Mohon tunggu...
Erka Rahman
Erka Rahman Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Pemburu kata.

Selanjutnya

Tutup

Money

Buah Impor Vs. Buah Lokal

21 Mei 2012   11:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:00 4942
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Jika kita pergi ke mall atau bahkan ke pasar-pasar tradisional maka dengan mudah akan kita temukan buah-buahan impor. Sedap dipandang, menggiurkan dan menggugah selera. Ah sayang, di negeri kaya ini, buah cantik nan menggoda itu kebanyakan buah impor. Lalu dimanakah buah lokal Indonesia?

Buah impor

Buah impor kerap dipilih oleh konsumen dengan alasan, tampilannya menarik, pasokannya terjamin, dan ada standarisasi mutu. Durian montong asal Thailand, jeruk asal Cina, apel, pear, dan kawan-kawannya sudah menjadi langganan konsumen Indonesia.

Buah impor kini tidak saja memasuki ranah konsumsi, tetapi juga telah menyerbu ke dalam hal yang lebih substansial, seperti ritual keagamaan. Di Bali, kini sebagian warga lebih suka menggunakan buah impor sebagai bahan sesajen dalam upacara. Menurut I Ketut Sumadi, dosen Institut Hindu Darma, jika mempersembahkan buah impor, warga merasa sesajinya lebih “berkelas” karena buah impor biasanya lebih mahal ketimbang buah lokal. (Kompas, 16 Oktober 2011)

Di luar lingkup rumah tangga, buah-buahan juga menjadi bahan baku industry makanan dan minuman. Untuk minuman ringan sari buah yang diproduksi perusahaan besar, hampir semua bahan bakunya impor.

Buah-buahan impor yang menjadi bahan baku industry ini umumnya dihasilkan oleh perkebunan besar, sentuhan teknologi diaplikasikan dari penanaman hingga pascapanen sehingga kontinuitas pasokan dan standarisasi rasa serta bentuk buah bisa didapat. (Kompas, 16 Oktober 2011)

Buah lokal

Potensi plasma nutfah buah-buahan Indonesia sangat besar. Dari tujuh spesies buah tropika utama (pisang, jeruk, durian, nangka, langsat, lengkeng, mangga, rambutan, dan manggis), Indonesia mempunyai lebih dari 6000 sumber plasma nutfah. Seharusnya, dengan kekayaan plasma nutfah tersebut Indonesia mempunyai varietas/klon buah-buahan yang unggul.

Potensi alam Indonesia juga sangat mendukung. Indonesia mempunyai iklim, lahan, dan altitude yang memungkinkan musim panen dapat dilakukan berbeda-beda tiap daerah. Sementara potensi lahannya masih cukup besar sekitar 9,7 juta hektar.

Menurut jajak pendapat Kompas, masyarakat sebenarnya masih menggemari buah lokal. Dari 446 responden, 74.9 persen responden lebih memilih buah lokal dari pada buah impor. (Kompas, 16 OKtober 2011)

Sungguh ironi jika buah-buahan Indonesia-jangankan dikenal di dunia internasional-menjadi tuan rumah di negeri sendiri saja belum. Padahal, buah-buahan lokal ini bisa “menang” dalam urusan rasa. Nilai gizinya juga lebih baik karena tidak melalui penyimpanan lama atau pengawetan yang menurunkan kualitas.

Selain lebih segar, beberapa buah tropis juga terbukti lebih unggul kandungan vitaminnya dibandingkan buah subtropics. Kandungan vitamin C dan vitamin A pada buah mangga lokal, misalnya, lebih tinggi 10 kali lipat dibandingkan apel impor.

Semua keadaan ini sangat terkait dengan mutu buah-buahan Indonesia. Tidak ada jaminan mutu dan belum diterapkannya manajemen mutu dalam produksi buah-buahan menyebabkan potensi buah kita menjadi terbengkalai.

Rendahnya mutu buah lokal ini terkait sangat erat dengan system produksi buah-buahan, system panen, dan penanganan pasca panen. Sistem produksi buah-buahan di Indonesia umumnya menggunakan system produksi pekarangan dan agroforestry. Dimana system jaminan mutu sulit diterapkan. Oleh karena itu, penerapan jaminan mutu buah-buahan perlu dikembangkan agar dapat diterapkan oleh para petani buah. Dan manajemen kebun buah yang dapat menjamin penerapan manajemen mutu perlu dipelajari.

Masalah lain menurut Roedhy Poerwanto, Guru Besar Hortikultura IPB, adalah system perdagangan di dalam negeri belum berorientasi pada mutu. Buah-buahan lokal diperdagangkan tanpa seleksi mutu di tingkat produsen. Dalam pengiriman, buah bermutu baik dicampur dengan bauh bermutu jelek, daun, ranting, bahkan buah busuk. Akibatnya, 40-60 persen buah rusak dan harus dibuang.

Untuk menjadikan buah lokal menjadi tuan di negeri sendiri dapat terwujud apabila kita membangun supply-chain management (SCM) yang tangguh. SCM merupakan strategi bisnis yang mengintegrasikan secara vertikal perusahaan-perusahaan dalam supply chain (SC) untuk menigkatkan efisiensi dan prestasi keseluruhan anggota SC agar dapat memenuhi tuntutan konsumen sehingga menjadi satu kesatuan kegiatan bisnis yang kompetitif.

Mengapa SCM menjadi penting? Karena, di Indonesia kini tumbuh pasar-pasar modern (hypermarket, supermarket, minimarket), adanya persaingan dengan produk impor, adanya tuntutan konsumen terhadap standar keamanan pangan dan mutu produk, perubahan gaya hidup dan cara pandang terhadap pangan.

Contoh penerapan SCM yang berhasil adalah di Taiwan. Petani-petani buah di sana membentuk asosiasi atau kelompok tani. Mereka melakukan seleksi sendiri. Buah dikemas sesuai standar, baru ditawarkan ke pasar grosir. Para tengkulak dipersilahkan membeli di pasar grosir dengan cara lelang dengan ketentuan yang dibuat asosiasi. Di Indonesia juga ada contohnya, yakni di Lumajang, Jawa Timur. Mereka adalah petani pisang mas Kirana yang membentuk Kelompok Tani Sumber Jambe.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun