Banyak yang membayangkan, termasuk saya, menjadi pramugari itu sangat keren, mewah, dan gaya banget.
“Pokoknya, ‘wah’ abis deh,” ujar seorang kawan yang pernah bertugas di salah satu maskapai ternama di Indonesia. Selanjutnya, kawan itu, -sebut saja Kak NY- menuturkan bahwa kehidupan sebagai pelayan di moda angkutan udara itu, tidak begitu se-mentereng yang orang bayangkan.
“Tahu ga, disaat kamu (panggilan dia kepada saya) nyenyak tidur, kami malah harus terjaga sepanjang perjalanan,” Kak NY memulai cerita.
* * *
Kebetulan, dua pekan lalu saya bertemu dengannya di sebuah toko buku terbesar di kawasan pusat Jakarta. Tanpa sengaja saat mencari-cari sebuah majalah musik, saya berpapasan dengannya yang memegang novel luar negeri. Selang beberapa hari, saya yang sejak sewindu terakhir mengenalnya karena senior di sekolah, kembali bersua.
“Jadi pramugari itu enak. Duit (uang) banyak, pakaian dan gadget update terus. Dan, yang teristimewa, selalu bisa jalan-jalan keliling Indonesia,” cekikik Kak NY. Sambil membuka halaman tengah suatu tabloid perempuan, dia tampak manggut-manggut menyaksikan kisruh figur kaum hawa di dunia politik, “Tapi, di balik itu semua, banyak juga ‘sisi eneg’ dibanding enak.”
“Lah, bukannya sebuah profesi ga ada yang perfect Kak? Sama aja kalo kita jadi sekretaris, pejabat, hingga presiden sekalipun.”
Sambil menatap jauh ke depan, sosok yang lebih tinggi beberapa senti dibanding saya itu tersenyum. Sebuah guratan senyum yang manis, meski tampak dipaksakan.
“Itu hanya sebagian kecil aja kok. Tapi, pengalaman yang paling saya ga lupain waktu pesawat gagal mendarat di sebuah pulau di Sumatera. Kejadian itu benar-benar ga bisa hilang dari ingatan saya, karena kerusakan sedikit mesin di sayap, membuat puluhan penumpang panik,” Kak NY mengisahkan.
“Yupz, benar juga. Risiko pramugari emang harus berhadapan dengan hal-hal seperti itu. Ngeri juga sih.”
“Emang. Yang paling ngejengkelin itu kalo ada aja tangan-tangan jahil. Mulai eksmud –eksekutif muda- ampe pejabat.”