Mohon tunggu...
Subagyo
Subagyo Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Pekerja hukum dan sosial; http://masbagio.blogspot.com http://ilmubagi.blogspot.com http://sastrobagio.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Belajar dari Wayang

29 September 2010   08:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:52 3368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam kisah Mahabarata, ada tokoh terkenal, raja Hastina bernama Duryudana. Dalam cerita wayang, Duryudana mempunyai nama-nama lainnya, diantaranya: Suyudana, Kurupati, Jaka Pitana, Jaya Pitana, Gendari Suta, Drestarata Atmaja, dan lain-lain.

Arti nama-nama tersebut sebagai berikut: Duryudana artinya dia mengenakan mahkota prajurit, Suyudana artinya uangnya mengalir, dermawan karena uangnya (dana) dan hartanya melimpah. Kurupati artinya raja para Kurawa. Jaka Pitana artinya sejak muda rajin ibadah (melakukan pemujaan). Jaya Pitana artinya ibadah ritualnya (ritual pemujaan) sangat kuat. Gendari Suta artinya dia anak Dewi Gendari (ibunya). Drestarata Atmaja artinya dia anak Drestarata (ayahnya).

Duryudana menjadi raja Hastina dengan cara yang tidak sah dalam hukum monarki. Kerajaan Hastinapura sebenarnya diwariskan Pandu Dewanata, ayah para Pandawa, kepada Pandawa. Sebab Pandu menjalani hukuman di neraka gara-gara kasus perkawinannya yang kedua dengan Dewi Madrim, yang meminjam paksa tunggangan Dewa Guru bernama Lembu Nandini, untuk kendaraan bulan madu.

Saat Pandu meninggalkan dunia bersama Dewi Madrim ke neraka, para Pandawa masih kecil, sehingga kerajaan Hastina dititipkan kepada Drestarata alias Destarata, ayah Duryudana, ayah para Kurawa. Duryudana cs adalah bala Kurawa jumlahnya 100 orang. Hebat benar ya Dewi Gandari bisa melahirkan 100 anak?

Pandu, ayah Pandawa, sebagai pemeluk Hindu melakukan poligami. Poligami itu soal perilaku dan tradisi perkawinan manusia dari abad ke abad. Hindu dan Islam tidak menyuruh pria poligami. Poligami tak ada kaitan dengan agama. Islam bukannya menyuruh poligami, tapi mengatur dan membatasi poligami, agar tidak ngawur dan dengan memberi syarat (keharusan) adil.

Pandu mengawini Dewi Kunthi dan Dewi Madrim. Dalam perkawinannya dengan Dewi Kunthi, punya tiga anak terdiri dari Yudistira (Puntadewa), Werkudara (Bima), dan Arjuna. Sedangkan dengan Dewi Madrim punya dua anak kembar bernama Nakula dan Sadewa. Kelima anak Pandu tersebut disebut Pandawa.

Seharusnya yang menjadi raja Hastina itu ya Yudistira, putra tertua Pandu. Duryudana bisa menjadi raja Hastina dengan cara licik, membohongi Pandawa dipancing melakukan judi dadu, bahkan dicoba untuk dibunuh dalam kisah Bale Sigalagala. Akhirnya para Pandawa bersama dengan ibu mereka, Dewi Kunthi harus menyingkir, menyamar, masuk hutan Amarta, membabat hutan dan mendirikan kerajaan Amarta. Saat itu Kurawa mengira Pandawa sudah mati terbakar.

Itulah politik hitam. Meski Duryudana itu sejak muda rajin ibadah, bahkan dijuluki jagonya ibadah (Jaya Pitana), tapi nafsu kekuasaannya memicu perilakunya yang tidak jujur, memperoleh konsesi kekuasaan Hastina dengan cara tidak sah. Penasihatnya yang licik, pamannya sendiri (adik Dewi gandari) bernama Sengkuni.

Setelah memperoleh kekuasaan itu maka Duryudana menjadi kaya-raya. Setelah kaya-raya maka dia menjadi sangat dermawan. Duryudana menjadi raja yang cukup disegani, dicintai rakyatnya karena kedermawanannya. Tapi sayangnya isteri permaisurinya bernama Banowati tidak mencintainya. Banowati itu anak Salya (raja Mandaraka). Prabu Salya yang memaksa Banowati kawin dengan Duryudana. Padahal Banowati naksir Arjuna. Makanya Banowati juga selingkuh back street dengan Arjuna.

Rakyat Hastina itu rakyat lebay, hanya dengan disogok uang politik maka mereka tak peduli bahwa Duryudana itu raja yang curang (ilegal) dalam memperoleh kekuasaan. Dalam kisah perang Baratayuda, rakyat Hastina juga berperang melawan Pandawa. Tapi akhirnya Kurawa kalah dan rakyat Hastina takluk kepada Pandawa.

Setelah Hastina jatuh ke tangan Pandawa, yang menjadi raja Hastina adalah Parikesit, anak Abimanyu, cucu Arjuna. Abimanyu anak Arjuna dari isteri Dewi Sembadra atau Subadra. Kenapa Parikesit? Itu kesepakatan politik Pandawa. Anak-anak para Pandawa semua mati dalam perang Baratayuda.

Ada seorang tokoh penting lainnya yang cukup lebay juga. Dia adalah Karna, anak Dewi Kunthi dari hasil persetubuhannya dengan Dewa Surya. Sebelum dikawini Pandu, Kunthi sudah pernah ML (making love) dengan Dewa Surya, sebab Dewa Surya diundang Kunthi dengan mantera Druwasa, sebuah mantera yang bisa mendatangkan dewa untuk memberi anak. Konon waktu itu Kunthi yang masih remaja kencur cuma penasaran. Setelah didatangai Dewa Surya dia sempat menolak, tapi Dewa Surya tidak bisa membatalkan gairah seksnya.

Dari peristiwa ML itu, Kunthi punya bayi diberi nama Karna, sebab lahirnya dari telinga (kalau zaman sekarang mungkin ya operasi caesar itu ya? Ya nggak mungkin bayi kok lewat telinga). Kenapa lahir lewat telinga? Katanya agar vagina Kunthi tetap nggak ketahuan kalau habis melahirkan. Hehehe... ternyata Pandu juga ditipu sama Kunthi, yang nggak ngaku kalau dia pernah melahirkan Karna.

Bayi yang diberi nama Karna itu dibuang ke sungai Gangga, karena Prabu Kunthiboja, ayah Dewi Kunthi malu punya cucu tanpa bapak manusia. Siapa juga – waktu itu - yang percaya Karna itu ‘hasil karya’ Kunthi dengan Dewa Surya? Karna bayi di sungai Gangga ditemukan kusir kerajaan Hastina bernama Adirata, lalu diasuh hingga besar.

Duryudana mengetahui Karna ini jago memanah. Suatu saat Karna mau ikut latihan memanah berguru kepada Guru Durna, tapi diejek Arjuna. “Kamu ini anak kusir, orang biasa, kok mau berguru kepada Guru Durna?” Arjuna ini selain playboy, dia juga sombong dan ngambekan. Hanya karena dia paling cakep dan sakti aja maka para perempuan suka sama dia dan banyak yang mau dipoligami. Capek deh.... Akhirnya Karna diangkat jadi Bupati Awangga oleh Duryudana, sehingga bisa menjadi murid Durna. Selanjutnya Pandawa baru tahu bahwa Karna itu anak sulung Dewi Kunthi.

Karna ini menjadi bupati yang sangat setia kepada Duryudana dengan petimbangan bahwa dia berhutang budi kepada Duryudana. Suatu saat dalam upaya mediasi menjelang perang Baratayuda, Karna menolak bergabung dengan Pandawa dan memastikan memihak Kurawa karena merasa punya hutang budi. Karna tidak mau tahu legalitas kekuasaan Duryudana. Dia tetap memihak Duryudana. Karna akhirnya gugur dalam perang Baratayuda, lehernya putus terkena panah Arjuna.

Arjuna sebenarnya tidak tega membunuh Karna. Arjuna sudah tahu kalau Karna itu kakak tirinya, sama-sama anak bunda Kunthi. Kresnalah yang bertindak selaku penasihat perang Pandawa dan kusir Arjuna, waktu perang itu yang membuat siasat.Kresna menghentakkan kereta kuda, sehingga panah Arjuna tidak sengaja terlepas memenggal leher Karna. Arjuna menangis pilu, menyesal tahu Karna mati terkena panahnya.

Andai saya jadi Karna, begitu saya tahu Duryudana itu raja ilegal maka saya akan mengundurkan diri sebagai bupati Awangga dan buka praktik advokat aja, hehehe... Untuk apa jadi bupati haram?

Nah, sepenggal kisah ini mengandung pelajaran, yang dalam bahasa Jawa dikatakan bahwa “Suradira jayaningrat, lebur dening pagastuti.” Artinya: “Sekuat, sekeras dan sesakti apapun jika berada dalam posisi yang salah, maka akhirnya akan hancur (kalah) oleh kebaikan atau kebenaran.” Maknanya sama dengan: waqul jaa al haqquwazahaqolbaathil, innalbaathila kaanazahuuqoo!” (Al-Isra’: 81) Artinya: Dan katakanlah bahwa kebenaran telah datang, dan lenyaplah yang bathil (salah). Sesungguhnya yang bathil (kesalahan, kemunkaran, dll) akan lenyap.”

Tapi kenapa kekuasaan-kekuasaan ilegal, termasuk kekuasaan politik, konsesi pertambangan, penebangan hutan, dan lain-lain yang ilegal itu tetap kekal di Indonesia? Kenapa? Sebab, di Indonesia memang tidak ada pangastuti, tidak ada al-haq, tidak ada kebaikan dan kebenaran yang serius melawannya. Tentu bahwa manusia itu tak ada yang sempurna, seperti Pandawa yang juga punya kesalahan, tapi di kemudian hari dapat ditata dan disempurnakan serta dipertanggungjawabkan.

Lha selama ini yang melawan kekuasaan yang ilegal ternyata juga kaum abu-abu dengan cara yang tidak benar, menerima sogok, memeras, dan sebagainya? Ibaratnya, menyapu lantai dengan sapu kotor ya tetap akan kotor.

Jadi, khusus untuk di Indonesia, jangan harap ilegalitas kekuasaan dalam berbagai bentuk itu akan lenyap, akan lebur, selama tidak ada pangastuti. Tiiiiiiii ! Mana dirimu Tiiiii ?

Sumber foto diantaranya dari wayang.files.wordpress.com dan whobharata.multiply.com, serta pemberian teman Walhi Jatim.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun