Mohon tunggu...
Ramadhan G.G
Ramadhan G.G Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

sederhana tapi rumit

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pooh dan Wayang Daun Lili

18 Mei 2013   10:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:23 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

BONEKA Pooh itu tiba-tiba saja hidup dan mampu bicara dengannya. Jika keadaannya siang hari, ia dan Poohnya berlarian ditaman bunga mengejar kupu-kupu. Lalu bila keadaan berubah serupa malam, mereka pergi kehutan menangkap kunang-kunang dan memasukkannya kedalam botol.

“Ayah !!” teriaknya. Ia bermimpi. Ia pun rindu dengan ayahnya yang belum kunjung pulang.

***

Lily adalah gadis mungil berpipi kemerah-merahan anak semata wayang Bu Lindu dan Pak Lintang. Sebentar lagi usianya genap empat tahun. Dan Pak Lintang akan membikin suatu kejutan dihari lahir anak kesayangannya itu.

“Kejutan? Bapak ini ada-ada saja. Buat beli keperluan sehari-hari saja kita harus banting tulang, Pak” keluh Bu Lindu. Ketika suaminya berniat memberi hadiah kejutan untuk anaknya, Lily.

“Mendingan uangnya ditabung, buat Lily masuk sekolah nanti, Pak. Buat beli buku-buku. Daripada buat kejutan. Toh kita bukan orang kaya.” Lanjutnya. Pak Lintang sadar betul memang tak seberapa penghasilannya sebagai buruh bangunan. Acap kali mengantar istrinya belanja kepasar pun, ia melihat wajah istrinya seperti tercekik tambang ketika menawar suatu barang.

“Tidak apa-apa. Lagi pula, kapan lagi bikin seneng anak kita. Lihat tuh, mainannya cuma wayang-wayangan dari daun singkong begitu” sahut Pak Lintang, sembari melihat Lily bermain wayang-wayangan dari daun singkong.

Lily memang senang bermain bonekaan. Meskipun adanya boneka wayang-wayangan yang disulam dari daun singkong. Bentuknya sedemikan rupa dibuat persis wayang golek. Lengkap dengan tungkai yang bisa menggerakkan lengannya. Saking senangnya, terkadang boneka daun itu dibawanya tidur bersama Lily. Dan esok harinya Lily harus menangis sebab boneka daunnya itu sudah patah dan layu.

“Ayah! Wayangnya patah lagi.” Polosnya, merengek dan minta dibuatkan lagi. Maka Pak Lintang akan segera keluar memetik beberapa lembar daun singkong yang besar disamping rumahnya. Lalu disulamnya kembali menjadi wayang daun.

“Ini sudah jadi wayang daunnya.” Maka dengan manjanya Lily menghampiri ayahnya dan meraih wayang daun itu. Dan bermain layaknya dalang.

“Wah, Lily mirip dalang.” Canda ayahnya sambil merangkul anak kesayangannya dan meniup ubun-ubunnya.

“Dalang itu apa, Ayah?” tanyanya polos

“Dalang itu yang bermain wayang seperti Lily.”

“Berarti Lily dalang ya, Yah? Lily mau jadi dalang, Ayah” ujarnya. Ayahnya hanya tersenyum melihat kepolosannya itu.

***

KARENA dalam beberapa waktu Pak Lintang akan lembur membangun sebuah villa, maka ia mengajak Lily membuat wayang daun sebanyak-banyaknya. Supaya Lily tidak merengek dan mengganggu pekerjaan ibunya sebagai buruh cuci.

“Nah, Lily sekarang punya wayangan banyak. Jadi kalau rusak, Lily jangan nangis lagi, ya.” Ujar ayahnya, sambil menyulam daun-daun singkong menjadi wayang. Lily melihat ayahnya begitu terampil. Ia pun penasaran ingin coba membuatnya. Namun hasilnya tak pernah jadi, yang ada hanya patahan-patahan dan daunnya sobek.

“Nanti Ayah belikan boneka buat Lily.”

“Boneka apa, Yah? Boneka wayang?” tanya Lily penasaran

“Bukan Lily. Tapi boneka buat jadi teman wayangan ini”

“Kayak boneka Lastri ya, Yah. Yang besar itu.” Katanya polos. Pak Lintang juga tahu kalau Lily ingin punya boneka Beruang seperti Lastri, temannya.

Menjelang senja, Pak Lintang bergegas menyiapkan perkakas keperluannya. Memasukkan cangkul kedalam karung kemudian mengikatnya kencang-kencang. Dan juga membawa bekal makanan selama dijalan dari istrinya.

