dalam menghadapi UN. Mulai dari merasa seolah menghadapi suatu sidang pengadilan sampai dengan memaknai UN sebagailayaknya hantu yang menakutkan. Kegalauan dan bahkan stress seringkali menjangkiti para siswa.

Pada pihak sekolah, keresahan serta kecemasan terjadi mulai dari bagaimana menjaga keamanan pelaksanaan ujian, dalam menjaga kerahasiaan soal sampai dengan kecemasan terhadap kemungkinan tingkat kelulusan para siswanya yang rendah yang berakibat pada menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sekolah yang bersangkutan.

Masyarakat pada umumnya juga menjadi resah karena semua menjadi sibuk memantau pelaksanaannya apakah terjadi kebocoran soal atau tidak, terjadi kecurangan di sekolah tertentu atau tidak dan sebagainya.

Tingkat keresahan dan penjagaan keamanannya bahkan sampai menyamai saat pelaksanaan Pemilu. Para petugas yang mengambil soal ujian bahkan harus menggunakan pengawalan polisi. Sekolah-sekolah tertentu bahkan memerlukan penjagaan keamanan ekstra sebelum, saat ujian berlangsung dan sesudahnya. Benar-benar aneh, pelaksanaan pendidikan harus dalam suasana kecemasan yang mencekam.

Dampak penerapan dan pelaksanaan UN pada kenyataannya hanya menguntungkan LBB, industri percetakan LKS dan pihak-pihak yang melihat ini sebagai proyek tahunan yang sangat mudah untuk menjadi lahan korupsi. Penghapusan UN sudah pasti akan berakibat pada penghematan luar biasa secara nasional bahkan skala global.

Penghematan Pohon

Penghapusan UN berarti identik dengan penghematan pohon dan pelestarian hutan. Bisa kita perhitungkan berapa jumlah pohon yang ditebang untuk industri kertas pembuatan naskah soal dan lembar jawabnya setiap kali pelaksanaan UN. Apalagi kalau kita perhitungkan juga dengan jumlah kebutuhan untuk pembuatan LKS yang kadang-kadang dalam setiap bidang studi jumlahnya bisa lebih dari satu buku LKS.

Seperti kita ketahui bersama bahwa masalah lingkungan hidup dan secara khusus perlindungan kelestarian hutan menjadi masalah yang sangat serius. Kita bisa mendukung masalah nasional dan masalah global ini dengan sehemat mungkin dalam menggunakan kertas yang berbahan dasar pulp.

Bahkan kita bisa membayangkan jumlah pohon yang ditebang untuk pembuatan naskah soal dan lembar jawab UN mungkin bisa untuk membuat Kapal Pinisi yang bisa digunakan oleh bapak Menteri Nuh untuk berlayar perjalanan keliling dunia. Kapal Pinisi sebesar Perahu Nabi Nuh.

Penghematan Biaya

Penghematan biaya pasti akan sangat terasa baik dalam skala kecil, pengeluaran para orangtua siswa, maupun skala besar, dalam bentuk anggaran Belanja Negara yang harus dikeluarkan . Kalau UN dihapus maka kemungkinan para orangtua siswa tidak perlu menambah biaya untuk mengikutsertakan anaknya pada LBB. Lebih dari 1 juta rupiah bisa dihemat dalam hal ini.

LKS tidak perlu dibuat sebanyak pelaksanaan pendidikan formal saat ini untuk mengejar hasil UN manakala UN dihapuskan. Ratusan ribu biaya belanja pengadaan LKS bisa dihemat oleh para orang tua siswa.

Bagi pihak sekolah, khususnya sekolah swasta, tidak perlu mengeluarkan biaya ekstra untuk setiap kali UN. Baik biaya penyelenggaraannya mapun pengamanannya.

Pemerintah akan memangkas anggaran yang sangat besar apabila UN dihapuskan. Trilyunan rupiah anggaran pemerintah yang selama ini dikeluarkan bisa dihemat. Bahkan yang lebih penting lagi resiko korupsi anggaran bisa dikurangi apabila UN dihilangkan.

Dampak Lain

Secara psikologis penghapusan UN akan membuat suasana pendidikan lebih tenang dan manusiawi. Para siswa tidak merasa terhantui oleh UN. Mereka tidak lagi merasa sebagai sarana untuk pengukur nama baik dan kualitas sekolah berdasarkan hasil UN.

LBB dan industri percetakan LKS akan mengalami penurunan drastis pendapatan mereka. Kemungkinan akan banyak LBB tutup. Industri percetakan LKS kemungkinan akan mengalihkan produk mereka dari LKS ke produk industri cetak yang lain.

Para oknum yang selama ini bisa melakukan korupsi dalam penyelenggaraan UN pasti menangis darah kalau UN dihapuskan . Lahan korupsi mereka terkurangi sebagian. Perut para koruptor tak bisa buncit lagi.

Selanjutnya kita memang menyadari bahwa setiap pilihan pasti ada yang kita korbankan. Pilihan untuk terus mempertahankan UN sudah nyata berakibat pada para siswa, masa depan bangsa dan negara ini, yang kita korbankan. Sedangkan apabila dihapuskan yang menjadi korban hanya LBB, industri percetakan LKS dan para koruptor.

Penyelesaian masalah LBB bisa dilakukan dengan mendorong mereka untuk merubah lembaga mereka menjadi kursus-kursus ketrampilan dan kewirausahaan. Sedangkan bagi industri percetakan, pemerintah dapat melibatkan mereka dalam program penyediaan buku ilmu pengetahuan yang murah bagi rakyat kecil. Hal ini akan berdampak kepada siapa pun yang tidak mampu memperoleh jenjang pendidikan formal yang memadai agar tetap bisa terus belajar sendiri melalui buku pengetahuan yang bisa dibeli dengan murah atau bahkan dibagikan secara gratis oleh pemerintah.

Masalah berkurangnya lahan bagi para koruptor, jelas justru disinilah salah satu alasan mengapa artikel ini ditulis. Kita mesti harus semakin mempersempit segala kemungkinan pemborosan uang rakyat oleh para koruptor.

Kemudian yang tidak kalah pentingnya bahwa kualitas pendidikan formal di Indonesia ini tidak bisa kita ukur secara menyeluruh dengan penilaian secara seragam dalam bentuk UN. Setiap daerah di negeri ini pada kenyataannya memang memiliki tingkatbudaya dan peradaban yang tidak sama. Janganlah semua diukur dengan tolok ukur pemerintah pusat di Jakarta. Apalagi ditumpangi dengan kepentingan politik.

Kalau sisi kemanusiaan dikorbankan maka tidak layak dianggap sebagai pendidikan. Apabila yang diperlukan adalah ukuran kualitas penyelenggaraan pendidikannya, bukankah selama ini sudah diterapkan akreditasi sekolah dan sertifikasi guru maupun dosen? Mengenai kualitas para siswanya biarlah jenjang pendidikan lebih lanjut, dunia kerja, masyarakat dan bahkan alam yang menyeleksinya.

Akhirnya marilah kita melihat secara kritis tentang pelaksanaan UN selama ini. Penerapan UN hanya semakin mencederai pendidikan di negeri ini. Janganlah kecerdasan dan sikap kritis para siswa serta generasi muda penerus bangsa kita ditumpulkan oleh kepentingan ekonomi sesaat kelompok dan oknum koruptor. Nilai-nilai dasar kualitas manusia harus selalu kita letakkan di atas kepentingan ekonomi.

Salam damai penuh cinta.

***

Solo, Sabtu, 8 Februari 2014

Suko Waspodo

www.sukowaspodo.blogspot.com

Ilustrasi: www.kesekolah.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun