Saya paham sepenuhnya, judul di atas merupakan isu sensitif yang pamali dibahas hingga sekarang. Di postingan kali ini saya hanya sekedar ingin berbagi mengenai apa yang saya alami ketika konflik tersebut terjadi. Bahkan dalam penyebutannyapun, semacam di’atur’ oleh –entah-siapa- Saya sempat bekerja di media dan menemukan bahwa media massa dilarang menyebut peristiwa 18 Februari 2001 dengan istilah ‘kerusuhan’, ‘perang etnis’ maupun ‘pertikaian adat’.
Kami, (saya dan redaktur sempat berdiskusi alot mengenai hal ini) kemudian memutuskan untuk mem-publish-nya dengan sebutan Konflik Etnik. Ini merujuk pada Peraturan Daerah Kab. Kotim nomor 5 tahun 2004 tentang penanganan penduduk dampak konflik etnik. Di bawah ini adalah tulisan saya untuk media mengenai konflik etnik 2001. (tulisan ini ketika masih mentah dan belum masuk meja redaksi, saya sendiri banyak menggunakan istilah Kerusuhan di dalamnya. Well, bagi saya apa yang terjadi layak disebut kerusuhan, pembantaian, even worse).
...
Napak Tilas Konflik Etnik 2001
Sembilan tahun sudah kerusuhan berlalu.
Sembilan tahun adalah waktu yang lebih dari cukup untuk merefleksi dan menyadari fungsi sebenarnya dari identitas kesukuan di bumi Habaring Hurung. Sembilan tahun pasca kerusuhan hingga saat ini, secara alamiah warga Madura kembali ke tanah kita. Kali ini mereka membawa salam damai, keinginan tulus untuk menyatu dan menjunjung tinggi falsafah Belum Bahadat yang senantiasa digaungkan oleh petinggi adat di Kalimantan Tengah.
Rusnani Anwar, Sampit
Sempat menjabat sebagai kepala Satuan Polisi Pamong Praja pada tahun 2001 membuatnya harus terlibat langsung dalam kerusuhan antar etnis Dayak dan Madura kala itu. “Tahun 2001 adalah puncak kerusuhan, sebenarnya kerusuhan itu dimulai sejak tahun 1999,” ujar Mantil saat ditemui di kantornya Sabtu (13/2) lalu.
Konflik awal terjadi pada tahun 1999, tepatnya 23 September malam, sebuah perkelahian ditempat karaoke yang berlokasi di perbatasan Tumbang Samba menewaskan Iba Tue, seorang Dayak Manyan yang dibantai oleh sekelompok suku Madura. Warga Dayak yang kesal karena Iba Tue tidak bersalah meninggal kemudian melakukan pembalasan dengan membakar rumah dan ternak suku Madura di Tumbang Samba.
Diawali kejadian tersebut, pembakaran melebar hingga nyaris ke seluruh desa. “Saat itu upaya pemerintah adalah dengan mengevakuasi warga madura,” ujar Mantil. Sebanyak 37 warga Madura diungsikan keluar dari wilayah konflik (Tumbang Samba) untuk mencegah kemungkinan munculnya korban yang lebih besar.
Lepas diungsikannya warga, keadaan di Tumbang Samba meredam. Keadaan kembali memanas ketika setahun sesudahnya, 6 Oktober 2000, terjadi pengeroyokan oleh sekelompok orang Madura terhadap seorang warga dayak bernama Sendung di sebuah lokalisasi kilometer 19 Katingan. Sendung tewas dengan kondisi mengenaskan.