Keterpurukan pertanian dan pangan Indonesia seharusnya tidak disikapi dengan panik dan mata gelap. Apalagi blingsatan seperti orang kebakaran jenggot. Tapi yakinlah bahwa di balik kegalauan itu pasti ada sebagian orang akan tenang-tenang dan berlagak pilon, karena sadar bahwa merekalah sumber masalah dan biang keroknya. Namun bagi orang yang “eling lan waspodo” sumber masalah itu dapat dibagi dalam tiga golongan saja, yaitu makro, meso, dan mikro.
MENGURAI PERMASALAHAN PERTANIAN
Tetapi sebenarnya ada hirarki lain untuk mengurai masalah pertanian, yaitu permasalahan pada tingkat konstitusi, paradigma/ideologi politik, kebijakan, peraturan-perundangan, managerial, dan teknis. Masing-masing level atau tingkat memiliki andil yang berbeda-beda sebagai faktor penyebab munculnya masalah. Metafor yang dapat digunakan dalam mengurai masalah adalah jangan mengkotak-katik sekering kalau lampu padam, mungkin masalahnya bukan pada kontrol tegangan, tetapi karena memang tidak ada arus listrik yang mengalir.
Penyelesaian masalah pangan, karenanya harus sistemik dan holistik. Untuk itu harus dihindari upaya penyelesaian sekedar agar tampak di mata publik atau penyelesaian masalah untuk pencitraan. Saat ini kita terjebak dengan bentuk upaya yang terakhir, sehingga cenderung menyelesaikan persoalan secara teknis yang sarat dengan berbagai kepentingan. Sebagai contoh pada masa rezim Suharto, untuk meningkatkan produktifitas telah dikeluarkan Inpres penggunaan sabit bergerigi yang menjadi bisnis keluarga yang notabene sebenarnya hanya memperbaiki rendemen panenan.
Mengatasi rendahnya produktifitas pangan, apakah betul hanya menyelenggarakan pengairan dan saluran irigasi? Tentu saat ini masalahnya sangat berbeda dengan pada saat Majapahit membangun saluran drainase dan irigasi. Saat ini air pertanian, walaupun diperlukan, bukanlah satu-satunya faktor produksi yang menentukan pencapaian target produksi pertanian. Apalagi dalam sistem yang semakin komplek dan pasar pangan yang semakin bebas atau liberal saat ini.
Oleh karena itu dalam meningkatkan produktifitas pangan dan mewujudkan kedaulatan pangan harus dicari titik permasalahan mana yang harus disentuh sehingga efektif dalam memberi solusi atas problem pertanian dan pangan kita. Penyelesaian pada hirarki atau tingkat yang lebih rendah, misalnya manajerial dan teknis, tidak ada artinya jika permasalahannya ada pada tingkat paradigma/ideologi, konsitusi, dan politik. Sebagai contoh, pemerintah menggunakan operasi khusus TNI untuk menjamin produktifitas beras. Namun hal ini tidak ada artinya jika kebijakan fiskal, keuangan, dan perdagangan tidak memberi insentif bagi pertanian dan nilai tukar petani (NTP).
PARADIGMA ABU-ABU
Problem utama kita yang mendasar adalah meluruskan terkait makna ketahanan pangan dan kedaulatan pangan. Paradigma jelas bukanlah slogan atau yel-yel yang cukup disablon di atas T-Shirt, tetapi harus diderifikasi dalam politik, kebijakan, peraturan-perundangan, manajerial, dan teknis. Sampai saat ini politik pangan kita belum menderifikasi paradigma kedaulatan pangan secara konsisten. Politik pangan Indonesia masih mengadopsi kebijakan pangan ala neo-liberal yang sangat pro-pasar (free-market) yang meminimalisir subsidi, terus menurunkan tarif impor pangan, dan meminimalisir intervensi pemerintah dalam perdagangan pangan.
Inti dari paradigma kedaulatan pangan seharusnya adalah menjiwai keyakinan bahwa pangan bukanlah sekedar komoditas yang semata-mata diatur oleh fungsi-fungsi ekonomi (bebas nilai). Pangan adalah benda sosial dan bukan sekedar benda ekonomi belaka. Yang dikembangkan seharusnya adalah agrikultur yakni pertanian yang didedikasikan untuk memenuhi kebutuhan pangan manusia, tetapi bukan agribisnis yang menjadikan pangan sebagai alat untuk mengejar keuntungan semata (profit motivated).
Berdasarkan pandangan tersebut, negara maju dengan sadar melakukan proteksi terhadap petani dan produk pertanian mereka. Kendati demikian di dunia internasional mereka malah mengkampanyekan anti proteksi dan anti dumping. Pada tahun 2003 pemerintah Amerika Serikat sendiri telah memberikan subsidi kepada petani mereka sebesar 1,7 miliar US dollar atau berarti 232 US dollar setiap hektar. Sedangkan 30 negara kaya lain memberi subsidi pertanian dalam bentuk sumbangan 30 persen untuk meningkatkan pendapatan petani dengan total nilai subsidi sebesar 280 milyar US dollar.
Namun di sini yang berlaku sebaliknya, Indonesia justru dengan ikhlas dan senang hati pada tahun 1989 menandatangani The Washington Concensus yang merupakan prakarsa AS, Dana Moneter Internasional (IMF), dan Bank Dunia. Sebagai konsekuensinya Indonesia akhirnya harus melakukan liberalisasi perdagangan, swastanisasi, dan melakukan pencabutan subsidi, termasuk di bidang pangan. Sejak saat itu tanpa proteksi dan kendali fiskal yang efektif, Indonesia membebaskan impor produk pangan petani asing.