S
enin terik, sehari setelah Natal tahun lalu. Jalanan menuju pemerintahan kabupaten Tangerang di Tigaraksa tampak lengang. Kendaraan bermotor selintas lewat. Pepohonan di kanan-kiri jalan tampak bergerak searah angin berhembus. Dari kejauhan terlihat kepulan asap ke arah dua desa yang jaraknya berdekatan.
Desa tersebut berada di belakang sebuah pabrik besar. Masyarakat menyebutnya desa Budimulya dan Sukamulya. Kedua desa itu berdekatan. Jalan bebatuan bercampur tanah liat menjadi penunjuk menuju desa itu. Tawa canda anak kecil mengisi siang nan sunyi. Jauh sebelum pabrik besar itu berdiri, masyarakat di sana tampak sehat dan segar. Namun, semenjak dibangunnya areal kawasan beserta pabrik di sana, keadaan masyarakat berubah total.
“Dulu, sebelum ada pabrik, saya tidak pernah mengalami batuk-batuk seperti ini. Setelah muncul pabrik itu, saya sering sesak napas. Anak saya pun batuk dan pilek. Terkadang, keluar cairan hitam dari hidungnya,” tutur Iroh(28), ibu empat anak ini menjelaskan.
Ia tinggal bersama ibu dan adik perempuannya di rumah yang telah ditinggali selama puluhan tahun. Rumahnya berada di belakang pabrik yang menjadi sumber datangnya asap. Ia menuturkan, pada malam hari, jika angin kencang, asap pabrik tersebut masuk ke rumahnya dan menyebabkan terasnya kotor. Lantainya pun dipenuhi debu layaknya abu pembakaran. Selain itu, suara bising dari aktivitas produksi mengganggu kenyamanan tidurnya.
[caption id="attachment_160879" align="alignright" width="469" caption="Salah satu warga Sukamulya, Atika(58) mengeluhkan sesak napas akibat asap pabrik Power Steel. Foto: Randy Hernando"][/caption]
Setiap pagi, lantai selalu dipenuhi oleh debu yang berasal dari asap pabrik. Warga pun terkadang kesal karena hal tersebut berulang kali terjadi. Pikiran itu pula yang ada di benak Nursiah(57), Ibu Iroh. Ia merasa kasihan melihat cucu-cucunya tidak mendapat kesempatan bermain yang cukup dan terkait langsung dengan masa depan mereka. “Kalau asap itu sudah ke sini, saya buru-buru menyuruh anak-anak masuk. Takut mereka kena hirup,” tandasnya.
Kekesalannya terhadap pabrik itu pun tidak berhenti sampai di situ. Dahulu, ia bekerja sebagai petani. Semenjak sawahnya diuruk dan dibuat lahan pabrik, ia mengerjakan urusan rumah tangga sepeninggal suaminya. Ibu tiga anak ini, juga menyayangkan mengapa pabrik ini diberi izin untuk mendirikan bangunan dekat pemukiman warga. “Dahulu dek, keadaan tidak begini. Semenjak ada pabrik aja, kami yang tinggal di desa merasa kurang nyaman. Asapnya itu loh, mengganggu sekali. Mana gatal-gatal dan batuk. Kasihan anak-anak,” lanjutnya.
Beberapa warga lainnya pun mengeluhkan hal yang sama. “Ini semua kalau diperiksa juga mungkin ada flek di paru-paru. Coba aja deh,” ujar seorang warga. “Asapnya itu nggak tahan banget. Bikin gatal hidung. Kalau angin kencang pasti ke arah sini,” lanjut warga lainnya menimpali. Mereka semua kesal dengan keberadaan pabrik tersebut.
Masih terkait hal yang sama, Iroh menceritakan, dulu pernah ada uang “bising”, istilah kompensasi pabrik atas aktivitas produksinya yang mengganggu kenyamanan masyarakat. Akan tetapi, uang tersebut hingga kini tidak pernah sampai ke tangannya. “Katanya sih dibagikan melalui lurah, baru ke RT. Saya nggak tau ya, mungkin aja duitnya diambil sama mereka. Kalau tidak salah sih sekitar 21 ribu setahun,” timpalnya.
[caption id="attachment_160877" align="alignnone" width="537" caption="Asap hasil produksi dari pabrik Power Steel Mandiri(dari jauh). Pabrik tersebut terindikasi mencemarkan tiga desa yakni Budimulya, Peusar, dan Matagara. Foto: Randy Hernando"]
Aktivitas Pabrik dalam Belenggu Asap
Industritersebut berdiri di atas lahan seluas + 58.000 m2yang berada di dalam kawasan industri Milenium Estate. Awal berdiri, industri yang bergerak di bidang peleburan dan pengecoran besi dan baja ini bernama PT Sanex Steel Indonesia. Lokasinya berbatasan dengan pemukiman penduduk dusun Palahlar dan secara administrasi masuk bagian desa Budimulya, Kecamatan Cikupa, Kabupaten Tangerang. Kini, terpampang nama baru yakni PT Power Steel Mandiri.
Sejumlah lelaki tanggungberpakaian biru keluar dari areal pabrik sambil berboncengan motor dengan kawannya. Waktu menunjukkan pukul tiga sore. Sejurus kemudian, muncul sejumlah lelaki berbaju hijau saling bertegur sapa di luar pintu gerbang. Suasana saat itu ramai kendati asap menyebar ke seluruh penjuru pabrik. Persis di sebelahnya berdiri PT Power Steel Indonesia. Menurut penuturan salah satu pekerja, perusahaan tersebut dan Power Steel Mandiri berada di bawah naungan satu kepemilikan.
Sementara itu, tampak sebuah spanduk terpasang di pagar bertuliskan ajakan untuk menjaga dan melestarikan lingkungan. Sebelumnya, di lokasi yang sama pernah terjadi protes dari warga akibat pencemaran asap yang tak kunjung reda. Protes yang memaksa pihak pemerintah kabupaten untuk turun tangan menyelesaikannya.
Selayaknya industri peleburan material besi dan baja, pabrik tersebut membutuhkan banyak tenaga kerja untuk memenuhi proses produksi. Sekitar 5000 orang bekerja di sana. Sebagian besar pekerja berasal dari desa yang terindikasi terkena pencemaran yakni desa Budimulya. Mereka bekerja tanpa pernah mengetahui bahaya apa yang mengancam setiap saat.
Salah satu karyawan pabrik menuturkan, dalam menunjang kebutuhan pesanan, pihak pabrik membuat kebijakan pembagian shift/ jadwal masuk kepada semua karyawannya. Untuk shift pertama dimulai pukul 07.00- 15.00 WIB, dilanjutkan shift kedua, dari pukul 15.00- 23.00 WIB, dan shift ketiga, pukul 23.00- 07.00 WIB. Sistem tersebut berjalan terus untuk mengejar target produksi.
Lingkungan pabrik pada umumnya padat dengan aktivitas produksi terutama pada shift awal. “Para pekerja juga mengejar target. Biasanya, kalau mereka berhasil melebihi target, akan dapat bonus dari perusahaan,” tutur karyawan tersebut.
Untuk menunjang kegiatan produksi, pihak manajemen pabrik pun menyalurkan karyawan ke dalam tiap divisi kerja. Beberapa divisi yang merupakan inti seperti bagian mekanik, operator crane(alat pengangkat material), CCM atau bagian pencetakan, reparasi, dan tungku peleburan. Untuk membedakan tiap divisi, para pekerja memakai warna seragam masing-masing.
Hijau untuk divisi pencetakan dan mekanik, biru muda bagian operator crane, biru tua untuk panel(alat untuk menaikkan dan menurunkan suhu), dan kuning untuk tungku peleburan. Karyawan pabrik itu pun menjelaskan bahwa bagian tungku peleburan adalah divisi yang mempunyai resiko tinggi kecelakaan. “Bagian tungku itu sangat beresiko karena bahan baku yang sudah menjadi cairan mengeluarkan percikan api,” jelasnya.
Bagian tungku dioperasikan oleh Sembilan orang. Mereka diberi arahan oleh kepala regu dalam memasukkan bahan-bahan tertentu untuk leburan. Sementara itu, satu tungku berisi cairan sebanyak sembilan ton yang kemudian akan dituang ke dalam cetakan. Dalam pengaturan bahan-bahan yang bermaterial besi atau baja, terdapat rumus-rumus yang harus dipatuhi oleh setiap pekerja. Jika salah, akan terjadi peristiwa yang pernah dialami salah satu pekerja sekitar 2008 silam.
Nurjen(38), anak pertama dari tiga bersaudara itu harus kehilangan kedua matanya akibat terkena percikan api dari tungku peleburan. Seperti diceritakan Surti(55) dan Muhi(60), orangtua Nurjen, anak mereka yang baru bekerja kurang lebih tiga bulan tersebut tersiram cairan panas dari tungku. Berdasarkan kisah yang diceritakan kembali oleh Surti, saat itu, anaknya yang bekerja di bagian tungku peleburan hendak memasukkan knalpot bekas ke dalam tungku. “Saat itu, anak saya ragu-ragu karena sepengetahuan dia memasukkan knalpot ke dalam tungku bisa meledak. Eh, si mandornya tetap bilang,’masukan aja’, ya anak saya masukin deh,” jelasnya.
Nurjen menurut kata mandornya. Ia pun memasukkan knalpot bekas ke dalam tungku panas tersebut. Selang berapa menit, tiba-tiba, “Crshhhh!” dari dalam tungku keluar cairan panas yang langsung menyambar ke posisi Nurjen berdiri. Cairan tersebut mengenai wajah hingga batas pinggang Nurjen yang saat itu tidak memakai pakaian standar lengkap. Teman-teman sesama pekerja langsung membawanya ke rumah sakit.
Ayah dua anak ini pun dilarikan ke rumah sakit karena luka bakarnya yang parah. Selama enam bulan ia mendapat perawatan medis. Pihak keluarga pun bolak-balik mengurusnya. Perlahan, setelah melewati masa pemulihan, luka bakar Nurjen pun mengering. Akan tetapi, kedua matanya mengalami kebutaan. Muhi pun menambahkan, cacat fisik Nurjen membuat sang istri meninggalkannya. “Kasihan sekali dek, anak saya. Dia ini tulang punggung keluarga. Anaknya rajin dan soleh. Setelah begini, sulit sekali,” tutur Surti agak menahan tangis.
Menurut penuturan Surti, pihak pabrik hanya mau menjamin biaya kesehatan selama dua tahun saja. Selebihnya menjadi tanggungan keluarga. Maka dari itu, ia pun menuntut adanya pertanggungjawaban pihak pabrik atas kecacatan anaknya.
Di samping itu, tungku peleburan pun sering bermasalah. Dalam proses peleburannya, ada aturan tertentu yang harus dipatuhi. “Kalau tidak salah, tungku tersebut hanya bisa dipakai sebanyak 30 kali tuangan. Kalau dituang lebih, cetakan akan retak. Jadi, ada kapasitasnya,” ujar karyawan pabrik tersebut.
Karyawan tersebut menceritakan sedikit gambaran proses peleburan bahan mentah dari material besi dan baja tersebut. “Alur kerjanya dimulai dari barang rongsokan yang telah dipilah di-press menjadi bentuk seperti kotak kemudian dimasukkan ke dalam tungku peleburan hingga menjadi cairan. Tak lupa, dimasukkan berbagai bahan seperti karbon atau besi. Terakhir, dituang ke dalam cetakan CCM. Setelah dicetak jadilah besi billet atau besi batangan,” jelasnya.
Besi billet tersebut kemudian dijual ke berbagai tempat dan sebagian dikirim ke pabrik sebelahnya, Power Steel Indonesia untuk dibentuk menjadi besi behel atau besi bahan rangka konstruksi. Untuk bahan baku pembuatan besi billet pun, pihak pabrik memasoknya dari berbagai daerah seperti Palembang atau Tangerang dan sekitarnya.
Dalam sistem perekrutan karyawan baru, pihak manajemen pabrik tidak meminta terlalu banyak syarat. “Cukup ijazah pendidikan terakhir saja. Bisa ijazah SD sampai SMA. Yang dilihat pihak pabrik adalah kuat atau tidaknya bekerja di sini. Itu saja,” mengutip pernyataan karyawan pabrik yang tidak mau disebutkan namanya.
Ketika ditanya, nyaman tidaknya bekerja di pabrik, ia pun berujar, “Saya sih nggak nyaman Mas. Masalahnya kita butuh, mau bagaimana lagi.”
Pabrik yang Mengundang Perkara
Pertengahan tahun lalu, warga kembali menggugat. Mereka menyatakan protes terhadap keberadaan pabrik yang diduga mencemarkan lingkungan melalui asap hasil limbah produksi. Ada tiga desa saat itu yang terindikasi terkena pencemaran yakni desa Budimulya, Peusar, dan Matagara. Pemberitaan media pun mulai gencar seiring rekomendasi Badan Lingkungan Hidup Daerah untuk melakukan tindakan kepada pabrik yang berlokasi di jalan Syekh Haji Nawawi, Desa Budimulya tersebut.
Dari situs Tempo Interaktif(3/11/2011), tertulis, pemerintah kabupaten Tangerang akan menutup paksa pabrik tersebut karena dinilai terbukti mencemari lingkungan. Dalam artikel tersebut disebutkan, Kepala BLHD Kabupaten Tangerang, Endang Kosasih bersama tim sudah melakukan uji laboratorium dan menemukan fakta bahwa hasil emisi gas yang dihasilkan pabrik sebesar 40 persen. Padahal, batas normalnya adalah 35 persen. Mereka pun melayangkan surat dan mengadakan pertemuan dengan pihak pabrik. Hasilnya nihil. Pabrik tetap mencemari.
Bupati Tangerang pun turun tangan untuk menyelesaikan perkara tersebut. Sebelum melakukan kebijakan untuk menutup pabrik itu, pihak Pemkab sudah melayangkan surat teguran sebanyak tiga kali. Namun tidak direspon. Akhirnya, Jumat(4/11/2011), pihak Pemkab melalui satpol PP melakukan penutupan terhadap pabrik. Akan tetapi, seperti yang diberitakan Detik.com, penutupan tersebut berlangsung ricuh. Pihak pekerja dan manajemen perusahaan melakukan perlawanan. Adapun, Direktur Perencanaan perusahaan, Thomas Wihongko menyatakan bupati Tangerang tidak berhak menutup pabriknya. Kelanjutannya, pabrik tersebut masih tetap beroperasi.
Sementara itu, dalam laman resmi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia(WALHI), yang dikutip dari SuaraKarya.com, tertulis, badan pemerhati lingkungan itu mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Pemerintah Kabupaten Tangerang untuk menutup serta mencabut izin operasi pabrik peleburan baja tersebut. Pernyataan itu didukung kuat bukti uji laboratorium yang dilakukan BLHD bahwa terbukti pabrik bersangkutan melakukan pencemaran lingkungan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pabrik peleburan besi dan baja tersebut dapat diberi sanksi administratif dan pidana.
Sejalan dengan pemberitaan yang ada, Karnata, Kepala Bidang Bina Hukum dan Informasi Lingkungan menjelaskan bahwa pabrik tersebut menghasilkan limbah melebihi batas baku mutu yakni sebesar 40 persen dari batas diperbolehkan 35 persen. Limbah tersebut berupa partikel debu dan asap yang telah lolos hasil uji laboratorium. “Pencemaran limbah yang dilakukan pabrik melalui udara saja dari hasil yang diteliti,” ujarnya.
ia pun menambahkan, ada cara dalam melakukan pengujian yakni melalui emisi. Uji emisiseperti yang dilakukan terhadap pabrik tersebut. “Kalau perusahaan peleburan mengeluarkan asap, seharusnya asap tersebut ditangkap oleh cerobong, masuk ke dalam dan disaring oleh semacam penyaring supaya zat-zat kimia disaring,” ujarnya.
Uji emisi pun dilakukan sekitar bulan juli. Hasilnya, diketahui bahwa emisi pabrik peleburan besi dan baja itu semuanya melebihi standar baku mutu yang ditetapkan. Di samping itu, pabrik juga menghasilkan limbah B3( Bahan Beracun dan Berbahaya). “Saat ini, penanganan limbah B3 belum efektif. Kendati banyak warga yang mengadu ke BLHD, penyelesaian kasusnya sulit karena terjadi pro dan kontra,” tambahnya.
Pro dan kontra itu terlihat karena perusahaan pun mempekerjakan warga sekitar. Bagi warga, demi kebutuhan ekonomi. Permasalahan lingkungan pun diabaikan. Berdasarkan hasil penelitian dari dinas kesehatan, mengutip penjelasan Karnata, banyak masyarakat di sekitar pabrik yang terkena Ispa(sesak napas) akibat seringnya menghirup asap.
Sesak napas dan batuk-batuk pun dialami beberapa korban seperti yang diceritakan di awal. Adalah Atika(58), nenek berperawakan kurus yang tinggal di desa Sukamulya, sedikit bercerita mengenai keluhan penyakit yang dialami. Sejalan dengan pendapat sebagian besar warga, sesudah adanya pabrik Power Steel Mandiri(dulu bernama Sanex Steel), gejala itu pun muncul.
[caption id="attachment_160880" align="alignleft" width="614" caption="hasil Rontgen sinar x terhadap paru-paru Atika(58) yang memperlihatkan separuh(bagian kanan)parunya tak nampak. Foto: Randy Hernando"]
Suaranya agak pelan, namun terlihat bersemangat untuk menceritakan kisahnya itu. Sekitar setahun lalu, ia mengaku sesak napas. “Ibu batuk dan sesak juga, dik,” tuturnya. Sebelum berdirinya pabrik keadaan tidaklah demikian. Akibat sesak yang ia derita, Atika pun berulang kali berobat baik ke puskesmas yang ada di Cikupa sampai Rumah sakit. Biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan pun tak sedikit, pihak keluarga harus merogoh kocek sekitar Rp 13 juta untuk biaya pengobatannya.
Hasil rontgen pun menunjukkan, paru-paru kanannya sudah tidak terlihat jelas. Dari pemeriksaan radiologi di RSIA Tiara, tertulis dalam catatan hasil destroyed lung ec gambaran TB paru….). Siti Omasih, anak Atika pun menyesalkan, keberadaan pabrik di tengah pemukiman warga. “Seharusnya di dekat laut seperti Krakatau Steel gitu,” ujarnya.
Merujuk pendapat Siti, seperti tertulis di situs berita tangselraya.com, pengamat lingkungan Karya Ersada pun mempertanyakan izin mendirikan pabrik yang diberikan kepada PT Power Steel. Seperti penjelasan di awal, hasil limbah pabrik perusahaan tersebut berpotensi menimbulkan pencemaran B3.
“Seharusnya Pemkab tahu bahwa sebuah pabrik peleburan baja sangat berpotensi menimbulkan pencemaran bahan beracun dan berbahaya (B3), karena peleburan baja pasti akan mencemari lingkungan dengan beberapa logam berat seperti Fe (besi), Zn (seng), As (Arsenik), Cu (tembaga) dan beberapa logam berat lainnya. Selain itu peleburan itu juga akan menghasilkan zat oksidasi yang tentu membahayakan,” kata mantan staf ahli Asisten Deputi Penegakan Hukum, Kementerian Lingkungan Hidup di zaman Nabil Makarim ini.(dikutip dariwww.tangselraya.com).
Langkah Penyelesaian
Kasus pencemaran lingkungan yang melibatkan PT Power Steel Mandiri belum memperoleh titik terang penyelesaian. Kendati Direktur Utama(Dirut) Agus Santoso Tamun(30) telah ditahan Kejaksaan Negeri Tigaraksa di Rutan Jambe, Kabupaten Tangerang, padaJumat(16/12/2011), aktivitas pabrik masih berlangsung. Limbah asap menuju rumah warga masih sering terjadi. Seperti diberitakan harian Satelit News edisi 17-18 Desember 2011, Agus dijadikan tersangka atas laporan masyarakat di sekitar pabrik yang menjadi korban pencemaran limbah beracun(B3) dari pabrik peleburan baja tersebut ke Mabes dengan No. LP 466/VII/2011/ tgl 21 Juli 2011, NO.P21:B/3334/E/4/EUH/II/2011 tgl 29 November 2011.
Warga pun berharap kasus ini segera terselesaikan. Junaedi, suami Siti Omasih menuturkan, setiap malam, asap pabrik selalu menghampiri rumahnya. Keluarganya pun tidak nyaman ketika tidur. “Kami di sini sudah menderita sekali, Mas. Bagi yang tidak merasakannya sih tidak apa. Kita yang siang-malam menghirup asap kan menyiksa sekali,” tuturnya.
Ia pun menambahkan, anak perempuannya selalu batuk-batuk jika menghirup asap. “Asapnya itu beda sekali. Jika dihirup hidung terasa gatal. Pokoknya nggak tahan. Liat saja anak saya ini, telapak kakinya hitam,” lanjutnya sambil memangku anaknya.
Didi, panggilan akrabnya, melanjutkan, sejak awal ia sudah merasa terganggu dengan keberadaan pabrik di tengah pemukiman warga. Senada dengan pendapat Siti Omasih, ia mempertanyakan izin yang diberikan oleh pihak setempat yang mengizinkan dibangunnya industri dekat desa. “Kalau seperti ini terus, kami pun pusing,” tambahnya.