“Berapa lama lemburnya, Pak?” tanya Bu Lindu

“Ya paling cuma seminggu, Bu. Villanya sudah mau rampung, tinggal pasang genting sama keramik.”

“Lah terus kejutan buat Lily? Anak itu kalau janji tidak ditepati, suka ngerengek lho, Pak”

“Iya, nanti Bapak mampir ke pasar malam di lapangan desa. biasanya disana ada yang jual boneka. Selesai nguli pasti Bapak bawa” ujarnya. Dan Pak Lintang pun berlalu selepas maghrib. Bu Lindu menatapnya dari ambang pintu seraya bergumam; betapa baiknya memiliki suami seperti Pak Lintang.

Masih ingat dibenak mereka betapa sulitnya mencarikan sebuah nama untuk anak pertamanya itu. Pak Lintang sempat ingin memberi nama putrinya Siti Aisyah, namun Bu Lindu berpikir nama itu terlalu mulia jika disandangkan sebagai nama anaknya.

“Itu kan nama istrinya Kanjeng Nabi, Pak. Ibu malu saja.”

“Kenapa malu toh, Bu? Biar kita dapat berkahnya juga.”

“Bapak ini gimana, kita hidup seperti ini saja masih mengeluh. Lah gimana mau dapat berkah toh.” Jelas Bu Lindu. Pak Lintang pun mengiyakan keadaannya. Dan semua nama sudah mereka cari. Namun belum menemukan kecocokan. Hingga akhirnya, Pak Lintang menemukan sebuah nama, Lili.

“Lili itu artinya apa, Pak?” tanya Bu Lindu

“Tidak ada artinya. Itu cuma singkatan dari nama kita saja, Bu. Kamu Lindu, aku Lintang. Ya, jadikan Lili.”

“O, yowis, itu saja. Pusing aku cari nama saja ndak ketemu-ketemu.” Maka Lili pun hadir bersama kebahagiaan keluarga kecil mereka.

***

Beberapa hari kemudian, Lily sudah tak sabar menunggu ayahnya pulang. Ia bermain wayang daun bersama ibunya didepan rumah. Sementara Bu Lindu matanya tak lepas memandangi langit yang sejak kemarin selalu mengguyur tanah.

“Ibu, kapan ayah pulang? Katanya mau beli boneka. Kapan ayah pulang, Bu? Tanya Lily. Ia ingin segera ayahnya pulang membawa boneka yang dijanjikannya. Boneka yang sama seperti boneka Beruang milik Lastri. Boneka yang kelak akan menjadi teman-teman wayang daunnya. Sungguh Lily tidak sabar melihat ayahnya menyongsong dari kejauhan dan memberikan boneka barunya.

“Iya, tunggu sebentar lagi ayah pulang.” Katanya, sambil mengusap rambut Lily yang semakin memanjang.

Bu Lindu senang dari kejauhan terlihat sosok seorang lelaki bertubuh tinggi menyongsong menuju rumahnya. Orang itu terlihat bergegas berjalan diatas tanah yang becek sisa-sisa hujan semalam. Makin lama makin mendekat. Dan terlihat jelaslah siapa orang yang membawa bungkusan itu.

“Permisi, Bu Lindu.”

“Lah, Bang Mandor. Ndak bareng sama Bapak toh?

“Anu, Bu, Bapak itu..” Bang Mandor terlihat gugup. Seperti ingin mengatakan suatu beban. “Bapak kecelakan,Bu. Semalam Bapak terpeleset dari atas atap villa waktu masang genting. Bapak meninggal diperjalanan kerumah sakit, Bu. Luka dikepalanya parah!” jelasnya. Bu Lindu terpaku ditempatnya. Nafasnya tercekat. Ia tak bisa berbuat apa-apa.

“Ibu, Ayah mana, Bu?” tanya Lili polos. Sementara ibunya mulai menangis menahan sesak.

“Ini Bu, Bapak nitip sesuatu buat Lili.” Bang Mandor menyerahkan bungkusan yang berisi boneka. Lili langsung membukanya. Boneka beruang yang sama seperti milik Lastri. Di baju boneka itu ada namanya, Pooh.

“Ibu, Ayah pulang, kan?” tanya Lili. Bu Lindu hanya diam menatap putrinya yang mungil.

“Besok Ayah pulang, Nak.”

-ooOoo-

Ilustrasi: (1.bp.blogspot.com)

Kelapa Dua, 2013

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun