Mohon tunggu...
Mr Sae
Mr Sae Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti

Pemerhati sosial dan kebijakan

Selanjutnya

Tutup

Money

Krisis Pangan dan Ancaman ASEAN Economic Community 2015

22 Oktober 2013   11:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:11 2592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13824145901882321361

Pentingnya Ketahanan dan Kemandirian Pangan

Kondisi iklim global telah mengganggu pertumbuhan harga pangan sehingga terjadi potensi kenaikan harga pada beberapa komoditas. Bahkan beberapa lembaga internasional telah memberikan peringatan dini tentang adanya fluktuasi harga pangan.

Perubahan iklim dan kemarau yang panjang banyak terjadi di negara penghasil komoditas pertanian sehingga mengakibatkan adanya peringatan dini dari lembaga-lembaga internasional bahwa harga pangan secara global bisa mengalami kenaikan.

Hal tersebut harus disikapi dengan bijak, salah satunya dengan meningkatkan ketahanan pangan. Kalau sudah ada warning seperti itu, kita dituntut benar-benar melakukan segala sesuatunya untuk meningkatkan ketahanan pangan. Tak hanya meningkatkan ketahanan pangan, Indonesia diharapkan juga bisa menjadi negara yang mandiri dari segi pangan.

Kemandirian di sektor pangan bukan hanya beras saja tetapi juga jagung, gula, daging sapi dan kedelai. Karena kemandirian pangan itu sangat penting, untuk itu kebijakan pangan Indonesia jelas untuk mewujudkan kemandirian pangan dan setelah dicek memang sampai saat ini ternyata masih ada yang impor tetapi juga ada yang sudah ekspor.

Agar ketahanan dan kemandirian pangan tersebut tercapai, pemerintah mengajak seluruh komponen penyelenggara sektor pertanian dan pihak terkait untuk mengatasi hambatan yang ada dalam menuju kemandirian pangan. "Hambatan-hambatan yang mengganggu peningkatan ketahanan pangan harus diatasi dan Indonesia sudah bertekad untuk dan harus semakin mandiri dari segi pangan.

Ke depan ekspor yang dilakukan diantaranya terdapat produk pertanian atau komoditas pangan. Namun untuk mencapainya perlu kerja keras. Kalau ini sudah relatif mandiri, nantinya sektor pertanian bisa menjual ke luar negeri, itulah langkah antisipatif yang tegas dan jika ada masalah-masalah di tingkat global. Sektor pertanian dengan berbagai komponenya harus melakukan kerja keras dalam upaya percepatan dan pembangunan pertanian.

Terkait dengan target surplus beras 10 juta ton pada tahun 2014, Pemerintah berharap agar seluruh pihak terkait mau bahu-membahu mengatasi masalah yang ada. Kita ingin pada tahun 2014 surplus beras kita mencapai 10 juta ton. Marilah segala sesuatunya seperti kebijakannya, programnya, anggarannya, implementasinya di lapangan dan sebagainya diarahkan ke situ, hambatan-hambatan yang mengganggu peningkatan ketahanan pangan harus diatasi.

Pertanian Indonesia Hadapi Ancaman Krisis Pangan

Dengan Kondisi pangan seperti sekarang ini, diprediksi bisa terjadi krisis ketahan pangan pada 2025. Menurut peneliti dari Kementan RI Effendi Pasandaran, dalam workshop; " Menghindari Krisis Pangan dengan Pengembangan Pertaanian Terpadu yang Didukung Peternakan Menuju Swasembada Pangan".

Bangkitnya kesadaran masyarakat di era tahun 1950-an sempat membawa bangsa Indonesia kepada swasembada pangan. Tapi dengan kondisi pangan seperti sekarang ini, diprediksi bisa terjadi krisis pangan pada 2025, tegas Effendi.

"Belum lagi permasalahan-permasalahan. Misalnya seperti praktikland-grabbingyang mengurangi area lahan pertanian, serta buruknya sistem irigasi pertanian," lanjutnya. Meski demikian, dalam pertemuan ahli terbatas itu mencuat pula beberapa solusi dalam upaya ketahanan pangan. Di antaranya revolusi hijau dan sistem pertanian pangan terpadu. Pertanian terpadu dapat mengintegrasikan pengolahan lahan untuk pertanian pangan, pertanian nonpangan, peternakan, dan konservasi.

Sebagai contoh, sistem ini diterapkan di Tabanan, Bali. Potensi peternakan sapi lokal di Bali mampu mendukung kemajuan sistem pertanian pangan terpadu. "Dampak positif dari sistem pertanian pangan terpadu bisa disimpulkan adalah menyediakan peluang kerja, mengembangkan teknologi pertanian dan peternakan, sekaligus memelihara lingkungan hidup," kata YB. Widodo, salah seorang tim peneliti dari Pusat Penelitian Kependuduka

Kemandirian Pangan Indonesia

Saat ini jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 241 juta lebih dengan ditandai oleh kelompok menengah yang  mulai tumbuh, daya beli masyarakat  yang meningkat dan stabilitas ekonomi yang semakin membaik, menyebabkan permintaan pangan bertambah dalam jumlah, mutu dan keragamannya. Sementara, pertumbuhan kapasitas produksi pangan domestik menghadapi hambatan, karena adanya kompetisi pemanfaatan lahan, dukungan infrastruktur pangan yang kurang memadai, agroekosistem yang tidak sesuai, serta iklim usaha yang kurang kondusif.

Kapasitas produksi yang tidak dapat memenuhi peningkatan permintaan kebutuhan pangan, bisa mengakibatkan impor pangan. Kebijakan impor pangan yang meningkat, membawa konsekuensi stabilitas ketersediaan pangan menjadi rentan, karena bergantung pada kebijakan ekonomi negara lain. Hal ini menjadi penyebab adanya ancaman kemandirian pangan nasional.

Pada tataran mikro, kemandirian pangan akan terkait dengan besarnya proporsi masyarakat yang miskin dan rentan mengalami kerawanan pangan. Kerawanan pangan dapat berakibat pada rendahnya status gizi dan dalam keadaan yang lebih parah dapat menurunkan kualitas fisik dan intelegensia kelompok masyarakat yang bersangkutan. Penduduk yang sangat rawan pangan di Indonesia masih sangat tinggi, yaitu mencapai 35,71 juta atau 15,34% tahun 2010.

Situasi  Pangan  Global

Situasi pangan global dewasa ini ditandai dengan peningkatan perkiraan produksi serealia dunia tahun 2012 sebesar 2,42 milyar ton atau naik  3,2 persen dari tahun 2011. Produksi gandum global diperkirakan turun sebesar 2,9 persen, karena kurang baiknya  produksi di Federasi Rusia, China dan India. Sebaliknya, untuk beras dan jagung mengalami kenaikan masing-masing  sebesar 7,3 persen dan 2,2 persen. Kenaikan produksi jagung disebabkan karena kenaikan produksi di Brasil. Sedangkan untuk beras, akibat membaiknya  prospek produksi padi di Asia, terutama China dan Thailand. Perkiraan konsumsi serealia tahun 2011/12 sedikit naik ketingkat 2.38 milliar ton, atau naik 2.1 persen dari tahun 2010/11.

Terjadinya kekeringan parah yang melanda hampir separuh kawasan pertanian di Midwest Amerika, akan mempengaruhi situasi pangan global dunia, termasuk Indonesia. Laporan dari Departemen Pertanian Amerika menyebutkan, produksi jagung akan turun dari 372,2 juta ton tahun lalu menjadi 330 juta ton pada tahun 2012.  Produksi Kedelai turun dari 81,25 juta ton menjadi 76,25 juta ton. Produksi gandum tidak terganggu tetapi harganya naik, karena produsen pakan ternak yang menggunakan jagung dan bungkil kedelai akan mengalihkan bahan baku ke gandum. Kekeringan juga dialami Rusia, sehingga produksi gandumnya anjlok 3 juta ton. Kondisi tersebut akan mempengaruhi harga serealia dan biji-bijian di pasar internasional. Harga jagung melonjak sekitar 50 persen, kedelai naik 25 persen dan harga gandum juga akan  merambat naik.

Situasi Pangan  Nasional

Sampai saat ini, upaya pemenuhan kebutuhan pangan nasional melalui pencapaian swasembada pangan  lima komoditas strategis, yaitu beras, jagung, kedelai, daging sapi dan gula, belum memperlihatkan hasil yang optimal. Situasi tersebut tercermin dalam tingkat ketersediaan beberapa pangan komoditas pangan domestik yang masih tergantung pada impor, yaitu  kedelai sekitar 70 persen, gula sekitar  54 persen, dan daging sapi sekitar 20 persen. Untuk beras dan jagung, impornya tidak terlalu besar yaitu hanya sekitar 11 persen  untuk jagung dan 5 persen untuk beras.

Meskipun demikian, melalui program peningkatan ketahanan pangan nasional tahun 2012, produksi komoditas sumber pangan karbohidrat strategis yang meningkat adalah padi sebesar 2,74 persen dan jagung sebesar 7,38 persen, sedangkan kedelai menurun 8,24 persen. Sementara itu, pangan  sumber protein hewani yang meningkat, adalah daging sapi sebesar 6,67 persen  dibandingkan dengan tahun 2011. Produksi dan pertumbuhan masing-masing komoditi pangan strategis selama periode  2008-2012 disajikan  pada Tabel 1. Sedangkan pemenuhan kebutuhan gandum seluruhnya diimpor dan susu masih diimpor sekitar 72 persen. Nilai impor buah-buahan dan sayuran  meningkat tinggi, yaitu masing–masing sebesar 22, 91 persen dan  29,82 persen per tahun selama 2008-2011.

Pada sisi lain, dukungan infrastuktur untuk peningkatan produksi pangan, terutama ketersediaan jaringan irigasi dan alih  fungsi lahan, mengkhawatirkan. Hasil audit Ditjen Sumber Daya Air (SDA) tahun 2010 menunjukkan bahwa kondisi  jaringan irigasi primer dan sekunder yang dikelola oleh pemerintah pusat yang kondisinya dalam keadaan baik sebesar 54 persen, sedangkan yang dikelola oleh Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota masing-masing hanya sebesar 39 persen dan 48 persen. Laju alih fungsi lahan sawah untuk penggunaan non pertanian juga masih cukup tinggi,  yaitu sekitar 100.000 ha pertahun.

Program peningkatan produksi pangan juga menghadapi kendala pemanfaatan lahan, yaitu makin terbatasnya pemilikan lahan petani di perdesaan. Dilaporkan selama tahun 1993–2003 jumlah petani gurem (luas garapan < 0.5 ha) meningkat dari 10.7 juta menjadi 13.3 juta KK (Sensus Pertanian, 1993, 2003). Para petani gurem mempunyai aksesibilitas yang terbatas pada sumber permodalan, teknologi, dan sarana produksi, sehingga sulit meningkatkan efisiensi dan produktivitas tanpa difasilitasi pemerintah.

Pada tataran mikro (tingkat rumah tangga), masih tingginya penduduk yang miskin merupakan ancaman yang dapat memperlemah kemandirian pangan masyarakat. Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) bulan Juli 2012 menyebutkan bahwa jumlah penduduk miskin Indonesia  pada bulan Maret 2012 sebesar 29,13 juta (11,13 persen), yaitu di perkotaan sebesar 10,65 juta (9,23 persen) dan di perdesaan 18,48 juta (15,12 persen).

Stagnasi Produksi

Keseimbangan permintaan dan penawaran komoditas pangan menjadi indikator penting dalam perencanaan kebutuhan pangan masyarakat. Laju peningkatan kebutuhan pangan, untuk beberapa komoditas, lebih cepat dari laju peningkatan produksi. Kapasitas produksi pangan terbatas karena  produktivitas tanaman di tingkat petani pada beberapa komoditas pangan relatif stagnan, bahkan situasi terakhir, produktivitas kedelai dan gula cenderung menurun. Stagnasi produktivitas antara lain disebabkan oleh lambatnya penemuan dan pemasyarakatan teknologi inovasi, serta rendahnya insentif finansial untuk menerapkan teknologi secara optimal. Melemahnya sistem penyuluhan pertanian juga merupakan penyebab lambatnya adopsi teknologi oleh petani. Peningkatan kapasitas kelembagaan petani, serta peningkatan kualitas penyuluhan merupakan tantangan pembangunan ketahanan pangan ke depan.

Kapasitas produksi pangan yang terbatas, juga dipengaruhi oleh kerusakan jaringan irigasi di sentra-sentra produksi pangan yang tinggi. Hal ini disebabkan karena dukungan operasional dan pemeliharaan yang kurang memadai,  terbatasnya tambahan investasi infrastruktur sumber daya air baru, seperti waduk dan jaringan air, kerusakan di daerah tangkapan (catchment area), alih fungsi lahan sawah, serta pengaruh dampak perubahan iklim yang ekstrem (climate change). Kondisi tersebut diperparah lagi karena masih terjadinya alih fungsi lahan pertanian yang tinggi, terutama pada lahan sawah, sehingga menimbulkan kerugian investasi yang sudah dibangun oleh pemerintah dan mendorong terjadinya degradasi agrosistem pertanian

Di sisi ketersediaan pangan, adanya ketergantungan impor yang besar,  berpotensi membahayakan stabililitas ketersediaan dan harga pangan domestik. Untuk komoditas pokok dan strategis seperti beras, gula, jagung, kedelai mekanisme tata niaga tidak dapat diserahkan sepenuhnya pada mekanime pasar bebas. Krisis kedelai memperlihatkan bahwa terlalu menggantungkan pemenuhan kebutuhan pokok pada produk impor merupakan kebijakan yang rentan. Krisis yang sama sewaktu-waktu dapat berulang, dengan tingkat bahaya yang lebih besar atau lebih luas, terutama pada komoditas yang ketergantungan tinggi seperti gandum, gula, susu, kedelai atau jagung.

Pada tingkat mikro, adanya kesenjangan angka kemiskinan di pedesaan dan di perkotaan, antara lain disebabkan oleh adanya perbedaan tingkat pendidikan penduduk pedesaan yang cenderung lebih rendah dari penduduk perkotaan; sebagian besar mata pencaharian penduduk pedesaan adalah buruh tani atau petani yang mengelola lahan dengan luasan lahan yang kecil; serta  terbatasnya fasilitas sarana dan prasarana ekonomi dan sosial seperti transportasi, komunikasi dan kesehatan.

Dengan mempertimbangkan pertumbuhan penduduk, pendapatan, tren diversifikasi dan preferensi masyarakat, perubahan harga dan areal yang tersedia, telah dilakukan proyeksi permintaan tahun 2050,  yaitu untuk beras sebesar 48,18 juta ton (1,3 kali tahun 2011), jagung 24,65 juta ton (1,4 kali tahun 2011), kedelai 3,04 juta ton (3,9 kali tahun 2011), dan gula 3,96 juta ton (1,5 kali tahun 2011). Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi domestik tersebut, Indonesia perlu meningkatkan luas baku lahan sawah  dari 7,89 juta ha (tahun 2010) menjadi 11,07 juta ha (tahun 2050), atau diperlukan tambahan sawah kumulatif seluas 6,08 juta ha.

Kebutuhan sawah yang tinggi, hanya bisa dipenuhi dengan pembangunan pencetakan sawah baru di luar Pulau Jawa, yaitu di Sulawesi, Kalimantan, dan Indonesia timur. Pembangunan sawah baru di luar Jawa, disamping membutuhkan investasi yang besar, juga memerlukan petani yang andal. Apabila berbagai tantangan makro dan mikro tersebut tidak diselesaikan, merupakan ancaman terhadap kemandirian pangan, yang berpotensi berdampak pada terjadinya krisis pangan di masa mendatang.

Ancaman Krisis Pangan

Program swasembada pangan 5 komoditas strategis, yaitu beras, jagung, kedelai, daging sapi dan gula, belum berjalan optimal. Situasi tersebut tercermin dari adanya ketergantungan impor pangan, antara lain pada kedelai sebesar 70 persen, gula 54 persen, dan daging sapi 20 persen. Namun demikian, produksi komoditas padi dan jagung mengalami kenaikan, masing-masing sebesar 2,71 persen dan 7, 38 persen. Sedangkan untuk komoditas kedelai mengalami penurunan sebesar 8,4 persen. Adapun untuk sumber protein hewani meningkat, yaitu daging sapi 6.67 persen dibandingkan dengan tahun 2011. Peningkatan produktivitas tanaman di tingkat petani pada berbagai komoditas pangan relatif rendah dan bahkan untuk kedelai cenderung menurun.

Kapasitas produksi terbatas, karena petani menghadapi berbagai kendala dan masalah dalam berusaha tani, terutama disebabkan : (a) lambatnya penemuan dan pemasyarakatan teknologi inovasi; (b) rendahnya insentif finansial untuk menerapkan teknologi secara optimal;(c) melemahnya sistem penyuluhan pertanian sehingga adopsi teknologi lambat; (d) ketidakpastian penyediaan air untuk produksi pangan karena rusaknya lebih dari 50 persen prasarana pengairan; (e) terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian; (f) meningkatnya jumlah petani gurem (luas garapan < 0.5 ha) dari 10.7 juta menjadi 13.3 juta kepala keluarga.

Berdasarkan proyeksi kebutuhan pangan tahun 2010-2015, upaya peningkatan produksi untuk memenuhi ketersediaan pangan  diperkirakan meningkat sekitar 1,3-1,5 kali dibandingkan tahun 2011. Bahkan untuk kedelai meningkat sampai 8,6 kali.  Berbagai masalah dan tantangan tersebut, apabila tidak segera dipecahkan secara tepat dan terencana bisa berubah menjadi ancaman krisis pangan di masa depan.

Langkah Antisipasi Hadapi Krisis Pangan

Menghadapi ancaman krisis dalam kemandirian pangan, diperlukan langkah antisipasi yang komprehensif. Adapun kebijakan tersebut harus diorientasikan pada beberapa hal.

Pertama, pengembangan komoditas strategis harus terpadu, konsisten dan berkelanjutan, dengan lebih memperhatikan peningkatan produktivitas dengan peningkatan adopsi teknologi unggul oleh petani, peningkatan kualitas penyuluhan dan penguatan kelembagaan petani, perluasan areal tanam dengan pencetakan lahan sawah baru dan pemanfatan lahan kering dan peningkatan intensitas pertanaman,  aspek distribusi pangan dan perdagangan, serta aspek tata niaga dan harga pangan.

Kedua, stabilitas harga pangan strategis harus dijaga melalui penguatan pemantauan harga beberapa pangan pokok dan strategis, khususnya pada bulan-bulan tertentu saat produksi menurun dan saat kebutuhan meningkat, atau pada musim panen. Apabila terjadi gejolak harga yang meresahkan masyarakat, pemerintah harus melakukan tindakan intervensi untuk menstabilkan kembali pada tingkat yang dapat diterima.

Ketiga, melindungi pasar domestik untuk komoditas pangan strategis terhadap praktek perdagangan internasional yang tidak adil, dengan kebijakan promosi, sepeti subsidi produksi dan insentif harga, serta kebijakan proteksi seperti pengenaan tarif, pengenaan kuota dan non-tarif.

Keempat, percepatan diversifikasi konsumsi pangan melalui pengembangan pangan lokal spesifik wilayah dan pengembangan bisnis pangan berbasis teknologi pangan lokal.

Pangan Indonesia Menghadapi ASEAN Economic Community (AEC)

ASEAN economic community (AEC) tahun 2015 merupakan suatu program bagi negara- negara ASEAN untuk lebih meningkatkan kualitas ekonomi khususnya perdagangan agar menjadi sebuah akses yang lebih mudah seperti menerapkan penghapusan bea masuk (Free Trade Area) untuk mewujudkan sebuah single market. Tentunya ini membuat banyak peluang khususnya bagi Indonesia untuk lebih meningkatkan kualitas produk- produknya khsusnya produk pertanian (pangan) maupun tenaga kerjanya yang profesional dalam memasuki tantangan ruang lingkup ASEAN community.

Jika Indonesia bisa meningkatkan daya saing dan menjadi pemain utama dalam AEC ini bisa terwujud. Selain itu pemberlakuan ASEAN Economic Community (AEC) sudah didepan mata.Semua daerah potensial di Indonesia, segera mempersiapkan diri. Hal itu agar Indonesia tak tergerus dalam percaturan ekonomi regional atau bahkan global.

Dalam menghadapi ASEAN Community pada 2015 mendatang, masalah pokok yang harus dipecahkan Indonesia adalah meningkatkan daya saing dengan smua negara Asia Tenggara. Tanpa adanya kemampuan daya saing, Indonesia dengan status negara terbesar di kawasan ini, jangan hanya menjadi objek ASEAN Community.

Meskipun waktu menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN tinggal dua tahun lagi, tentu banyak pihak-pihak yang optimistis, menyatakan bahwa meskipun Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya menyadari dan telah mengantisipasi bahwa 2015 tidak mungkin semuanya sempurna 100 persen. Sehingga, dalam rangka menuju AEC 2015, pihak-pihak yang bersangkutan tidak hanya berpikir bagaimana melangkah ke depan, melainkan juga mengonsolidasikan kekurangan-kekurangan apa yang terjadi selama ini.

Konsep utama dari AEC atau Masyarakat Ekonomi ASEAN adalah menciptakan ASEAN sebagai sebuah pasar tunggal dan kesatuan basis produksi dimana terjadi free flow atas barang, jasa, faktor produksi, investasi dan modal serta penghapusan tarif bagi perdagangan antar negara ASEAN yang kemudian diharapkan dapat mengurangi kemiskinan dan kesenjangan ekonomi diantara negara-negara anggotanya melalui sejumlah kerjasama yang saling menguntungkan. Konsep tersebut diharapkan dapat membentuk kawasan ini lebih dinamis serta kompetitif dibanding kawasan lainnya melalui mekanisme dan pengukuran baru.

Dan pada akhirnya, dengan optimisme kita dan kesiapan seluruh elemen masyarakat Indonesia baik dari segi SDM dan SDA-nya dalam menyambut ASEAN Economic Community tahun 2015 dapat menjadikan rakyat Indonesia menjadi sejahtera, pertumbuhan ekonomi yang didorong dari sektor UMKM terus berkembang, dengan sendirinya perekonomian rakyat terus meningkat, sehingga pembangunan menjadi merata tidak terpusat di Pulau Jawa, dengan begitu tingkat kemiskinan bisa terus berkurang. Yang terpenting sekarang adalah semua daerah harus bersiap untuk menghadapi  ASEAN Economic Community (AEC) 2015.

Kesempatan terbuka untuk memasuki pasar global seharusnya memicu produktivitas dan daya saing produk produk pertanian Indonesia semakin baik dengan dukungan kebijakkan pertanian yang pro pasar akan mampu memberikan kesejahteraan petani dan meningkatkan devisa Negara.

Dalam upaya mencapai hal tersebut, tentunya sektor pertanian idak mungkin berdiri sendiri tanpa adanya dukungan dan koordinasi dengan Kementerian terkait serta steakholder. Jika Indonesia mampu menyiapkan berbagai kemungkinan yang menjadi sumber kekuatan dalam AEC, maka sangat di pastikan akan menuai keuntungan sekaligus memicu produk produk Indonesia bersaing khususnya sektor pertanian yaitu pangan.Jika tidak, akan sebaliknya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun