Mohon tunggu...
Ahmad Sugeng Riady
Ahmad Sugeng Riady Mohon Tunggu... Penulis - Warga menengah ke bawah

Masyarakat biasa merangkap marbot masjid di pinggiran Kota Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Hemat Listrik Itu Bagus, tapi Ya Jangan Kebablasan

11 Juni 2020   21:05 Diperbarui: 12 Juni 2020   16:40 885
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi hemat listrik. (sumber: 123rf.com)

Listrik memang menjadi kebutuhan utama manusia hari ini. Tanpa listrik, hampir semua aktivitas bisa berhenti. Perkantoran dengan laptop, lampu, serta jaringan wifi tanpa listrik akan lumpuh. 

Begitupun warung kopi sebagai tempat kongkow, tanpa ada televisi, wifi dan lampu mungkin bisa sepi kemudian gulung tikar. Atau bagi yang sudah berumah tangga, ketiadaan listrik berarti tidak rapi, tidak makan, dan tidak belajar, karena lampu, setrika, dan rice cooker semua butuh listrik.

Kendati menjadi kebutuhan utama, penggunaannya tidak bisa semena-mena. Harus ada kontrol, penghematan, dan bahkan ada yang sampai kelewatan (terlalu) hemat.

Prototipe kelewat hemat ini saya dapati di kehidupan teman saya yang sudah berkeluarga. Ini menarik, kenapa? Karena hidup hemat yang sejatinya dianjurkan oleh banyak pihak justru bertentangan dengan kepantasan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Istilah akademisnya, tidak kontekstual.

Memang kebiasaannya Hemat Listrik ini sudah ia terapkan sejak hidup satu kos dengan saya. Ketika tidur, ia tidak bisa dengan kondisi lampu menyala. 

Televisi, setrika, dan pompa air selalu ia pastikan sudah mati sebelum tidur. Saat itu saya melihatnya sebagai orang yang patut untuk ditiru. Dan lamat-lamat saya mulai menerapkan apa yang ia lakukan. Kadang saya yang mematikan, kadang ia.

Namun itu di kos yang letaknya di kota. Kultur hidup di kota tentu berbeda dengan di desa. Di kota, lampu ruang tamu rumah dimatikan setiap hari dan hanya menyala setiap kali tamu berkunjung, tidak menjadi persoalan. Sebab memang individualistik dan kompetitif menjadi dua ciri yang melekat bagi masyarakat kota. 

Apalagi yang ngekos, asal bayarnya rutin dan tidak membuat kerusuhan, pemilik kos dan yang ngekos lainnya tidak akan kepo mengusik ketentraman hidup kenapa lampu menyalanya jarang dan lebih sering dimatikan.

Namun kultur di desa berbeda. Kulturnya komunal. Sekali dua kali tidak ikut kegiatan lingkungan, maka akan dipertanyakan yang bisa memicu gosip. 

"Kemarin rumah itu tidak ikut kerja bakti, padahal ada di rumah. Jangan-jangan..." atau "mereka kok tidak mau ikut rapat di kampung ya, apa takut rahasiannya terbongkar?" Termasuk juga soal Hemat Listrik.

Sampai di sini, peribahasa "lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya" sangat representatif. Ya hidup sesuai dengan kondisi lingkungannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun