Mohon tunggu...
Suko Waspodo
Suko Waspodo Mohon Tunggu... profesional -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

amrih mulya dalem gusti

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

‘Mafia’ Pendidikan Sekolah Menengah di Indonesia

4 Februari 2014   20:44 Diperbarui: 11 Agustus 2015   23:07 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13915213721846332308

Setiap kali menjelang Ujian Nasional (UN) maka kembali fenomena keresahan maupun kegalauan berulang kembali. Siswa-siswi, para orang tua dan bahkan para guru semuanya gundah gulana.

Siswa-siswi mengalami kecemasan terhadap bagaimanakah nanti soal ujiannya dan apakah mereka sudah memiliki kemampuan untuk mengerjakannya. Masih banyak juga para peserta ujian yang dilanda kekuatiran nantinya akan mengalami kesulitan dalam pengerjaan soal multiple choice dengan lembar jawab komputerisasi. Semuanya cemas terhadap kemungkinan mengalami kegagalan dalam meraih jenjang pendidikan berikutnya.

Para orang tua gelisah tentang nilai hasil UN anak-anak mereka, terlebih mereka yang terlalu menekankan pentingnya rangking dan nilai-nilai angka bagi anak-anaknya. Tuntutan jumlah nilai tertentu yang harus dicapai agar anak-anak mereka memperoleh sekolah favorit mereka.

Para guru yang bidang studinya disertakan sebagai UN galau kalau apa yang mereka ajarkan tidak terserap dengan baik oleh peserta didik dan nilai ujian mereka buruk dan tidak lulus. Bahkan sekolah sendiri juga cemas apabila tidak mampu meluluskan 100 persen sehingga sekolah tersebut menjadi tidak laku pada tahun ajaran berikutnya, karena dianggap sekolah yang tidak berkualitas.

Kecemasan, keresahan, kegelisahan dan kegalauan itulah yang memang sengaja diciptakan oleh para pengambil kebijakan sistem pendidikan nasional khususnya mengenai UN. Segala cara akhirnya dilakukan agar hasil UN bisa terpenuhi sesuai tuntutan. Selanjutnya yang terjadi adalah mafia dalam sistem pendidikan sekolah menengah kita. Mengapa demikian? Marilah kita perhatikan apa yang akan coba saya paparkan hasil pengamatan dan pengalaman saya selama lebih dari 30 tahun menjadi guru dan secara khusus selama sistem UN diterapkan.

Lembaga Bimbingan Belajar (LBB)

Banyak LBB diselengarakan dimana-mana’ mulai dari yang kecil tapi murah sampai yang mahal yang penyelenggaraannya menggunakan sistem bisnis waralaba. Penyelengaraannya adalah dengan mencecar para pesertanya dengan latihan mengerjakan dan mencermati ciri-ciri soal ujian pilihan ganda seperti yang dipakai pada UN.

Masing-masing lembaga bimbingan belajar bersaing menawarkan kemungkinan lulus dengan nilai yang mendekati sempurna. Bahkan ada LBB yang berani menjamin pesertanya pasti lulus dan diterima di jenjang pendidikan pada sekolah favorit berikutnya yang mereka inginkan.

Bagaimana mungkin kelulusan terbaik bisa dijamin oleh lembaga bimbingan belajar tersebut? Nah, jawabannya saya peroleh ketika pada tahun lalu saya mencoba mengamati dan memperoleh informasi dengan cara menjadi pengajar selama dua bulan di salah satu LBB yang pernah menjadi LBB pilihan pada beberapa tahun yang lalu. Dahulu lembaga ini sangat laris dan selalu bisa menjamin kelulusan tapi sekarang tidak seperti itu lagi. Dari pembicaraan bisik-bisik antara saya dengan penyelengaranya saya memperoleh informasi ternyata dahulu lembaga ini bekerjasama dengan para penentu kebijakan dan penyelenggara UN pada waktu itu, yang tentu saja uang bermain disini. Bentuk soal dan bocoran soal secara tersamar bisa diperoleh dan pada ujungnya diberikan pada para peserta bimbingan belajar. Sementara saat ini LBB tersebut tidak laku lagi karena para penentu kebijakan dan penyelengara UN sudah berganti orang-orangnya lalu LBB lain sudah lebih dahulu melobinya dengan uang yang lebih besar. Maka jangan heran kalau sekarang terlihat ada LBB yang dulu laris berubah terpuruk dan ada yang dulu tidak laku sekarang laris berkibar.

Para pengajar di LBB yang sedang laris tersebut sebagian besar adalah para guru sekolah favorit yang diberi honor yang cukup besar serta biasanya mereka membawa siswa-siswinya untuk mengikuti bimbingan belajar disitu. Inilah jejaring yang terjadi di dalam suatu LBB.

Lembar Kerja Siswa (LKS)

LKS dengan alasan untuk latihan menghadapi UN diadakan dan saya pernah mengkritisinya dalam artikel saya di HL edukasi kompasiana 22 April 2012, Lembar Kerja Siswa (LKS), Pembodohan dan Bisnis Berkedok Pendidikan.

Artikel saya tersebut mendapat banyak tanggapan dan sebagian besar setuju dengan pendapat saya bahwa LKS hanya menjadi ajang bisnis antara perusahaan percetakan, sekolah dan para guru. Siswa-siswi mengalami proses pembodohan dan tidak menjadi kritis dalam penalaran serta tidak mampu menyampaikan pendapat dengan baik karena hanya dicecar dengan LKS saja dalam proses belajar mengajarnya. Para guru menjadi pemalas dan tidak kreatif karena LKS sudah disediakan oleh percetakan dan bukan hasil kreatifitas mereka sesuai tuntutan kebutuhan siswa-siswi mereka. Para guru lebih mementingkan memperoleh komisi dari setiap LKS yang dibeli oleh siswa-siswi. Sungguh memalukan sekaligus memprihatinkan.

Mengajarkan Ketidakjujuran

Demi memperoleh kelulusan dan nilai yang tinggi pada UN sering terjadi kasus pembocoran soal ujian oleh oknum-oknum tertentu pengejar kepentingan pribadi sesaat. Bahkan kadang oleh sekolah sendiri seperti yang sering terjadi setiap kali penyelengaraan UN.

Akibat dari penerapan sistem Ujian Nasional, memang berdampak pada larisnya LBB tertentu dan menjamurnya percetakan-percetakan pembuat LKS yang menyerap tenaga kerja, tetapi merusak tujuan pendidikan yang sesungguhnya. Kecerdasan dan kemajuan penalaran siswa-siswi dikorbankan demi kepentingan bisnis percetakan.

Perguruan tinggi menjadi lembaga yang ‘tidak makan nangkanya terkena getahnya’. Mahasiswa-mahasiswi pada umumnya mengalami kesulitan saat menyesuaikan dengan sistem belajar di perguruan tinggi yang membutuhkan kemampuan penalaran dan analisis. Menjadi mahasiswa yang cenderung text-book thinking serta kurang berani menyampaikan pendapat. Maka tidak mengherankan pula kalau akibatnya banyak yang menjadi mahasiswa-mahasiswi copy-paste. Tukang menyontek dan plagiator-plagiatris yang handal. Pada akhirnya kualitas lulusan perguruan tinggi juga menurun.

Sudah saatnya semua pihak mencermati sistem pendidikan kita ini, khususnya penerapan UN, penyelenggaraan LBB dan pengunaan LKS. Sistem pendidikan formal kita tidak hanya jalan ditempat tapi bahkan mengalami kemerosotan yang sangat tragis dan mencemaskan. Kita pasti akan kehilangan generasi muda yang cerdas dan berpenalaran tinggi kalau sistem pendidikan kita masih seperti ini.

Inilah sekedar ungkapan keprihatinan saya terhadap sistem pendidikan kita serta ungkapan kecintaan saya pada generasi muda Indonesia. Saya tidak ingin kehilangan generasi muda yang jujur dan berkualitas. Sebagian generasi tua yang korup dan tidak jujur biarlah mereka menunggu ajalnya saja. Para generasi muda, mari bangkit menempa diri dan mencontoh para generasi tua yang baik saja. Selamat belajar dan berjuang menjadi pribadi yang jujur dan berkualitas.

Salam damai penuh cinta.

***

Solo, Selasa, 4 Februari 2014

Suko Waspodo

www.sukowaspodo.blogspot.com

Ilustrasi: formatnews.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun