Mohon tunggu...
Ramadhani Ray
Ramadhani Ray Mohon Tunggu... -

writing | Literature | disability | Human Rights | Youth | Leadership

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Bahasa Kita, Bahasa Isyarat Indonesia

24 September 2012   00:44 Diperbarui: 4 April 2017   18:22 6058
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bayangkan, bagaimana jika mahasiswa Universitas Indonesia mempelajari bahasa isyarat? Ya, bahasa nonverbal yang biasa digunakan oleh para penyandang tunarungu/wicara. Bahasa yang mungkin banyak diketahui orang, namun tak banyak yang memahaminya.

Lalu, bagaimana pula jika penyandang tunarungu/wicara itu sendiri yang menjadi dosen untuk

mengajarkan bahasa isyarat tersebut?

Benarkah bahwa bahasa isyarat Indonesia juga bagian dari bahasa kita?

Aku duduk pada sebuah bangku di salah satu tepi ruangan. Mataku menyapu seisi kelas. Deretan bangku membentuk huruf U telah penuh oleh para mahasiswa. Sepertinya hampir semua bangku telah terisi. Kubilang ‘sepertinya’ karena jarak pandangku sangat terbatas hingga tidak bisa memastikan hal itu. Lebih lagi wajah-wajah mereka, aku malah sama sekali tidak bisa melihatnya. Ya, aku memang penyandang low vision sejak kecil. Makanya aku sudah biasa dengan pandanganku yang buram ini.

Ada di mana dan sedang apa? Pasti itu yang ingin kau tanyakan, kan? Oh iya. Tentu saja itu akan kujelaskan setelah ini. Pada Rabu, 19 September, aku kembali menjadi mahasiswa. Terlebih hari ini aku menjadi mahasiswa UI, duduk bersama sekitar 30 orang mahasiswa di ruang 2-10 gedung VI, Fakultas Ilmu Budaya (FIB). Oh, tidak. Sebenarnya aku tidak benar-benar menjadi mahasiswa, kok. Aku hanya kuliah satu hari, untuk meliput dan menulis tentang sebuah mata kuliah unik yang sangat menarik perhatianku. Kau tahu mata kuliah apa itu? Yaps, benar. bahasa isyarat Indonesia.

Bisindo. Begitulah mereka biasa menyingkatnya. Pertama kali aku mendengar mata kuliah ini dari seorang kenalanku, namanya Pinky Warouw Wickiser. Beliau adalah penerjemah bahasa isyarat yang telah 13 tahun mendampingi para tunarungu dalam berbagai pertemuan sosial kemasyarakatan. Mata kuliah yang telah berjalan di FIB-UI sejak tahun 2009 tersebut diajarkan langsung oleh para tunarungu/wicara. Aku takjub ketika Pinky bercerita bahwa mahasiswa peminat mata kuliah tersebut semakin bertambah tiap tahunnya.

“Dulu, waktu baru buka kelas, mahasiswanya sekitar 40 orang. Sekarang sudah sampai 105 orang yang terbagi dalam tiga kelas. Itu pun ada 28 orang mahasiswa yang terpaksa ditolak karena kapasitas kelasnya sudah tidak cukup,” jelas Pinky saat aku menemuinya siang itu, sebelum kelas dimulai. Mataku membulat, seulas senyum bangga tanpa sadar tersungging di bibirku. Ya, tentu saja aku bangga. Meski bukan tunarungu, aku kan penyandang disabilitas juga. Lantaran rasa penasaran yang membuncah dalam dadaku, langsung saja aku meminta izin pada Pinky, dan beberapa dosen tunarungu lainnya untuk mengikuti salah satu kelas. Dengan senang hati mereka pun mempersilakan. Selanjutnya, Pinky mengantarku ke ruangan ini.

Sambil menunggu kuliah di mulai, aku mempersiapkan buku catatan dan alat perekamku. Kulirik seseorang yang duduk di samping kiriku. Seorang gadis berjilbab. Aha! tampaknya dia orang yang tepat untuk menjadi narasumberku.

“Adis.” Gadis itu menyebut namanya sambil tersenyum. Aku balas menjabat tangannya dan menjelaskan maksud kedatanganku di kelas itu. Kubilang, ada beberapa hal yang ingin kutanyakan pada Adis, dan gadis itu mengangguk setuju.

“Kata senior, sih, kuliahnya seru.” Adis mengungkap alasannya mengikuti kuliah Bisindo. Adis merupakan mahasiswi semester lima jurusan Sastra Indonesia. Ia mengaku belum pernah bertemu dengan tunarungu sebelumnya, namun merasa penasaran dengan kuliah Bisindo yang sering kali diceritakan oleh senior-seniornya yang telah lebih dulu mengambil mata kuliah tersebut.

Adis menuturkan, Bisindo adalah mata kuliah peminatan. Maksudnya, Bisindo bukanlah mata kuliah wajib. Meski berada di bawah Program Studi Sastra Indonesia, mata kuliah Bisindo dapat diikuti juga oleh jurusan lainnya. Bisindo terdiri dari 3 SKS, lanjut Adis, mata kuliah ini hanya diadakan tiap hari Rabu pukul 13:00 sampai 15:30. Oh, begitu. Aku membulatkan mulut dan bergumam dalam hati. Tidak lama, dua orang dosen memasuki kelas.

“Kok dosennya ada dua?” bisikku pada Adis.

“Iya, memang satu kelas diisi oleh dua dosen.”Adis balas berbisik.

Aku kembali membulatkan mulut dan mengangguk-angguk. Kupikir dua orang dosen ditempatkan dalam satu ruangan untuk memudahkan proses belajar mengajar. Maklum, di kelas ini tidak ada yang menggunakan bahasa verbal, bahkan bila hendak izin ke toilet sekalipun.Kedua dosen itu-June dan Yanti- adalah tunarungu/wicara. Mereka masih bisa sedikit bersuara, namun artikulasinya kurang jelas. Maka untuk berinteraksi dengan mereka, setiap mahasiswa dianjurkan menggunakan bahasa isyarat, atau setidaknya dengan menuliskannya pada selembar kertas.

June memulai kuliah. Ia memberikan instruksi-instruksi dengan gerakan tangannya. Sementara, Yanti menuliskan sesuatu di papan tulis yang sepertinya berkaitan dengan materi yang akan disampaikan hari itu. Interaksi berlangsung sunyi. Maksudku tidak benar-benar sunyi, sih. Sesekali terdengar gumaman dari para mahasiswa. Ketika June memberi contoh kosa isyarat dengan gerakan tangannya, para mahasiswa dengan antusias memperhatikan dan mengikuti gerakan itu. Lalu mereka ber-“oh” panjang saat mulai paham, atau tergelak ketika menyadari bahwa mereka telah salah paham. Menarik sekali. Belum pernah aku menemukan kelas seunik ini sebelumnya.

Aku masih terkagum-kagum. Tiba-tiba saja para mahasiswa berganti posisi. Mereka meraih selembar kertas di atas meja, mencari pasangan, lalu memutar tubuh saling berhadapan.

“Disuruh ngapain?” tanyaku pada Adis. Aku mengerutkan dahi. Sepertinya hanya aku yang tidak mengerti di kelas ini.

“Latihan percakapan,” jawab Adis.

Hah? Latihan percakapan? Dengan bahasa isyarat? Wah, aku tidak boleh melewatkan situasi ini. Segera kuraih ponsel dan menyiapkan kamera. Klik! Kuambil foto Adis dan temannya, Wulan, yang sedang berlatih percakapan dengan bahasa isyarat. Sepertinya pada pertemuan sebelumnya mereka telah diberikan sebuah kertas berisi percakapan sederhana yang akan diprektikan hari itu. Setelah berlatih beberapa saat, tiap pasangan tampil ke depankelas. Satu pasang berdiri di hadapan June, dan pasangan lainnya berdiri di hadapan Yanti. Agaknya kedua dosen tersebut akan memberikan penilaian terhadap kelancaran percakapan tiap pasangan.

1348445476551828360
1348445476551828360

Ponselku bergetar. Ada sebuah pesan masuk. Oh, rupanya dari Pinky.

Dhani, bu Juniati otw, mo ketemu kamu d kelas.

Ah, ini dia nih yang ditunggu-tunggu. Aku memang ingin menanyakan beberapa hal pada Juniati Efendi. Beliau adalah seorang tunarungu yang mengupayakan terselenggaranya kelas bahasa isyarat Indonesia di FIB-UI. Meski tunarungu, Juniati adalah seorang dokter gigi alumnus Universitas Mustopo, Jakarta. Wah, hebat, ya? Tunarungu bisa jadi dokter gigi, sebuah prestasi yang belum tentu bisa dicapai oleh orang-orang berpendengaran sempurna. Tidak mudah, lho, bagi tunarungu meraih pendidikan setinggi itu. Biasanya mereka agak kesulitan mendengar tuturan dosen sehingga lebih banyak mengandalkan penjelasan tertulis saja.

