Mohon tunggu...
Choirul Huda
Choirul Huda Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasianer sejak 2010

Pencinta wayang, Juventini, Blogger. @roelly87 (www.roelly87.com)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Time Travel dalam Cerita Silat

1 Juni 2012   23:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:30 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_180309" align="aligncenter" width="398" caption="Ilustrasi Suasana pertarungan (dok. pribadi)"][/caption] Wisnu masih terdiam dalam rutinitas pekerjaannya diantara layar monitor yang sedang berkedip nyala. Aktivitas sehari-harinya sebagai penulis lepas membuatnya harus menyelesaikan tugas saat itu juga. Apalagi teringat janji dirinya kepada seorang editor untuk penerbitan buku antologi fiksi, belum juga selesai dibuat. Pikirannya menerawang entah kemana, disaat deadline tulisan yang harus dikirim via email sama sekali belum dibuat. Butir-butir keringat sebesar biji jagung menetes dari keningnya hingga berbunyi lembut ke meja depan komputer ia bekerja. "Tidak. Sebelum tenggat yang diberikan Rangga usai, Aku harus segera menyelesaikannya sekarang," ucap Wisnu memantapkan niatnya. Memang, janji adalah hutang, meski itu hanyalah lisan yang terucap tetap saja dihitung sebuah janji yang harus ditepati. Pasalnya, dua hari yang lalu ketika kawannya yang bernama Rangga menawari sebuah proyek membuat buku antologi fiksi bersama beberapa penulis fiksi beken, ia tertarik untuk menuliskan salah satu cerita. Dalam ucapannya saat itu, ia akan menulis tentang sebuah kompilasi beberapa tokoh silat terkemuka dari berbagai pengarang, mulai era 1950an hingga akhir 2011. Baik cerita silat lawas maupun modern juga tentang tokoh antagonis atau protagonis. Namun hingga dinihari pukul 02.13 wib, Wisnu belum juga mendapatkan ide yang tepat. Konsep yang dipikirkannya dua hari yang lalu buyar begitu saja ketika ia merasa alur ceritanya itu terlalu berat. Kopi mix dan sebatang rokok jadi saksi keheningan malam yang sunyi, sambil diliriknya sebuah novel setebal seribu halaman lebih karya Luo Guanzhong, "Kisah Tiga Negara". Wisnu membayangkan dirinya menjadi seorang Zhuge Liang (Cukat Liang) ahli strategi tersohor dari akhir dinasti Han, yang pandai membuat rencana dan mengaplikasikannya di lapangan. Sementara disamping kasur terdapat setumpuk novel karya Jin Yong dan Liang Yushen, kembali menari-nari dalam bayangannya. Oey Yok Su tokoh tersohor dalam "Legenda Pendekar Pemanah Rajawali" dan Leng Bwee Hong yang terkenal dari sekuel "7 Pendekar Thiansan". Kedua tokoh tersohor yang fiktif dalam cerita silat, membangunkan alam bawah sadarnya untuk segera menggerakkan mouse yang lama terdiam. Saat tidak sengaja mengklik deretan tab di browser, episode "Darah di Wilwatikta" sedang terbuka setelah beberapa lama tak tersentuh. Imajinasi liar mulai terpancar dari pikirannya, ketika membayangkan Pendekar misterius sedang mengawal seorang musuh negaranya sendiri, Majapahit, untuk dibiarkan lolos demi yang namanya keadilan. Ah... Tiba-tiba, penerangan di ruang kerjanya yang tadi gelap menjadi silau dengan adanya rerimbunan pohon dan suasana terik siang hari.

*      *      *

Kilatan cahaya pedang dan raungan senjata tajam terdengar dari sebuah hutan belantara. Deru langkah kaki manusia dan derap tarikan kuda yang terkadang melengking, terdengar dengan jelas dibalik rerimbunan pohon tempatnya berpijak. Setelah mengintip dengan seksama, ternyata sedang ada perkelahian diantara ratusan manusia di depan tanah lapang. Pendekar Misterius dan Pendekar Padi Emas tampak membelakangi seorang dengan  penuh darah di pakaian mereka. Dari depan mereka berdiri beberapa pendekar dunia persilatan yang sudah tak asing lagi, di sebelah kiri ada sesat timur Oey Yok Su, bocah tua nakal Ciu Pek Thong, pendekar pedang Lenghou Tiong dan pendekar janggut hitam Guan Yu! Sementara di sebelah kanan ada sosok bijaksana Thio Tan Hong, pendekar codet Leng Bwee Hong, pendekar perempuan berambut putih Pek Hoat Mo Lie, pendekar bidadari Lu Su Nio, dan seorang berwajah halus sedang memegang kipas Zhuge Liang. Mereka yang berjumlah sebelas orang, tampak membikin barisan untuk melindungi sosok berlumuran darah, yang menjadi buronan kerajaan Majapahit: Kayan. Bhagawan Buriswara tampak mengerang kesakitan dengan ditandu oleh segenap anggota bhayangkara biru dan beberapa prajurit Cao-cao. Sosok ketua prajurit elit Istana, Bhawagan Buriswara ini kena batunya. Dengan maksud hendak membokong Pendekar Padi Emas yang sedang menjaga Kayan, namun niatnya tidak berhasil. Ibarat, Tonggoret mengincar ulat, tidak tahunya burung gereja berada di belakangnya. Bhagawan Buriswara yang telah menyabetkan pedangnya hingga membuat Pendekar Padi Emas dan Pendekar Misterius terluka parah saat ia diam-diam membokong dari belakang. Ternyata ada sesat timur Oey Yok Shu yang bermata jeli langsung menjentikkan sebuah kerikil dengan ilmu jari saktinya, Tan Ci Sin Thong. Seketika Bhagawan Buriswara terdiam bak patung, karena jentikkan kerikil tepat mengenai tiga organ penting di tubuhnya. Leher, kening dan ulu hati sang ketua prajurit elit itu telah terkena serpihan batu kerikil dari Oey Yok Su. Walau hanya serpihan kecil, namun kalau prajurit biasa tentu sudah tewas. Beruntung sang ketua mempunyai ajian sakti dari gurunya yang konon kebal senjata tajam meski masih dibawah ilmu rawarontek. Meski begitu, sesaktinya ajian Bhagawan Buriswara, toh tidak mampu menahan "serangan kecil" yang untuk kalangan kangouw di Tionggoan sana disebut sebagai terapi kejut ala sesat timur... Dari rombongan bhayangkara biru, terdapat Cao-cao, Kim Lun Hoat Ong, Sima Yi, Kiaw Pak Beng, Tjoh Tjiauw Lam, Auwyang Hong, Mohiyang Kalakuthana, dan beberapa tokoh persilatan dari dunia hitam diam tak bersuara. Wisnu yang menatap langsung adegan demi adegan dari beberapa tokoh dari dunia fiktif tersebut, tak percaya ketika kini menyaksikan langsung. Bagaimana bisa, seorang Pendekar Padi Emas yang terkenal dengan senjata rahasianya melalui butiran padi dan sesat timur Oey Yok Shu yang kesohor melalui jentikkan jari sakti, dapat berada bersama-sama dalam waktu yang bersamaan pula. Saat pikirannya kembali melayang, tanpa sengaja tubuhnya terdorong oleh sebuah ayunan tongkat yang ujungnya menjulur keluar sebuah ular hidup! "Hey, kau mau mampus disini ya?" Bentak suara nyaring yang didengarnya mirip seorang bocah. Saat dilihat, ternyata sosok bersuara bocah itu adalah seorang tua renta beroman separuh bocah dan separuh lelaki tua. Dengan buli-buli arak di tangan kirinya sibuk menangkis tongkat dari musuhnya, sementara tangan kanan dengan lincah membuka tutup telapaknya seraya melancarkan serangan demi serangan. "Fuuh... Bocah tua nakal, tabiatmu hingga kini tidak berubah. Kamu selalu mengusik kesenangan orang lain, membuat tanganku gatal untuk mencoba kamu punya jurus Kiu Im Cin Keng dan kepalan ganda yang kesohor itu" ucap seorang tua memakai jubah hitam yang hampir saja membunuh Wisnu lewat tongkatnya. "Cuih, cuih... Aku memang sudah gatal untuk melawan si racun barat yang sudah bangkotan ini. Mari kita bermain-main sejenak. Hei, adik cilik berpakaian aneh, harap kau menyingkir jauh-jauh, aku sedang ingin beradu silat sekarang," teriak seorang yang menyelamatkannya tadi, yang ternyata bernama Ciu Phek Tong alias bocah tua nakal. Dengan langkah pasti, Wisnu pun menyingkir sejauh mungkin dari pertempuran kedua tokoh karangan Jin Yong tersebut. Lalu, ia tiba pada kedua tokoh dari Padepokan Rumah Kayu, Pendekar Padi Emas dan Pendekar Misterius menyambutnya dengan tatapan tajam. "Maaf, saya bukan musuh. Saya hanya tak percaya dapat melihat kalian langsung, yang beberapa malam lalu baru saja saya baca kisahnya," kata Wisnu dengan terbata-bata. "Tak apa, sebenarnya siapa Saudara? Dilihat dari pakaian dan gaya bahasamu, tampaknya Anda bukanlah berasal dari zaman ini," ujar Pendekar Padi Emas dengan tersenyum. Berbeda jauh dari kisahnya yang pernah dibaca Wisnu, yang terkesan Pendekar Padi Emas beroman dingin. "Maaf, saya juga kurang mengerti kenapa bisa berada di zaman pertengahan seperti ini. Saya berasal dari zaman yang akan lewat berpuluh dasawarsa dari sekarang, tepatnya saat Majapahit telah runtuh digantikan oleh kerajaan Nusantara yang bernama..." ucap Wisnu menjelaskan. Namun ketika Wisnu ingin menjelaskan asal-usulnya, dengan cepat dipotong oleh Pendekar Misterius. "Tenanglah Saudara, meski kami juga bingung dengan banyaknya tokoh persilatan dari Tionggoan, namun kami menyakini ada sebab tertentu yang mengakibatkan mereka datang kemari untuk membantu kelolosan Kayan ke kerajaan Galuh." "Benar tuan Pendekar, saya juga tidak mengerti kenapa Kayan diselamatkan oleh tokoh-tokoh dari berbagai kalangan yang berasal dari zaman berbeda. Ada yang berasal dari abad kedua, abad ke 13, dan abad ke 17 perguruan Thiansan..." ucap Wisnu tak percaya. Kemudian setelah menarik nafas lebih dalam, Wisnu melanjutkan, "Bagaimana dengan keselamatan Kayan selanjutnya? Apakah ia berhasil lolos sampai ke istana Galuh, hingga mengobarkan api perlawanan dari rakyat Sunda Pajajaran kepada Majapahit di tanah Jawa ini?" "Tenanglah saudara, sesuatu yang misteri tetap akan misteri. Sekalipun untuk dirimu yang telah mengetahui rencana di masa depan, akan keruntuhan kerajaan kami. Namun, riwayat hidup dari beberapa pendekar disini akan tetap kelabu, alias samar-samar meski di masa depan ada sebagian yang terungkap," jawab Pendekar Misterius dengan bijak. Wisnu hanya bisa mengangguk, tanda tak mengerti apa yang dikatakan Pendekar Misterius kepadanya. Saat dari belakangnya terdengar sebuah desiran angin dari sebuah pukulan, tiba-tiba ia mendengar Pendekar Padi Emas berteriak, "Cih, Brontoseno, kau mirip ketuamu yang suka membokong orang dari belakang!" Dan, seketika gelap pandangan Wisnu dengan tak sadarkan diri... [caption id="attachment_180310" align="aligncenter" width="398" caption="dok. pribadi"]

1338593555353452010
1338593555353452010
[/caption]

*     *     *

Suara kokok ayam menggema dari luar kamar kostnya di kawasan padat penduduk, Tomang, Jakarta Barat. Dengan kepala berat, Wisnu mulai bangkit dari meja kerjanya setelah ia tertidur dinihari tadi. Saat melirik jam di ponsel, tertera pukul 07.30 wib, masih pagi hari pikirnya. Namun, ketika ia melirik lebih lanjut, pada tanggal terdapat waktu yang membuatnya terkejut: Senin, 4 Juni 2012! Lalu, ketika rasa tak percaya mulai menggelayuti pikirannya. Wisnu segera melihat jam digital di komputer yang tadi malam ia gunakan. 07.31 wib. Senin, 4 Juni 2012. Lha, berarti selama dua hari ini ia merasa "tertidur", pikir Wisnu. Ketika ia meraba pundaknya, masih terasa nyeri akibat hantaman seseorang. Kembali pikiran Wisnu melayang entah kemana, teringat dengan sesuatu yang ia rasa baru semalam. Namun telah berlanggsung selama dua hari lamanya. "Kalau, aku tertidur selama dua hari - dua malam tanpa sadar, bagaimana sampai sekarang masih hidup tanpa makan dan minum? Lalu, apakah kejadian pundak ini akibat dipukul seseorang adalah nyata. Novel antologi itu, dan, riwayat Kayan. Bagaimana dengan kisah Kayan selanjutnya?"

*     *     *

Tulisan ini bersumber dari postingan "Darah di Wilwatikta" karya Padepokan Rumah Kayu. Ilustrasi dok. pribadi

*     *     *

Jakarta, 2 Juni 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun