Salah satu alat efektif yang dipercaya dapat mengatasi kemiskinan yaitu keuangan micro. Pemerintah juga telah mengakui hal ini dengan menentakpan tahun 2005 sebagai tahun keuangan mickro. Bahkan Kofi Annan Sekjen PBB pada tahun 2004 bertindak sebagai deklarator tahun keuangan mikro bagi seluruh negara-negara di dunia. Penetapan ini dilatar belakangi oleh keprihatinan atas besarnya angka kemiskinan di seluruh dunia. Skema keuangan micro diharapkan dapat mengentaskan kemiskinan dan secara simultan mampi menciptakan masyarakat yang memiliki tanggung jawab, produktifitas tinggi, kemandirian dan martabat.
Kehadiran sektor Usaha Mikro dan Kecil (UMK) menjadi salah satu fakta adanya semangat wirausahaan di tengah masyarakat. Menyadari realitas ini, memfokuskan pengembangan ekonomi rakyat, melalui UMK, merupakan hal yang sangat strategis dan masuk akal guna mewujudkan pemerataan ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Namun salah satu penghambat berkembangnya UMK ini yaitu pembiayaan. Pembiayaan kepada pengusaha mikro selama ini selalu terkendala pemasalahan outstanding pembiayaan yang kecil dan karena itu biaya operasional pembiayaan menjadi tinggi membuat pihak perbankan enggan memberikan pembiayaan. Persyaratan pebankan yang mengharuskan adanya jaminan. Adanya kendala-kendala itulah yang menginpirasi hadirnya BMT.
Namun kenyataan di lapangan ternyata munculnya BMT ini juga tidak berjalan mulus. Banyak kendala yang dialami BMT sendiri, bisa dibilang banyak BMT yang bermunculan pada akhirnya harus gulung tikar, walaupun banyak juga BMT yang maju dan berkembang. Lalu apa permasalahan yang terjadi ? Berikut ini beberapa point permasalahan yang harus dihadapi oleh BMT-BMT yang ada di Indonesia:
- Pemikiran yang disebut dengan limiting belive, ini merupakan istilah dalam psikologi mengenai sebuah pemikiran yang berkencederungan negatif dan yang dibentuk oelh belenggu keyakinan keliru. Keyakinan yang keliru ini kerap membatasi badan usaha sulit untuk berkembang, meskipun peluang ke arah perkembangan sudah terbuka lebar. Banyak orang yang tidak percaya bahwa BMT bisa berkembang menjadi perusahaan yang mampu menjamin kesejahteraan manajer atau karyawannya. Pemikirian seperti ini justru yang akan membelenggu perkembangan, dan terlanjur membentuk pikiran dan mental pengurus serta karyawan BMT.
- Dari sisi syariah sendiri, permasalahannya ada pada tenaga-tenaga BMT yang langsung terjun kelapangan umumnya belum mengerti secara dalam mengenai produk fiqh. Jadi mereka hanya mampu menerangkan apa yang sudah ada saja, dan tidak bisa menjawab pertanyaan yang di tanyakan oleh masyarakat. Bukan menjawab keinginan dilapangan dan menawarkan produk yang cocok.
- Kejujuran dan transparasi amanah yang berpengaruh terhadap kredibilitas lembaga. Berdasarkan survai di lapangan banyak dana -dana zakat yang di kumpulkan oleh BMT malah digunakan untuk menutupi kredit macet. Karena menganggap nasabah yang macet itu sebagai gharimin. Hal ini membuat kepercayaan nasabah menjadi hilang.
- Faktor lain berdasarkan survey, BMT masih belum bependapat bahwa untung yang tipis dari penjualan yang besar masih lebih baik daripada untung yang besar dari penjualan yang sedikit. BMT juga masih kurang bisa memanajemen likuiditas jadi hanya cenderung mengumpulkan dana tapi tidak disalurkan.
Apabila maslah-maslah tersebut telah dihadapai secara optimal dan maksimal, maka tidak ada yang mematahkan kemungkinan bahwa BMT bisa berkembang selayaknya koperasi-koperasi diluar negeri, karena kehadirannya dibutuhkan sebagai partner berkembangan UMK di masyarakat. Semakin baik perkembangan UMK tentu akan berdampak pada sebaik baik perekonomian masyarakat. Masyarakat pun bisa sembadya secara mandiri tidak bergantung kepada pemerintah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H