Mohon tunggu...
Djoko Nawolo
Djoko Nawolo Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang pemerhati sosial

Sekedar menyalurkan hobi berceloteh tentang segala hal

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bukan tentang Dunia Wayang

9 Juli 2015   04:43 Diperbarui: 9 Juli 2015   04:47 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Cogito ergo sum (aku berpikir, maka aku ada)

~Descartes~

Tulisan kali ini tidak lagi membahas tentang wayang sebagaimana dua postingan sebelumnya, walaupun sebenarnya masih terkait juga dengan bahasan tentang Togog, yaitu bagaimana sebagai seorang pengasuh, Togog tak pernah berhenti berpikir kritis untuk mengingatkan para ndoro agar tidak menyimpang. Itulah Togog yang tidak pernah bosan ngoceh sampe bibirnya ndower untuk mengkritisi apapun yang terlihat janggal di sekitarnya, walaupun sampe akhir cerita pewayangan, ndoro nya tidak pernah berubah dari karakter yang memang sudah dikodratkan jahat oleh si dhalang atau penulis ceritanya. Wayang kan secara struktural organisasinya memang sangat kaku, karena Amerika belum sempat mengobrak-abriknya dalam rangka kampanye demokrasi, atau mungkin Amerika memang tidak tertarik karena di negeri wayang tidak ada tambang minyak. Jadi ya memang di atmosfer seperti itu, pemikiran kritis lebih banyak terbuang di tempat sampah. Semua harus sabdo pandhito ratu.

Seperti di lingkungannya Togog, rasanya memang sudah menjadi realitas yang sulit untuk dipungkiri bahwa dalam sebuah kultur yang begitu rigid di dalam organisasi-organisasi tertentu, berpikir kritis dan terbuka memang masih belum menemukan tempatnya. Berpikir kritis masih sering dilihat sebagai sebuah upaya pembongkaran aib yang selama ini tersembunyi dibalik argumen stabilitas dan loyalitas. Sama dengan Togog yang tidak pernah berhasil mengkritisi berbagai kekeliruan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh jahat yang diasuhnya, karena mereka telah terlanjur nyaman dengan apa yang sudah dinikmatinya.

Bagi mereka yang telah menikmati kenyamanan pada situasi yang ada sekarang, pemikiran kritis cenderung dianggap identik dengan ketidak bersyukur-an, ungkapan kekecewaan atau anti kemapanan. Akibatnya, seringkai terjadi ketika ada sebuah ungkapan kritis, cenderung ditanggapi secara ngawur, keluar konteks dan saling serang sisi pribadi, sehingga keluar dari substansi permasalahan yang sedang dibahas. Mungkin itulah yang dialami oleh Togog dengan para ‘anak asuh’ nya sehingga bibir si Togog akhirnya ndower.

Kritik dan kritis sebenarnya adalah dua hal yang berbeda, walaupun juga memiliki persamaan. Kritik sering didefinisikan dengan penilaian atau penghakiman dengan cara melihat sisi negatif dari sesuatu agar bisa diperbaiki. Menurut wikipedia, kritik adalah masalah penganalisaan dan pengevaluasian sesuatu dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi, atau membantu memperbaiki pekerjaan. Dengan kesimpulan, kritik adalah hasil dari pengamatan yang diberikan untuk meningkatkan dan memperbaiki perkerjaan. 

Sedangkan kritis ialah berpikir secara analisis reduktif. Berpikir secara kritis berawal dari sebuah pertanyaan. Misalkan, ada seorang guru sedang menerangkan materi yang diajarkan kepada muridnya. Karena seorang murid itu tidak paham dengan apa yang diterangkan oleh si guru tadi, maka si murid tersebut bertanya dengan rasa ingin tahunya. Nah, yang seperti itu bisa juga kita sebut dengan berpikir kritis . karena pada hakikatnya berpikir itu adalah bertanya. Orang yang sering bertanya maka dia sering berpikir. Dan pada intinya manusia itu diciptakan untuk berpikir. Kenapa orang ingin belajar? Karena dia ingin berpikir. 

Disini terlihat bahwa perbedaan mendasar dari kedua kata tersebut adalah sifatnya. Jika kritik lebih bersifat menghakimi dengan melihat celah kesalahan, maka kritis lebih bersifat mempertanyakan sesuatu untuk mencari jawabannya. Sedangkan keduanya memiliki kesamaan yaitu penggunaan akal pikiran secara tajam.

Dalam hal penggunaan akal pikiran manusia sebagai makhluk uang diberi kelebihan dibanding makhluk lain, agama maupun aliran yang 'anti agama' sekalipun nampaknya memiliki kesepahaman. Nietszche, salah seorang filsuf asal Jerman yang kontroversial karena menganggap Tuhan telah mati (anti agama) berpendapat bahwa manusia dengan binatang itu pada mulanya sama. Yang membedakan manusia dengan binatang ialah otak, dan otak itu dimanfaatkan sebaik-baiknya dengan potensi yang masing-masing manusia miliki. Kalau manusia itu tidak mengembangkan potensinya, maka dia sama halnya dengan binatang.

Dalam sudut pandang agama yang dalam ulasan ini diwakili oleh Al-qur’an, kita sering membaca atau mendengar kata-kata, afalaa ta’qiluun, afalaa tatazakkaruun, afalaa tasykuruun, dan sebagainya hingga yang paling tertinggi ialah ulul al-bab. Semua itu kalau kita artikan ada isyarat atau perintah Allah SWT, supaya kita berpikir. Berpikir yang tidak hanya satu objek, tapi berbagai objek lainnya. Istilah Ulul Albab 16 kali disebut dalam al-Qur’an. Salah satunya adalah, "Sesungguhnya, dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi ulul albab" (QS, Ali Imran, 190). 

Menurut Ibn Katsir, selain mampu memahami fenomena alam dengan segenap hukumnya yang menunjukan tanda-tanda keagungan, kemurahan dan rahmat Ilahi, ulul albab juga seorang yang senantiasa berdzikir dan berpikir, yang melahirkan kekuatan intelektual, kekayaan spiritual dan keluhuran moral dalam dirinya. Ibn Salam fisikawan muslim yang mendapatkan hadiah Nobel tahun 1979 menyatakan bahwa dalam al-Qur’an terdapat dua perintah; tafakur dan tasyakur. Tafakur adalah merenungkan serta memikirkan semua kejadian yang timbul dalam alam semesta, kemudian menangkap hukum-hukumnya yang dalam bahasa modern dikenal dengan istilah science. Sedang tasyakur adalah memanfaatkan segala nikmat dan karunia Allah dengan akal pikiran, sehingga nikmat tersebut semakin bertambah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun