Mohon tunggu...
Lipur_Sarie
Lipur_Sarie Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumah tangga yang mencintai alam

Indonesia adalah potongan surga yang dikirimkan Sang Pencipta untuk rakyatnya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Antara Wayang Suket dan Gundono

26 Maret 2013   15:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:11 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1364285832865351598

[caption id="attachment_234750" align="aligncenter" width="259" caption="salah satu aksi mas gundono dengan wayang suketnya (ft by blogspot)"][/caption] Kecintaannya dengan dunia Pedalangan dimulai saat Gundono masih kecil. Tapi ada hal lain di balik itu yang tidak ia sukai. Yaitu kehidupan pedalangan yang sangat dekat dengan mabuk-mabukan dan main perempuan. Untuk Gundono memilih masuk pesantren di Lebak Siu sampai Madrasah Aliyah. Tetapi bukannya semakin menjauh justru perasaan semakin cinta dan kangen dengan dunia wayang. Slamet Gundono lahir di Slawi Tegal pada tanggal 19 Juni 1966. Kedua orang tuanya petani tulen dan tidak mempunyai darah seni sama sekali. Wayang suket bisa dikatakan merupakan pengalaman bawah sadar masa kecilnya. Setiap hari ia ke sawah dan melihat suket (rumput). Ketika petani sedang santai dan untuk mengisi waktu, mereka menganyam bagian batang jenis rumput menyerupai bentuk wayang. Pengalaman itulah yang menjadi "ide dadakan" pentas perdananya di Riau sekitar tahun 1997. Sebuah situasi yang mengharuskan ia ndalang (pentas wayang), padahal saat itu tidak ada wayang kulit. Ia kemudian ingat kakaknya yang tinggal di sana dan kebetulan mempunyai studio lukis di tengah alang-alang persawahan. Berbekal pengalaman masa kecil yang setiap hari ke sawah, maka muncullah ide memakai suket (rumput) yang dibentuk, diikat dan digulung menjadi berbagai bentuk wayang yang kemudian ia mainkan dengan gamelan mulut ala kadarnya. Lakon itu berjudul " Kalingan Lamun Kelangan". Itulah pentas wayang suket perdanya. Sepulang dari Riau, ia mengumpulkan beberapa temannya dan diajak membentuk komunitas wayang suket yang kemudian dipakai nama Padepokan Wayang Suket di desa Ngringi, Jaten, Karanganyar. Mas Gundono tidak berhenti di situ saja. Saat ini sudah ada Sanggar Suket di Mojosongo Solo. Tidak hanya kegiatan kesenian di sana, tetapi juga ada taman bacaan bagi anak-anak dari berbagai kalangan yang diberi nama Dongeng Suket. Kini wayang suket menjadi ikon bagi Gundono. Wayang suket ya Mas Gundono, Mas Gundono ya wayang suket. Alumni Jurusan Seni Pedalangan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta tahun 1999 yang berpenampilan nyentrik dengan tubuh tambunnya diatas 100 kg, semula dikenal sebagai dalang wayang kulit. Mas Gundono adalah salah satu pengagun Ki Narto Sabdo (alm). Di saat ndalangnya mulai laris, justru Mas Gundono berbelok haluan, untuk menekuni sesuatu yang baru yaitu seni wayang suket. Pada awalnya Mas Gundono sering mendapat olok-olok,cibiran bahkan tidak sedikit yang berpandangan miring dari kalangan seniman. Namun berkat usaha keras dan kecintaannya dengan wayang suket, tahun demi tahun pentas wayang semakin banyak peminatnya. Tidak hanya keliling kota, wayang suket pernah pentas di salah satu stasiun TV swasta beberapa waktu yang lalu. Bahkan tidak hanya itu, wayang suket pernah diundang pentas sampai ke manca negara. Untuk melihat aksi Mas Gundono dengan wayang suketnya ada di Youtube. Di tangan Mas Slamet Gundono wayangsuket menjadi media seni teater berbasis kesenian tradisional wayang. Salam budaya...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun