Satu tahun sudah umur Bulog di bawah pemerintahan Jokowi – JK dan di bawah naungan Nawacita. Pertanyaannya, sudahkah Bulog mampu mewujudkan kedaulatan pangan. Selain itu apakah Bulog berhasil mengemban amanah Presiden Jokowi untuk mewujudkan prinsip-prinsip zero importation.
Setali Tiga Uang
Rasanya merinding bulu kuduk kita menjawab pertanyaan itu. Karena Bulog sekarang masih setali tiga uang dengan Bulog sebelumnya. Beberapa indikator penting yang menunjukkan Bulog belum berubah adalah:
Pertama, status perusahaan dari Bulog sebagai badan usaha benar-benar membebani Bulog, sehingga tidak bisa meninggalkan wataknya sebagai perusahaan pencari untung. Dengan statusnya itu, Bulog mudah dikendalikan untuk kepentingan pihak ketiga dalam mewujudkan bisnisnya.
Kedua, status tersebut akan membuat Bulog tabu untuk menyatakan keberpihakannya kepada petani, apalagi melakukan “proteksi dan subsidi” kepada petani. Dengan demikian Bulog juga berada dalam posisi tidak perlu mengendalikan harga pangan menjadi murah.
Ketiga, dengan statusnya sebagai badan usaha (milik negara) dan bukan badan layanan umum (BLU), maka “bisnis kecil” di internal Bulog akan tetap marak mengikutinya. Yang dimaksudkan adalah bisnis sampingan oknum Bulog dalam melakukan manipulasi kadar air, timbangan, derajat sosoh, kandungan menir (broken), serta transaksi-transaksi lain dalam pengadaan dan distribusi.
Keempat, Bulog masih dapat menyembunyikan berbagai agenda terselubung (hidden agenda) di balik kebijakan ekonomi dan alasan-alasan bisnisnya. Misalnya memasang harga rendah dan tunggal serta memperlambat menetapkan Harga Penawaran Pemerintah (HPP), meniadakan audit rutin atas stock, menetapkan kualitas gabah/beras, serta memanfaatkan kebijakan Bulog untuk memberi peluang bisnis bagi pihak ketiga.