Tiap daerah memiliki budaya yang bergam dalam menyambut panen raya, seperti di Dayak ada budaya Yangahatan, Cembeng di Tegal, Arak pengantin di Cirebon, Mappadendang di Bugis, Wiwit di Sleman, tapi di Grobogan lebih tepatnya Budaya Gigit Jari saat panen raya. Sebagai rujukan harga beras di Jawa Tengah, panen raya Grobogan selalu berakhir lesu, bahkan tidak sedikit petani yang gulung tikar akhirnya harus merantau ke Ibu Kota untuk kerja sebagai buruh bangunan. Kejadian ini serupa dengan masyarakat Blora, Sragen, dan Klaten yang mayoritas penduduknya bertani.
Presiden Jokowi tahun ini akan mengeluarkan kebijakan untuk memberikan wewenang Bulog dalam memerankan dan mengendalikan harga beras maupun gabah di pasaran (Tempo edisi 22-28/6/15). Artinya petani tidak akan dipermainkan lagi oleh cukong-cukong yang bergentayangan.
Sistem tanam di Kabupaten Grobogan menggunakan irigasi dan tadah hujan. Untuk irigasi, petani memanfaatkan air dari Bendungan Kedung Ombo. Sedangkan wilayah yang tidak bisa menikmati air waduk, menggunakan sistem tadah hujan, wilayah ini berada di perbatasan Kabupaten Blora. Pemerintah pernah membangun waduk di Kabupaten Blora tapi sayangya tidak berfungsi maksimal karena tanah jenis kapur tidak mendukung keberadaan waduk.Â

Rata-rata hasil panen petani Grobogan per satu hektar mencapai 3-4 ton. Jika terkena hama atau puso, petani hanya mendapatkan satu ton. Namun, sayang selama ini banyak petani dirugikan oleh para cukong yang gentayangan, dengan memainkan peran untuk menaik-turunkan harga sendiri. Kebutuhan petani untuk satu kali musim tanam sangat besar. Untuk lahan satu hektar, petani harus menyediakan benih sebanyak 25 kg seharga Rp 250.000, pengolahan lahan menggunakan traktor Rp 500.000, tamping galeng (merapikan pematang) Rp 400.000/musim, tandur/tanam: Rp 600.000, kebutuhan pupuk KCL/ZA: Rp 244.000/kwintal, pupuk Urea: Rp 184.000/kwintal, matun (membersihkan ilalang) Rp 300.000/musim, ngedos (panen) Rp 40.000/kwintal, bagi hasil utuk pengelola irigasi 70 kg gabah. Jika ditotal pengeluaran per hektar mencapai RP 4.000.000.Â

Era Orde Baru saat jayanya swasembada pangan, saat panen tiba petani lebih senang dengan memanen dan menimbunnya sendiri hingga setinggi atap karena mereka tidak ada tanggungan untuk bayar hutang di bank. Saat ini berbalik, petani sesegera menjual hasil panennya, agar cepat mendapatkan uang. Setelah mendapatkan uang tersebut, lantas petani harus menutup hutang-hutangnya.
Â
Melihat data kebutuhan petani, pemerintah harus berani mengambil sikap, seperti memberikan jaminan atas harga gabah atau beras di pasaran. Dalam hal ini Bulog harus mendapatkan otoritas dalam pengendalian harga, termasuk mengendalikan harga dan ketersediaan pupuk.
Panen yang bersamaan membuat cukong leluasa untuk membeli atau tidak membeli hasil panen petani sehingga dengan mudah harga bisa berubah-ubah. Sedangkan Bulog berdalih persediaan beras masih tersedia, maka tidak perlu membeli beras dari petani. Desakan keuangan petani harus mengorbankan gabahnya meskipun harga turun drastis tidak sesuai ketetapan pemerintah. Jika saja Bulog mampu membeli semua hasil panen, tidak ada petani yang dirugikan.
Peranan Bulog
Sistem kapitalisme dalam dunia pertanian telah mencekik kehidupan petani. Beras sebagai bahan pokok warga negara Indonesia belum dapat menyejahterakan nasib para petani. Bahkan tidak sedikit petani yang merugi akhirnya mereka harus menjual lahannya. Yang paling diuntungkan adalah bank. Fenomena sekarang, aset bank daerah lebih banyak pada lahan pertanian.