Internet di masa kini telah menjadi guru virtual. Siapapun bisa mempelajari sesuatu lewat internet. Sayangnya, bila salah atau keliru langkah, alih-alih mendapat ilmu dari dunia maya sesuai tujuan awal, justru malah tersesat.
Seperti halnya kemunculan bibit-bibit terorisme. Konon, hadirnya para anggota baru kelompok radikal terorisme lantaran mereka kebanyakan belajar agama dari dunia maya. Sekitar 47 persen orang belajar agama dari internet. Jadi, mereka mencari ilmu agama dan menambah wawasan agama tiadk lagi kepada guru agama atau guru mengaji.
Karena salah pilih guru agama, di dunia virtual pula, mereka terjerumus pada ideologi dan propaganda terorisme. Mereka direkrut oleh pembimbing yang mungkin mengatasnamakan ‘guru agama’. Mereka mengkaji agama secara tidak utuh, sepotong-potong dan dibawa sesat oleh perekrut dari pihak kelompok radikal terorisme.
Tak hanya itu. Berdasarkan informasi, perkembangan website teroris dari tahun 1998 sungguh berkembang pesat. Mirisnya lagi, ternyata menyasar generasi muda. Pada 2013 ada 2.650 website yang menyebar propaganda terorisme. Setahun kemudian, bertambah menjadi 9.800 website.
Hal itu membuktikan, kelompok radikal terorisme memanaatkan internet untuk propaganda. Kenapa? Karena mudah diakses, tidak ada kontrol, punya audience yang luas, serta tidak bisa diketahui identitasnya.
Sebagai contoh konkret, upaya Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang menjadikan dunia maya sebagai alat utama dalam menyebarkan ajaran dan merekrut anggota dari kalangan anak muda dan terpelajar. Data dari Studi Agama Universitas Surya yang menemukan bahwa 78 persen mahasiswa sains dan teknologi mengikuti akun beridentitas Islam.
Kemudian, berdasarkan data yang didapat dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2014, hampir separuh pengguna Internet adalah generasi muda yang lahir setelah tahun 1980. Tentunya generasi muda menjadi sangat rawan bagi penyebaran konten negatif yang bernuansa kekerasan dan penghasutan.
Berdasarkan data-data tersebut bisa dinilai bahwa gerakan terorisme di dunia maya terorganisir. Mereka punya anggota yang paham media sosial dan tahu bagaimana memanfaatkannya, serta sangat ekspansif. ISIS punya jaringan komunikasi canggih dan menggunakan isu yang sedang tren di kalangan anak muda.
Maka perlu kita sadari bahwa internet atau dunia maya sebenarnya sangat efektif untuk sarana kontra terorisme. Ya, media virtual sangat berpengaruh terhadap pencegahan radikalisme maupun terorisme. Peran internet yang didalamnya ada medsos sangat luar biasa sehingga harus dimanfaatkan untuk menangkal tindakan radikalisme.
Pesatnya jumlah website teroris membuat Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menjadikan 2015 sebagai ‘Tahun Damai di Dunia Maya’. Ini dilakukan sebagai antisipasi makin banyaknya gempuran propaganda terorisme melalui internet atau dunia maya. BNPT sendiri punya dua website untuk menangkal propaganda, yaitu damailahindonesiaku.com dan jalandamai.org.
Melalui program itu diharapkan nantinya bisa dibentuk komunitas cinta damai, cinta NKRI, dan komunitas yang punya nasionalisme tinggi, sehingga mereka tidak ingin Indonesia dipenuhi hasutan dan kekerasan yang ujung-ujungnya adalah terorisme.