Mohon tunggu...
Pendekar Syair Berdarah
Pendekar Syair Berdarah Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Jancuker's, Penutur Basa Ngapak Tegalan, Cinta Wayang, Lebih Cinta Keluarga.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Dalang dan Wayangnya : Shinta Bohong Bag. 1

21 November 2012   12:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:55 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Panggung sudah hancur lebur, jagad berubah gulita, setelah hantaman sinar yang bergulung-gulung susul menyusul jatuh dari langit. Entah siapa bedebah yang mengirimnya. Kalau kelakuan dalang darno tidak mungkin, darimana dia mendapat ajian sehebat itu, paling mentok terakhir dia mengirim santet yang lagi-lagi selalu salah alamat kena ke ayam-ayamku. Ajian atau sinar yang keluar dari senjata apa ini aku sampai terpental bermil-mil jauhnya, aku sendiri tidak tahu dimana sekarang.

Dalam gelap aku terkurung sendiri, aku mencoba mengumpulkan kayu-kayu yang berserakan didepanku, aku jadikan api unggun, tak cukup besar tapi cukup memperlihatkan pohon beringin yang sangat besar dan sangat rindang. Aku hanya terduduk dan perlahan masuk jauh ke dalam lamunanku, dimana aku? Tanyaku dalam hati.

Lamunanku sampai pada sosokmu, sosok yang tak pernah bisa kumaafkan, meski gelora api telah memaafkanmu tapi tidak bagiku. Shinta, hanya lelaki bodoh seperti rama yang bias kau tipu dengan rengekanmu. Bahkan, titisan wisnu sekalipun tak berdaya saat menghadapi ilmu kemanjaanmu.

Kau tak diculik rahwana…? Kau tak diculik…? Kau pergi, meninggalkan rama? Kau menipu rama?

Tidak aku memang diculik…? Suara perempuan yang amat aku kenali sekali, shinta, menghenyakan lamunanku.

Siapa yang menculikmu? Rasa bosanmu? Rasa jenuhmu? Melihat wajah tampan rama? tutur lembutnya? Belai sayangnya? Yang monoton, itu-itu saja…? Iyaaa…?

Shinta, hanya terdiam memutariku dan memandangiku, aku pun tak mau melepaskan pandangan bengisku sudah lama aku mengharapkan wanita ini muncul. Aku ingin melampiaskan semua rasa kesalku dihadapanya langsung.

Perlahan saat ia merasa aku tak hanyut dalam tatapanya seperti yang ia bisa lakukan pada lelaki lain seperti rama dan rahwana, perlahan ia mengeluarkan senjatanya, bukan senjata pamungkas tapi banyak lelaki yang terbunuh oleh senjata ini, menangis, airmata, ya itulah senjatanya.

“Kamu fikir aku anak dewa yang tak bisa menemukan rasa bosan, menerima semua kasih saying rama yang tulus dan lurus… aku ingin disakiti, seperti yang wanita lain rasakan, tapi suamiku tidak bisa, atau akhirnya seperti ini aku menyakiti… setidaknya aku sudah berhasil…”

Dibawah rindang pohon beringin, langit muram temaram tanpa rembulan, hanya cahaya api ungggun membias tubuhku dan shinta, yang masih terus memutar dan saling tatap. Tangisnya belum berhenti, tangan kananku aku dekatkan ke pinggang belakangku dimana ragaruntingku terselip disana, diantara kain kembanku.

“Haahaahaahaa…. Kamu puas dalang….? Telah terbuka tabir di matamu tentang siapa aku, siapa sejatinya wayangmu ini…” ujar shinta

“Aku ingin rama menyakitiku, apa saja, selingkuhlah, ganjenlah, tapi apa semua gara-gara kamu, rama seperti itu, aku muak tiap hari mendengar tutur lembutnya, aku ingin dibentak, disakiti kemudian kami cek-cok seperti pasangan suami istri lain….” Sambung shinta

Aku pun lebih muak aku ingin sekali membunuh wayang ini, ingin rasanya kutusukan, dan kukoyakan kerisku di perutnya, tapi percuma ajian pancasona pasti akan menyelamatkanya dan menghidupkanya kembali.

Aku lihat mata shinta memerah, tanganya terkembang kesamping seperti hendak terbang, sayup kudengar ia sedang merapal sebuah mantra entah mantra ajian apa, selang beberapa menit aku lihat kedua telapak tanganya bercahaya, cahaya yang amat benderang, dan beberapa kali meletup, suaranya seperti bunyi petasan saat lebaran.

Tempat yang tadinya gelap kini terang benderang semua yang tak dapat kulihat beberapa jam lalu saat aku tersadar sudah berada ditempat gelap ini, taman yang indah taman argasoka tempat prabu rahwana dan shinta berkasih. Tak sempat aku menikmati keindahan taman argasoka, pohon terhuyung-huyung tertiup angin, dan bunga-bunga tercerabut dari akarnya, efek ajian shinta membuat seisi taman porak poranda.

“Matilah kau dalang…..” pekik shinta, dan aku lihat dua sinar melesat dari hempasan tanganya, disusul dua sinar berikutnya, mengarah tepat ke dadaku. Aku sudah mati langkah, dan pasrah, memejam mata.

Sampai aku rasakan, tangan kekar dengan bulu-bulu halus, mendorongku, sampai terpental jauh, beriring suara teriakan monyet, aahh… aku kenal siapa dia, aku yang memberikan suara itu padanya. Almamater padepokan kendalisada, munyuk putih hanoman.

Setelah mendorongku, secepat kilat ia menyusul empat gumpalan sinar yang hampir merontokan tulang iga rongga dadaku, gumpalan sinar itu dimentahkanya, sebagian membuncah, dan sebagianya pecah membentur dinding batu marmer taman argasoka. Sejurus kemudian ia menubruk shinta, dan melesat secepat kilat, entah akan dibawa kemana.

Selamat dari ajian shinta, kini aku bingung bagaimana aku akan keluar dari kepungan api ini,ini ulah bedebah itu, shinta obong.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun