[caption id="attachment_266651" align="aligncenter" width="491" caption="Berbagai koleksi di Museum Nasional yang dipamerkan dalam etalase tanpa pengamanan berlapis (Kompasiana.com/roelly87)"][/caption] Hampir sepekan berlalu sejak berita pencurian empat artefak emas di Museum Nasional, Rabu (11/9) menggemparkan masyarakat. Tudingan adanya campur tangan kolektor yang menjual ke balai lelang internasional dengan melibatkan "orang dalam" sempat menyeruak. Ironisnya, sejauh ini belum diketahui tanda-tanda siapa yang mendalangi pencurian tersebut meski pihak kepolisian tetap berusaha untuk menemukan kembali. Termasuk melakukan penyitaan 38 telepon seluler (ponsel) milik karyawan Museum Nasional. Pihak kepolisian melakukannya demi mencari tahu jejak percakapan karyawan dan menyelidikinya secara mendalam. Itulah kabar teranyar yang saya baca sepanjang perjalanan sore tadi (16/9) di laman Kompas.com. Setelah berita kehilangan empat benda bersejarah itu, saya rutin mengikuti perkembangannya di media online. Selain sejak kecil memang menyukai hal berbau sejarah, kebetulan dua pekan lalu, saya bersama seorang kawan Kompasianer sempat mengunjungi Museum Nasional. Saat itu museum yang dulunya dikenal sebagai Museum Gajah ini menjadi salah satu tempat diselenggarakannya Wayang World Puppet Carnival 2013. Jadi, ketika mengetahui Museum Nasional kehilangan empat artefak berharganya, tentu membuat saya kaget. Dalam hati saya bertanya, bagaimana sang pencuri bisa melakukan aksinya di museum terbesar se-Asia Tenggara ini. Namun, setelah dipikir lebih lanjut, ternyata memang mudah. Sebab, calon pengunjung tidak perlu memiliki niat buruk saat mendatangi Museum Nasional. Melainkan karena terbukanya kesempatan untuk melakukan pencurian tersebut. Bagaimana mungkin? Tentu saja bisa. Pasalnya, berdasarkan pengalaman saya saat berkunjung ke Museum Nasional. Kesempatan melakukan pencurian mudah dilakukan, bahkan oleh orang awam sekalipun! Khususnya di Ruang Kasana yang terdapat di lantai dua, tempat penyimpanan koleksi berharga yang terbuat dari emas, mulai dari artefak, mahkota, koin hingga keris. Saat itu, saya melihat tiadanya pengawasan dari petugas museum (satpam). Mereka justru malah pada berkumpul di lantai dasar tanpa mengamati banyak pengunjung yang mendatangi Ruang Kasana. Memang sih ada kamera pemantau (CCTV) yang tersebar di berbagai sudut ruangan. Hanya, setelah dilakukan penyeldikian oleh petugas kepolisian. Ternyata, alat canggih tersebut justru diketahui tidak berfungsi sejak dua bulan terakhir. Karena tiadanya pengawasan satpam dan CCTV, membuat seluruh pengunjung -termasuk saya- bebas memotret seluruh isi yang terdapat di Ruang Kasana itu meski terdapat peringatan tertulis, dilarang mengabadikan gambar benda-benda bersejarah itu. Alhasil, jangan salahkan pengunjung yang hatinya yang tergerak untuk melakukan pencurian tersebut. Lalu, bagaimana keberadaan satpam, kamera CCTV, dan alarm detektor saat pencurian itu akhirnya terjadi? Hanya Tuhan yang tahu...
* Â Â * Â Â *
Tapi, bukan berarti akibat pencurian itu, lalu ditimpakan kesalahan terhadap seluruh satpam. Sebab, di antara mereka juga ada yang benar-benar bertugas, bahkan berlaku simpatik kepada semua pengunjung. Yang patut dipertanyakan adalah kinerja dari manajemen Museum Nasional itu sendiri. Bagaiamana bisa mereka tidak mengetahui jika kamera CCTV sudah tidak berfungsi sejak dua bulan lalu. Itu merupakan sebuah keteledoran yang tak masuk akal. Mengingat bahwa Museum Nasional bisa dibilang sebagai aset negara karena menyimpan lebih dari 240 ribu benda bersejarah yang tak ternilai harganya. Seharusnya, pihak kepolisian tidak hanya memeriksa 38 ponsel milik karyawan Museum Nasional. Tetapi juga melakukan penyelidikan secara intensif hingga ke tingkat manajemen. Apalagi, kebobolan seperti ini bukan yang pertama. Melainkan sudah lima kali Museum Nasional mengalami pencurian. Jika manajemen tetap tutup mata, bukan tidak mungkin akan ada pencurian yang keenam, tujuh, dan seterusnya. Bahkan, patung Gajah pemberian Raja Thailand, Chulalongkorn yang terdapat di pelataran museum itu pun kemungkinan juga bisa lenyap digondol pencuri!
* Â Â * Â Â *
Di sisi lain, tiadanya pengawasan dari satpam dan CCTV yang berujung pada kehilangan koleksi berharga itu tidak hanya terjadi di Museum Nasional saja. Namun juga di beberapa museum lainnya, khususnya di Jakarta yang sempat saya kunjungi. Misalnya, Museum Prangko di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang rentan terjadi kehilangan. Sebab, beberapa prangko kuno era kemerdekaan, banyak diletakkan begitu saja di etalase tanpa pengamanan berlapis. Itu membuat orang mudah mencurinya dengan mencongkel engsel yang terdapat di sisi kaca. Meski pada era sekarang prangko itu tidak berlaku lagi, tapi di mata kolektor tentu bernilai puluhan juta rupiah. Hal sama terjadi di Museum Wayang, Jakarta Barat. Banyak koleksi bersejarah yang kurang mendapat perhatian. Khususnya wayang kulit yang ditaruh seadanya dengan cara menggabungkan dua lapis kaca tanpa digembok sama sekali. Jika museum itu sedang sepi pengunjung dan ada orang iseng yang berniat mengambil dengan cara mendorong wayang itu melalui sebatang kayu pipih berukuran panjang. Maka dapat dipastikan koleksi tersebut segera menghilang. Begitu juga dengan peralatan musik, seperti gamelan yang ditaruh tanpa sekat kaca kecuali rantai pembatas yang mudah dilompati untuk kemudian dibawa pulang. Berkaca dari peristiwa pencurian itu, sudah semestinya museum di Indonesia dilengkapi dengan CCTV demi mengantisipasi terjadinya pencurian. Kalau tidak, dalam beberapa tahun ke depan, generasi selanjutnya saat datang ke museum hanya bisa menyaksikan replika saja karena koleksi aslinya sudah berpindah ke tangan para kolektor.
* Â Â * Â Â *
[caption id="attachment_266652" align="aligncenter" width="491" caption="Museum Nasional, terbesar di Asia Tenggara ironisnya sudah kecolongan lima kali"]
* Â Â * Â Â *
[caption id="attachment_266653" align="aligncenter" width="491" caption="Peralatan musik di Museum Wayang yang ironisnya diletakkan begitu saja"]
* Â Â * Â Â *
* Â Â * Â Â *