Tidak lama kemudian, Juniati memasuki kelas dan menghampiriku. Ia mengajakku keluar kelas untuk berbincang di tempat lain. Sebelum meninggalkan kelas yang luar biasaitu, tidak lupa aku berpamitan pada Adis yang telah memberiku banyak penjelasan, dan tentu saja June dan Yanti yang kelasnya telah kuganggu hari itu. Ups, tidak. Aku tidak menggunakan bahasa isyarat, kok. Aku hanya mengatakan “terima kasih” dengan artikulasi yang jelas sehingga mereka dapat memahami gerak bibirku.

Kawan, kau pasti penasaran kan bagaimana ceritanya Bahasa isyarat Indonesia bisa menjadi salah satu mata kuliah di universitas ternama ini? Iya, sama. Aku juga ingin tahu. Maka, pertanyaan itulah yang pertama kutanyakan pada Juniati. Oh iya. Sebelumnya kujelaskan terlebih dahulu. Meski Juniati adalah penyandang tunarungu, Ia masih dapat mendengar tuturanku asalkan aku mengucapkannya dengan keras dan artikulasi yang jelas. Juniati juga masih dapat berbicara dengan cukup baik. Walaupun nada bicaranya agak berat dan sedikit tertahan, aku masih dapat memahami perkataannya. Karena itu, kami dapat melakukan pembicaraan seperti biasa, tanpa penerjemah bahasa isyarat.

“Waktu itu ada masalah tentang SIBI,” cerita Juniati. SIBI adalah sistem Isyarat Bahasa Indonesia yang biasa diajarkan di SLB. Menurut Juniati, SIBI terbilang cukup sulit untuk dipelajari, apalagi bagi anak-anak. Pasalnya, SIBI bukanlah bahasa isyarat sehari-hari tunarungu, melainkan Bahasa Indonesia yang diisyaratkan. SIBI mengisyaratkan berbagai imbuhan dalam tata Bahasa Indonesia, seperti “me-“, “ber-“, “ter-“, dan sebagainya. Sedangkan Bisindo lebih sederhana dan terkesan alami.

Bingung?

Baiklah, aku berikan satu contoh. Misalnya untuk kalimat “saya mencuci piring”, Bisindo mengisyaratkannya dengan dua gerakan yang melambangkan “saya” dan “mencuci piring”. Sedangkan SIBI mengisyaratkannya dengan empat gerakan yang lebih rumit, yaitu “saya”, “men-“, “cuci” dan “piring”. Berikut gambarnya.

13484466001255187430
13484466001255187430

Nah, terlihat kan perbedaannya? Kesulitan penggunaan SIBI menyebabkan proses belajar mengajar menjadi sulit dipahami oleh anak-anak tunarungu. Dampak nya, komunikasi dan penerimaan informasi bagi tunarungu menjadi terhambat. Oleh karena itu, Juniati yang juga merupakan Wakil Ketua I GERKATIN (Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia) mengupayakankampanye Bisindo. Hal ini didukung oleh diresmikannya Bahasa isyarat Indonesia sebagai bagian dari Bahasa Nasional Indonesia pada sebuah Konfrensi Penyandang Disabilitas se-Asia Pasifik yang diselenggarakan pada Desember 2011 di Hotel Bidakara, Jakarta.

Salah satu langkah yang dipersiapkan untuk mensosialisasikan Bisindo adalah dengan mengadakan kelas Bahasa isyarat Indonesia di sebuah universitas. Kampus yang disarankan adalah yang memiliki Departemen Linguistik dan berlokasi di Jakarta agar lebih mudah dipantau. Maka Juniati pun mengunjungi Universitas Indonesia dan berjumpa dengan Muhammad Umar Muslim, salah satu dosen linguistik FIB-UI. Umar yang juga memiliki keponakan tunarungu berperen penting dalam upaya perwujudan kelas tersebut. Tujuh orang dosen linguistik diberikan pelatihan tiap akhir pecan selama tiga bulan. Hal ini dimaksudkan agar para dosen dapat mempertimbangkan perlu tidaknya kelas Bisindo diadakan di kampus tersebut. Singkat cerita, penyelenggaraan kelas Bisindo pun disetujui dan mulai berjalan pada tahun 2009.

Tunggu dulu, kawan. Ceritaku belum selesai. Sekarang akan kuceritakan bagian yang menarik dari Bisindo. Aku memperhatikan, Pinky, sang penerjemah bahasa isyarat sangat bersemangat dalam mengampanyekan Bisindo. Sebelumnya, aku sempat bertanya pada wanita 60 tahun itu, kenapa ia begitu mencintai Bisindo, padahal ia memahami berbagai bahasa isyarat termasuk American Sign Language (ASL).

“Karena aku orang Indonesia.” Katanya sambil tersenyum. Jawaban sederhana yang membuatku kehabisan kata. Aku pun hanya bisa balas tersenyum menanggapi jawaban itu.

Selanjutnya, pertanyaan hampir serupa sempat kulontarkan juga pada Juniati. Aku ingin tahu bagaimana pendapatnya. “Menurut ibu, apa sebenarnya keunikan dari Bisindo? Apa bedanya dengan bahasa isyarat lainnya?”

“Bisindo lebih sesuai dengan budaya kita,” ujar Juniati, mantap.

Jawaban itu menggelitik rasa penasaranku lagi. “Sesuai budaya itu maksudnya seperti apa?”

Juniati memberikan contoh kosa isyarat. Misalnya untuk menyebut kata “ibu”, isyaratnya adalah dengan meletakkan kepalan tangan dibelakang kepala. Isyarat ini menggambarkan ciri khas perempuan Indonesia yang biasanya mengenakan sanggul. Lalu, untuk kata “bapak”, kita hanya perlu melintangkan jari telunjuk di atas bibir, mengisyaratkan bahwa seorang bapak biasanya berkumis. Untuk kata “makan”, digunakan isyarat tangan yang semua jarinya dikuncupkan seolah sedang menjumput nasi, lalu diarahkan ke mulut. Isyarat ini melambangkan kebiasaan orang Indonesia yang makan dengan tangan, bukan dengan sendok maupun sumpit. Tentu saja ASL maupun bahasa isyarat Negara lain tidak sama, sehingga terasa kurang alami jika digunakan di Indonesia.

Wah, menarik sekali, pikirku. Baru mempelajari beberapa kosa isyarat saja, aku sudah merasakan asyiknya mempelajari Bisindo. Kalau begini, sih, tidak heran jika mata kuliah Bisindo di FIB-UI semakin bertambah saja jumlah peminatnya.

Di akhir perbincangan, Juniati menuturkan harapannya. Sejauh ini tempat terselenggaranya kelas Bisindo selain UI adalah Gereja Catedral dan kantor GERKATIN. Untuk memperluas sosialisasi Bisindo, Ia ingin kelas-kelas Bisindo dapat diselenggarakan di kampus-kampus lainnya selain UI.

Hari beranjak sore. Aku pamit dengan perasaan sangat puas. Bagaimana tidak. Hari ini aku mendapatkan banyak hal berharga. Pengalaman mengikuti kuliah Bisindo serta pengetahuan baru tentang dunia tunarungu dan bahasa isyarat. Bukan hanya itu. Aku dapat oleh-oleh, lho, dari Juniati. Apa itu? Jreeeeeeeeeng…. Buku “Berkenalan dengan Bahasa isyarat Indonesia (BISINDO)”, gratis!

1348446810901002510
1348446810901002510

***

Memperingati bulan bahasa pada Oktober mendatang, kupersembahkan tulisan ini untuk teman-temanku para penyandang tunarungu. Aku memang seorang low vision dan bukan tunarungu, tapi kami sama-sama penyandang disabilitas yang sedang memperjuangkan hal yang sama, yaitu kesetaraan hak dalam masyarakat.

Bahasa dan kita merupakan dua elemen yang tidak terpisahkan. Tanpa bahasa, kita tidak akan bisa saling memahami dan bekerja sama. Bagaimana pun manusia adalah mahluk sosial yang saling membutuhkan. Mengingat hal tersebut, kupikir para penyandang tunarungu sekalipun memiliki hak yang sama dalam berkomunikasi dan memperoleh informasi dalam rangka meningkatkan kapasitas diri. Oleh karena itu, lewat tulisan ini, aku menyimpan secerca harapan. Semoga apa yang aku tuliskan dapat membantu perjuangan teman-teman tunarungu untuk mempromosikan Bahasa isyarat Indonesia. Mengingat kebutuhan penerjemah bahasa isyarat di Indonesia yang sangat mendesak, kuharap semakin banyak orang yang mengenal Bisindo dan tertarik untuk mempelajarinya. Selanjutnya, akan tumbuh kepedulian masyarakat terhadap hak dan kebutuhan para tunarungu pada khususnya, serta penyandang disabilitas pada umumnya.

***

Depok, 20092012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun