Mohon tunggu...
Widodo Judarwanto
Widodo Judarwanto Mohon Tunggu... Dokter - Penulis Kesehatan

Dr Widodo Judarwanto, pediatrician. Telemedicine 085-77777-2765. Focus Of Interest : Asma, Alergi, Anak Mudah Sakit, Kesulitan Makan, Gangguan Makan, Gangguan Berat Badan, Gangguan Belajar, Gangguan Bicara, Gangguan Konsentrasi, Gangguan Emosi, Hiperaktif, Autisme, ADHD dan gangguan perilaku lainnya yang berkaitan dengan alergi makanan.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Pengalaman Pribadi: Jenjang Pendidikan Paling Berat, Depresi Meningkat

25 April 2024   14:59 Diperbarui: 27 April 2024   06:49 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hasil skrining Kementerian Kesehatan dilakukan pada 12.121 mahasiswa program pendidikan dokter spesialis (PPDS) menyebutkan sebanyak 22,4 persen di antaranya terdeteksi mengalami gejala depresi. Sekitar 3 persen di antaranya bahkan mengaku merasa lebih baik mengakhiri hidup atau ingin melukai diri sendiri dengan cara apa pun. Mengapa hal ini terjadi ? Apakah lingkungan sistem pendidikan yang salah, memperberat invidividu peserta didik yang mempeberat genetik bawaan depresi yang ada ? Pengalaman pribadi penulis dalam menempuh jenjang pendidikan, memang pendidikan dokter spesialislah pendidikan yang paling berat menyita tenaga, waktu, dana dan pengorbanan psikis yang tidak ringan.

Depresi adalah gangguan suasana hati (mood) yang ditandai dengan perasaan sedih yang mendalam dan kehilangan minat terhadap hal-hal yang disukai. Seseorang dinyatakan mengalami depresi jika sudah 2 minggu merasa sedih, putus harapan, atau tidak berharga. Depresi yang dibiarkan terus berlanjut dan tidak mendapatkan penanganan dapat menyebabkan terjadinya penurunan produktifitas kerja,kesalahan penanganan pasien atau malpraktek, gangguan hubungan sosial, hingga munculnya keinginan untuk bunuh diri. Depresi adalah gangguan mental yang umum. 

Perkiraan terbaru Organisasi Kesehatan Dunia (2015) mengungkapkan bahwa lebih dari 320 juta orang, setara dengan 4,4% populasi global, menderita depresi. Bukan hanya di Indonesia, di berbagai tempat du dunia juga melaporkan bahwa Dokter tampaknya menderita depresi lebih banyak dibandingkan populasi umum dan kelompok profesional lainnya. Mahasiswa kedokteran, dokter yang lebih muda, dan wanita melaporkan tingkat tekanan psikologis dan masalah kesehatan mental yang lebih tinggi dibandingkan pria dan dokter yang lebih tua.

Penyebab

Para peneliti menduga sebenarnya ada banyak penyebab depresi dan hal ini tidak selalu dapat dicegah. Faktor-faktor yang dapat berkontribusi terhadap depresi meliputi yangutama adalah faktor Genetika, Kimia otak, ketidak seimbangan hormonal, kondisi medis tertentu, Penggunaan zat, nutrisi buruk dan alergi makanan. Penelitian terakhir menunjukkan penderita alergi yang tidak dikendalikan penyebabnya bisa beresiko membuat gangguan depresi, gangguan mood dan keinginan bunuh diri.

Depresi tidak mempunyai penyebab tunggal. Ada banyak faktor yang berperan dalam meningkatkan risiko seseorang terkena kondisi tersebut. Tingkat depresi yang dialami perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki, yang menurut para ahli mungkin disebabkan oleh faktor hormonal. Riwayat depresi dalam keluarga dapat meningkatkan risiko terkena kondisi tersebut. Anda lebih mungkin mengalami gejala depresi jika anggota keluarga Anda yang lain juga mengalami depresi atau gangguan mood jenis lain. Perkiraan menunjukkan bahwa depresi sekitar 40% ditentukan oleh genetika.

Penting untuk diingat bahwa tidak ada satu pun penyebab depresi yang terjadi secara terpisah. Genetika dapat meningkatkan risiko Anda dan pengaruh lingkungan dapat menentukan seberapa besar kemungkinan Anda terkena depresi. Lingkungan inilah yang menjadi faktor pemicu atau trigger bagi invidu yang mempunyai genetik gangguan mood dan depresi pada peserta didik. Lingkungan pendidikan dokter spesilis yang pernah dialami penulis sendiri , adalah leingkungan pendidikan yang mempunyI beban yang paling berat dari sekian banyak pendidikan yang pernah ditempuh. Beban pendidikan tersebut adalah beban fisik, mental dan sosial ekonomi.

Pendidikan dokter spesialis tertentu berbeda dengan pendidikan spesialis lainnya. Pendidikan spesialis Bedah, Obsetri Ginekologi, Penyakit dalam dan Kesehatan anak berbeda dengan pendidikan spesial lainnya berbeda jenis, karakter pendidikan dan beban yang harus ditugaskan. Perbedaan tersebut meliputi beban kerja, waktu kerja dan tanggung jawab kerja. 

Beban kerja peserta spesialis yang paling menyita fisik dan pikiran jenis pekerjaan dalam pelayanan pasien dan beban tugas ilmiah yang demikian banyak yang harus diselesaikan dalam kurun waktu tertentu. Pelayanan pasien minimal sehari dilakukan 9 jam saat memasuki stase bagian tertentu, tetapi kadangkala pada bagian yang sibuk bisa menyita 12 jam. 

Belum lagi bila ada tugas jaga yang dilakukan dalam 15 jam kerja. Tugas jaga setiap bagian pendidikan berbeda antara 1-3 kali seminggu. Yang sangat berat bila mendapat tugas jaga bila pasien malam hari penuh dan banyak yang gawat darurat maka praktis tidak tidur, karena esoknya harus berdinas seperti biasa. Bila ini terjadi bisa saja dalam waktu 32 jam tidak tidur. Bayangkan seseorang tidak tidur dalam 32 jam melakukan pekerjaan yang berat yang berkaitan dengan nyawa manusia.

Beban lainnya lagi dalam pelayanan pasien adalah penanganan medis dengan segala spek permasalahannnya dan permasalahan administrasi dan pelaporannya. Beban kerja administrasi dan pelaporan juga tidak ringan, karena hal ini menyankut penilaian pendidikan. Sehingga ketelitian dan keseriusan harus terus dijaga dalam melakukan tugas tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun