Fahri Hamzah adalah Sesuatu. Â Itu menurut saya secara pribadi. Karena bagaimanapun juga Fahri adalah seorang Politisi Hebat yang mampu berkiprah di jajaran pentas elit nasional kita.
Sosok ini sempat tidak saya sukai pada rentang waktu 2013-2016. Begitu juga dengan tandem terbaiknya Fadli Zon. Hehehe. Â Dua orang ini memang unik. Â Tapi sekali lagi istilah tidak suka itu bukan berarti membenci.
Alhamdulillah sampai saat ini saya belum pernah ikut satu partaipun jadi memang tidak pernah sekalipun saya membela suatu partai dalam tulisan-tulisan saya.  Dan sebenarnya banyak partai yang saya tidak sukai sejak dahulu  atau tepatnya hampir semua partai tidak saya sukai, apalagi partai-partai yang sedang berkuasa saat ini.
Ketidaksukaan saya pada Fahri Hamzah dimulai pada saat Fahri bersama Benny K. Harman pada tahun 2012 berteriak dan mewacanakan Pembubaran KPK.  Setelah itu Partai Fahri sendiri yaitu PKS membuat saya  Ilfil. Cara-cara mereka memperjuangkan partai mereka (dibawah kendali Anis Matta) membuat saya sering jengkel sendiri karena terlalu aneh, suka mengada-ada dan terlalu memaksakan kehendak. #PucingPalaBerbie jadinya.
Pada zamannya PKS dipimpin Anis Matta, Fahri Hamzah dengan kemampuannya bersuara keras kelihatannya memang diposisikan  Partainya sebagai "Kompor (tukang bikin panas)" ataupun "Speaker Toa Masjid" ataupun "Preman Sangar" yang sanggup "Menggertak/ Menggonggong" siapa saja. Makanya Fahri ditaruh di Komisi III (Komisi Hukum) di DPR meskipun latar belakang pendidikan Fahri  adalah Ilmu Ekonomi (kalau tidak salah).
Begitu juga waktu masih ada Poros KMP dan KIH dimana KMP masih  sangat kuat  (masih didukung Golkar  Aburizal Bakrie), waktu itu KMP mampu merubah UU MD3 sehingga Parlemen dikuasai penuh KMP.  Fahri Hamzah kemudian mendapat  anugrah  bersama Tandem  Hebatnya yaitu Fadli Zon untuk bersama-sama menjadi  Pucuk Pimpinan DPR.
Dan setelah itu Duo F ini memang mampu membuat kubu KIH sering Belingsatan, begitu juga dengan para pendukung Jokowi yang mungkin sangat muak dengan statement-statement Duo F (pada waktu itu).
KMP akhirnya kekuatannya rontok karena kemampuan Jokowi berkomunikasi.  PAN mulai melunak dan Golkar yang sudah berganti  Ketua Umum kemudian berubah haluan mendekati  Partai-partai Pemerintah (termasuk mendekati Jokowi).
Meskipun demikian  posisi Fahri Hamzah dan Fadli Zon di puncak pimpinan DPR masih mampu bersuara keras untuk mengkritik kebijakan-kebijakan Jokowi/ Pemerintah.  Inilah yang kemudian  membuat saya mulai menyukai  mereka (dalam posisinya).
Saya tidak bisa membayangkan  apa jadinya DPR kalau saja di sana tidak ada Fahri dan Fadli. Pastilah DPR betul-betul sudah dikuasai partai-partai pemerintah. Dan disitulah tercipta kondisi yang sama dengan zaman Orde Baru dimana DPR kita hanya berfungsi sebagai  "Tukang Stempel" dari kebijakan pemerintah.
Negeri ini adalah negeri Demokrasi.  Harus ada pihak oposisi yang kuat yang mampu mengontrol pemerintah agar tetap berada di koridornya. Negeri ini adalah Negeri Demokrasi dengan pilar Trias Politica-nya sehingga harus jelas posisi  eksekutif, legislatif dan yudikatif.  Jangan sampai eksekutif mampu menguasai  legislatif dan Yudikatif karena  hal itu pasti akan menyebabkan terjadinya pemerintahan yang  otoriter ataupun tirani nantinya.