Mohon tunggu...
Yuniar Riza Hakiki
Yuniar Riza Hakiki Mohon Tunggu... Konsultan - Peneliti

Peneliti

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Tanggapan Terhadap Ide Peradilan Khusus Pemilu

30 Maret 2015   08:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:48 1670
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

oleh : Yuniar Riza Hakiki

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia - 2014

Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan bentuk implementasi dari teori kedaulatan rakyat yang dicetuskan oleh JJ.Rousseau. Rousseau adalah salah seorang peletak dasar paham kedaulatan rakyat atau untuk menyesuaikannya dengan keadaan pada waktu ini, ajaran Rousseau menghasilkan jenis negara yang demokratis, dimana rakyat berdaulat dan penguasa-penguasa negara hanya merupakan wakil-wakil rakyat. Dalam bukunya “Le Contract Social”, Jean Jacques Rousseau memaparkan bahwa penguasa/pemerintah telah membuat sebuah perjanjian dengan rakyatnya yang ia sebut dengan istilah kontrak sosial. Kontrak sosial tersebut menimbulkan adanya hak konstitusional rakyat sipil yaitu Hak untuk memilih dan dipilih dalam pelaksanaan Pemilu. Pelaksanaan Pemilu di Indonesia terwujud seiring dengan bentuk ketatanegaraan Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan sistem pemerintahan demokrasi pancasila.

Dasar yuridis konstitusional pelaksanaan pemilu di Indonesia adalah Pasal 22E UUD 1945 dan diatur lebih lanjut ketentuannya melalui undang-undang. Undang-undang tentang Pemilihan Umum yang berlaku saat ini adalah Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Undang-undang ini merupakan pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum yang kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2000 karena undang-undang lama tersebut dianggap sudah tidak sesuai dengan tuntutan dan perkembangan dinamika masyarakat. Berdasarkan dasar hukum tersebut terutama Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 menyatakan Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Teori dan dasar hukum tersebut melandasi urgensi pelaksanaan Pemilu dalam Negara Demokrasi seperti di Indonesia untuk menentukan keberlangsungan roda pemerintahan selanjutnya. Sehingga mengharuskan peran aktif dari seluruh elemen bangsa Indonesia baik pemerintah maupun rakyat. Berdasar urgensi tersebut maka perwujudan Pemilu harus benar-benar dilaksanakan secara terstruktur, sistematis dan bertanggungjawab disertai pengawalan yang konsisten. Mengingat Negara Indonesia terdiri atas berbagai ragam budaya sosial (social culture) yang tersebar diberbagai daerah wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Sebagai bentuk implementasinya beberapa lembaga/komisi negara dibentuk untuk menyelenggarakan pemilu mulai dari pra pemilu, proses pemilu, hingga pasca pemilu. Terdapat satu hal yang sangat rentan terjadi selama pelaksanaan pemilu tersebut yakni perselisihan hasil pemilu. Lembaga tinggi negara sebagaimanaPasal 24 C UUD 1945 yang berwenang menyelesaikan perselisihan hasil pemilu adalah Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie,S.H. salah satu fungsi MK adalah sebagai pengawal demokrasi. Sebagai pengawal demokrasi, MK antara lain berperan menyelesaikan berbagai sengketa politik, terutama sengketa yang terkait dengan perselisihan hasil pemilu. Kurang lebih seperti itu alasan yang mendasari MK berwenang untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilu.

Seiring berjalannya waktu terdapat pergulatan argumen ketika muncul gagasan/ide untuk membentuk Pengadilan khusus Pemilu. Gagasan ini menuai pro dan kontra dikalangan praktisi dan akademisi.

Beberapa alasan mendasar mengenai ide pembentukan Pengadilan Khusus Pemilu diungkapkan oleh Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Bambang Eka Cahya Widodo yakni banyak sekali kasus pelanggaran pemilu baik bersifat administratif maupun mengandung unsur pidana dan kedudukan Mahkamah Konstitusi (MK) seolah-olah seperti “keranjang sampah” karena semua persoalan sengketa pemilu bermuara ke sana. Hal ini adalah implikasi dari tidak efektifnya mekanisme penanganan kasus-kasus pelanggaran pemilu pada tahap sebelum bergulir ke MK.Sementara itu, Plt Panitera MA, Suhadi menyatakan ide pembentukan Pengadilan Khusus Pemilu ini perlu diperjelas apakah pengadilan khusus menangani Pemilu Legislatif, Pilpres, atau Pemilukada. “Kalau termasuk pemilukada, barangkali bukan hakim ad hoc lagi karena hampir tiap hari ada pemilukada di seluruh Indonesia. Apakah nanti akan dibentuk cukup di Jakarta atau di Pengadilan Tinggi seluruh Indonesia,” katanya. Ide pembentukan pengadilan khusus Pemilu semestinya perlu dibenahi dulu dari hulu hingga hilir agar terjawab semua masalahnya. “Jenis pemilu harus ditentukan dan kewenangannya juga ditentukan apakah pidana, perdata, atau PTUN,” imbuhnya.

Menyikapi pernyataan tersebut penulis mengutip pernyataan lagi dari buku berjudul “UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang” yang ditulis oleh Dr.Ni’matul Huda,S.H.,M.Hum. dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Pernyataan tersebut bersumber dari Artikel yang berjudul “Kegalauan Seorang Bagir Manan” Kompas, edisi 23 September 2004 mengenai rencana pembentukan peradilan khusus sebagai berikut :

Menurut Todung Mulya Lubis, kelatahan dalam pembentukan peradilan khusus adalah karena kekecewaan masyarakat atas kinerja lembaga peradilan fungsional yang selama ini ada. Pengembangan peradilan khusus yang tidak terkendali akan merusak sistem dan tertib peradilan itu sendiri. Kritik senada juga dilontarkan oleh ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Munawarman, Guru Besar Universitas Krisnadwipayana Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, dan Koordinator Badan Pekerja Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) Firmansyah Arifin. Menurut mereka pembentukan Peradilan khusus hanya akan menimbulkan kesimpangsiuran dan inkonsistensi atas penyatuatapan. Selain itu, juga melanggar sistematisasi lembaga peradilan yang mengakui MA sebagai top judicial (pengadilan tertinggi), dan juga akan mengacaukan sistem hukum tata negara Indonesia.

Menganalisa berbagai pernyataan tersebut, gagasan pembentukan Peradilan Khusus Pemilu harus melalui berbagai pertimbangan sistem ketatanegaraan. Sebab maraknya pembentukan peradilan khusus ternyata bertentangan dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakimanyang telah membuat kebijakan (politik) satu atap. Oleh karena itu, ide pembentukan peradilan khusus pemilu inipun harus jelas jenis pemilu yang akan diselesaikan perkaranya beserta kewenangan perkaranya termasuk pidana, perdata, atau tata usaha negara. Sehingga akan lebih jelas pula dimana perkara tersebut pada akhirnya bermuara.

Sementara Adhy Aman seorang Programme Officer,  Asia and the Pacific Regional Programme, International IDEA dalam Acara Konferensi “Memperbarui Penegakan Hukum Pemilu di Indonesia dan Pengalaman Internasional" di Hotel Nikko, Kamis, 6 Oktober 2011 menyatakan bahwa sistem penyelesaian sengketa pemilu alternatif yang dapat dilakukan contohnya dengan memanfaatkan jasa ketua adat atau kepala desa yang biasa menyelesaikan sengketa-sengketa pada level desa. Tidak harus penyelesaian masalah pemilu harus dibawa ke lembaga formal.  Untuk hal-hal tertentu dapat diselesaikan pada level itu saja.  Hal itu dapat membantu untuk mencegah meluasnya dampak dari konflik-konflik yang terjadi.

Dari beberapa argumentasi yang telah penulis paparkan tersebut penulis juga ingin mengungkapkan pernyataan terkait ide/gagasan pembentukan peradilan khusus pemilu. Pada dasarnya ruang lingkup Pemilu yang dimaksud pada pembahasan ini mengacu Pasal 22 E ayat (2) UUD 1945 yakni Pemilihan Umum Legislatif dan Presiden & Wakil Presiden. Sehingga pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) yang sebagaimana telah mengakibatkan saling lempar siapa yang berwenang menyelesaikan perkara antara MK dengan MA ini jika mengacu dasar yuridis normatif Pasal 22 E ayat (2) UUD 1945 tersebut pemilukada bukan merupakan pemilihan umum sebagaimana dimaksud dalam pasal. Sehingga seharusnya bukan menjadi ranah MK sebagai lembaga tinggi negara yang berwenang memutus perselisihan hasil pemilu kepala daerah tersebut.

Oleh karena itu, menurut penulis akan lebih baik jika sebelum terlalu jauh mematangkan ide/gagasan pembentukan peradilan pemilu perlu ditinjau ulang muatan materi pengaturan Pemilu dalam UUD 1945 dan Undang-undang yang mengaturnya (UU No. 12 Tahun 2003). Hal ini sebagai upaya menyusun ketatanegaraan yang ideal melalui penggalian filosofis,yuridis dan sosiologis dengan disertai pertimbangan-pertimbangan akademis sehingga pada nantinya juga tidak akan menimbulkan kesimpangsiuran lembaga mana yang berewenang untuk melaksanakan Job description masing-masing. Apabila mengutip pernyataan sastrawan sekaligus budayawan Emha Ainun Nadjib atau yang biasa disapa Cak Nun dalam acara “Sarasehan Budaya” Lembaga Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 22 Maret 2015 bahwa sistem ketatanegaraan yang diatur oleh hukum itu menempati posisi yang terakhir dimana sebelumnya harus diperkuat landasan-landasan ruh-nya (filosofis) kemudian disertai energi (pertimbangan-pertimbangan/kajian akademis) dan kemudian direalisasikan dalam bentuk materi (hukum) yang mendasari terbentuknya sistem ketatanegaraan.

Berdasar logika cak nun tersebut,penulis menyimpulkan bahwa akan lebih tepat jika tidak terlalu terburu-buru merealisasikan ide/gagasan peradilan khusus pemilu sebab apabila landasan konstitusionalnya saja belum jelas peradilan khusus pun tidak akan berjalan dengan efektif dan efisien, justru langkah ini akan membebani anggaran negara. Sehingga sebelum ada sistem ketatanegaraan yang jelas dengan diatur dalam Konstitusi maka lebih tepat jika segala sengketa/perkara pidana,perdata maupun yang bersifat administratif mengenai Pemilu Kepala Daerah maupun Pemilu Legislatif dan Presiden & Wakil Presiden diselesaikan oleh peradilan dibawah naungan Mahkamah Agung (MA) baik Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Yang kemudian jika perselisihan tersebut pada akhirnya merupakan perselisihan mengenai hasil pemilu yang berwenang memutuskan sebagaimana UUD 1945 adalah tetap Mahkamah Konstitusi (MK).

Pasal 15 UU No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman telah ditegaskan, bahwa pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 yang diatur dengan undang-undang. “Peradilan Khusus” yang dimaksud dalam pasal 10 UU No. 4 Tahun 2004 tersebut antara lain pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial yang berada dilingkungan peradilan umum dan peradilan pajak dilingkungan peradilan tata usaha negara. Hal inilah yang memperkuat bahwa belum tepat apabila Peradilan Khusus Pemilu dibentuk jika mekanisme peradilan khusus ini belum memiliki kejelasan kategori perkara apa yang tepat untuk dinaungi peradilan pelaksana “Kekuasaan Kehakiman”.

Sebagai pernyataan penutup (closing statement) dalam penulisan essay ini penulis menegaskan cenderung berpihak pada pernyataan bahwa “Peradilan Khusus Pemilu” di Indonesia belum tepat dibentuk. Hal ini secara pokok dilandasi belum jelasnya sistem ketatanegaraan dalam UUD 1945 yang mengatur tentang Pemilu yang menimbulkan belum adanya kejelasan mengenai penentuan jenis pemilu (Pemilukada atau Pemilu Legislatif dan Presiden & Wakil Presiden) serta kewenangannya apakah Pidana, Perdata, atau Tata Usaha Negara.



DAFTAR PUSTAKA

Huda, Ni’matul. Ilmu Negara. Jakarta : Rajawali Pers, 2014

C, Anwar. Teori dan Hukum Konstitusi. Malang : Intrans Publishing, 2011

Huda, Ni’matul. UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang. Jakarta : Rajawali Pers, 2008

Berita www.hukumonline.com , Pengadilan Khusus Pemilu Tidak Hilangkan Peran MK, (22 Juli 2010)

Rizky Argama, Makalah “Pemilihan Umum sebagai Penerapan Konsep Kedaulatan Rakyat”, Universitas Indonesia, 2004

Ni’matul Huda, Ilmu Negara, (Jakarta : Rajawali Pers, 2014), hlm. 43

Rizky Argama, Makalah “Pemilihan Umum sebagai Penerapan Konsep Kedaulatan Rakyat”, (Universitas Indonesia, 2004), hlm.11

Anwar C, Teori dan Hukum Konstitusi, (Malang : Intrans Publishing,2011), hlm.263

Berita www.hukumonline.com , Pengadilan Khusus Pemilu Tidak Hilangkan Peran MK, (22 Juli 2010)

Ni’matul Huda, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, (Jakarta : Rajawali Pers, 2008), hlm.251

Ibid. hlm.249

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun