Ilustrasi: Istimewa
Rupanya banyak orang bingung di jaman ini. Kurang kerjaan, membandingkan Kartini dengan Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, Mama Hengki, Yu Sri, Bu Ratna.. embuh sopo iku. Lapo se rek, kok pikir iku kontes ratu-ratuan ngono ta?..raimu.
Kasihan Kartini, sudah jelas berjuang, masih saja dicari-cari kesalahannya. Begitulah masyarakat kita sekarang, sukanya mencari-cari kesalahan. Orang yang sudah shalat pun masih saja disalahkan. Dulu Nabi mencari-cari kebaikan orang dan didoakan agar masuk surga. Sekarang malah sebaliknya.
Orang sekarang sibuk ngurusi hal yang nggak prinsip. Hanya karena berbeda sedikit saja di teknis ibadah langsung musuhan. Seperti beda gerakan saat akan sujud, kaum yang satu  mendahulukan telapak tangan dan kaum yang lain mendahulukan lutut. Itu jadi pertengkaran dan perdebatan yang nggak ada ujungnya.
Padahal itu madzhab bukan agama. Agama itu ibarat kayu, madzhab itu kursi, meja, lemari dan semua benda yang terbuat dari kayu. Â Banyak ustadz sekarang yang datang mengenalkan madzhab sebagai agama. Akibatnya gegeran terus, perang sama saudaranya sendiri.
Kembali ke soal Kartini...
Maqam manusia berbeda-beda. Cut Nyak Dien, Kartini dan atau siapa saja, punya cara dan gaya sendiri dalam berjuang. Kebetulan Kartini lahir dan hidup dalam budaya Jawa yang kolot, ningrat, priyayi, darah biru. Â Gak koyok raimu, turunan darah tinggi, kudu ngamuk ae.
Karakter wanita Jawa ningrat jaman dulu nggak cocok kalau berjuang secara frontal, manggul senjata, masuk hutan keluar hutan. Bayangkan saja kalau Kartini pakai jarik (kebaya) kesana kemari bawa senapan keluar masuk hutan. Â Gambaran seperti itu hanya ada di tayangan Opera Van Java.
Jadi jelas sekali, talent Kartini beda jauh dengan Cut Nya Dien. Isone Kartini yo ngono iku. Dan itu sudah joss gandoss, menginspirasi kaum wanita  negeri ini bangkit (walau emansipasi kadang sering kebablasan).Â
Perjuangan yang dilakukan Kartini juga nggak semudah yang diremehkan orang-orang. Kartini berjuang mencerdaskan, meningkatkan martabat kaum wanita lewat jalur pendidikan. Cut Nyak Dien berjuang secara frontal, Â dengan senjata di medan perang. Tujuan mereka sama--> untuk negeri yang lebih baik : merdeka!!!!..duh, ludahnya mas.Â
Kalau saya pribadi lebih suka cara yang halus. Kalau ada cara yang lebih halus kenapa harus pakai cara yang frontal (asline gak iso gelut, jujur ae). Musuh dalam selimut. Diam tapi menghancurkan. Musuh yang nggak jelas malah lebih sulit dikalahkan daripada musuh yang jelas.Londo ngelu ndase, koyoke mungsuh tapi kok apikan.
Jadi ingat kisah seorang pembeli bensin eceran yang ingin tahu apakah bensin yang dibelinya bensin murni apa bensin campur (palsu). Si pembeli tidak menuduhnya secara frontal : "Bensinmu kok wernone kumuh? Ayo ngaku ae, bensin iki dicampur minyak tanah khan!?"
Itu terlalu beresiko, bisa terjadi pertumpahan darah. Ada cara lain yang lebih halus, elegan dan rilekssss. Yaitu mencari momen yang tepat, memanfaatkan kelengahan penjual bensin dengan memberikan pertanyaan pancingan.
Momen yang tepat itu biasanya saat penjual fokus (serius) menuangkan bensin ke tangki motor. Kalau nggak fokus, bensin bisa tercecer kemana-mana. Saat itulah si pembeli bertanya dengan ucapan dan gaya yang natural banget dibumbui dengan cengengesan ala kadarnya :
Pembeli : "Bensin iki campurane akeh nggak mas?"
Penjual  : "Sedikit kok mas.."(dengan tetap serius menuangkan bensin ke tangki)
Pembeli : "Oooo...berarti bensin iki nggak murni yo mas.."
Penjual  : "O_O @$*&??!!%#!!!!???? uasuuuu... konangannnn!".
***