Berbicara persoalan cara komunikasi antar etnis, dapat pula dianalisa bahwa sebagian besar orang suatu daerah cenderung menggunakan bahasa daerah ketika berkomunikasi dengan sesame etnis, tapi jika berhadapan dengan luar etnis. Hal ini acap kita kenal sebagai Etnosentrisme. Menurut Matsumoto (1996) etnosentrisme adalah kecenderungan untuk melihat dunia hanya melalui sudut pandang budaya sendiri. Berdasarkan definisi ini etnosentrisme tidak selalu negatif sebagimana umumnya dipahami. Etnosentrisme dalam hal tertentu juga merupakan sesuatu yang positif.
Tidak seperti anggapan umum yang mengatakan bahwa etnosentrisme merupakan sesuatu yang semata-mata buruk, etnosentrisme juga merupakan sesuatu yang fungsional karena mendorong kelompok dalam perjuangan mencari kekuasaan dan kekayaan. Pada saat konflik, etnosentrisme benar-benar bermanfaat. Dengan adanya etnosentrisme, kelompok yang terlibat konflik dengan kelompok lain akan saling dukung satu sama lain. Etnosentrisme memiliki dua tipe yang satu sama lain saling berlawanan. Tipe pertama adalah etnosentrisme fleksibel. Seseorang yang memiliki etnosentrisme ini dapat belajar cara-cara meletakkan etnosentrisme dan persepsi mereka secara tepat dan bereaksi terhadap suatu realitas didasarkan pada cara pandang budaya mereka serta menafsirkan perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya.
Tipe kedua adalah etnosentrisme infleksibel. Etnosentrisme ini dicirikan dengan ketidakmampuan untuk keluar dari perspektif yang dimiliki atau hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki dan tidak mampu memahami perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya.
Pengaruh etnosentrisme dalam komunikasi kiranya juga menjadi hambatan tersendiri dalam proses komunikasi lintas budaya, Dedy Mulyana dalam bukunya yang mendefinisikan Etnosentrisme sebagai kepercayaan pada superioritas inheren kelompok atau budayanya sendiri; etnosentrisme mungkin disertai rasa jijik pada orang-orang lain yang tidak sekelompok; etnosentrisme cenderung memandang rendah orang-orang lain yang tidak sekelompok dan dianggap asing; etnosentrisme memandang dan mengukur budaya-budaya asing dengan budayanya sendiri. (Mulyana:2000;70). Jelas sekali bahwa dengan dengan bersikap etnosentrisme tidak dapat memandang perbedaan budaya itu sebagai keunikan dari masing-masing budaya yang patut di hargai. Dengan memandang budaya sendiri lebih unggul dan budaya lainnya yang asing sebagai budaya ’yang salah’, maka komunikasi lintas budaya yang efektif hanyalah angan-angan karena akan cenderung lebih mebatasi komunikasi yang di lakukan dan sebisa mungkin tidak terlibat dengan budaya asing yang berbeda atau bertentangan dengan budaya sendiri. Budaya dapat beruwujud bahasa sebagai symbol dari sebuah suku atau etnis.
Menggunakan bahasa daerah mempunyai nilai tersendiri bagi sebuah etnis tertentu, tapi tak jarang itu dipandang sebagai hal yang kurang mencerminkan rasa menghargai terhadap rumpun lain disekitarnya, yang notabenya tidak faham bahasa daerah tersebut. Oleh karenanya Adanya anggapan bahwa budaya sendiri lah yang paling benar sementara yang lainnya salah dan tidak bermutu tidak hanya berwujud konfik namun sudah berbentuk pertikaian yang mengganas, keduanya sudah saling mmbunuh antar anggota budaya yang lain. Seperti tragedi sampit. Selain itu dalam tataran Psikologi Etnosentris diartikan sebagai sebuah kecenderungan untuk melihat dunia melalui filter Etnosentrisme sendiri budaya. Sebuah konsekuensi normal dari sosialisasi dan enkulturasi. Ketika kita menjadi enculturated, kita belajar bagaimana harus bertindak, bagaimana memahami dan menginterpretasikan bagaimana orang lain bertindak.
Komunikasi efektif akan terjadi ketika pesan yang disampaikan sampai kepada penerima pesan sesuai yang diinginkan, dalam hal ini proses encoding atau penyusunan symbol sangat berpengaruh. Seperti dalam pemilihan suatu bahasa, jika salah menggunaka tata bahasa yang tidak difahami oleh komunikan maka komunikasi tidak akan berjalan dengan baik. Maka penekanan pada dimensi hubungan suatu pola komunikasi timbale balik sangat di utamakan daripada penekanan pada dimensi isi suatu pola komunikasi. Karena dimensi isi hanya berkutat pada content tanpa adanya keterikatan dengan konteks. Lain halnya apabila dimensi hubungan suatu pesan di utamakan maka kita akan menempatkan konteks , gaya bahasa, gesture, mimic, dalam proporsi yang lebih banyak guna mencegah adanya miss understanding dalam komunikasi lintas budaya.
oleh: Rizwifariki PP
refrensi:
The Hierarchical Nature of Individualism-Collectivism, Matsumoto (1996)
Ilmu komunikasi: suatu pengantar, Deddy Mulyana (2000)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H