Mohon tunggu...
Pringadi Abdi Surya
Pringadi Abdi Surya Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan kreatif

Lahir di Palembang. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Instagram @pringadisurya. Catatan pribadi http://catatanpringadi.com Instagramnya @pringadisurya dan Twitter @pringadi_as

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Solilokui Ibu

15 November 2020   12:07 Diperbarui: 15 November 2020   12:17 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rambutnya sudah sedemikian memutih. Kulitnya pun mengeriput. Setiap bertemu, aku pasti akan selalu memeluknya. Perasaan haru, menjadi seorang anak yang merantau jauh dari orang tua, membuatku selalu berpikir akan pulang bila ada kesempatan pulang ke Palembang. Tidak perlu banyak pertimbangan, sebab aku tahu akan ada satu titik di mana aku tak lagi menatap mata ibu.

Apa yang membuatku menjadi seorang manusia? Jawabanku adalah ibu.

Ibu sekolah pertamaku. Ibu juga guru terhebat yang pernah kumiliki. Meski dia hanya lulusan setara SMP, aku selalu bangga padanya. Aku masih bisa mengingat jelas bagaimana dia telaten mengajariku membaca. Belum genap umur 4 tahun, aku sudah pandai membaca sehingga waktu itu, dalam usia baru 4,5 tahun aku sudah masuk SD karena pihak TK menyarankan demikian.

Perannya dalam menanamkan kecintaan pada buku tak bisa diremehkan. Sebulan sekali aku akan diajak ke Kota Palembang. Aku tinggal di pinggiran, kabupaten. Ibu dan Bapak akan belanja bulanan. Aku ditinggal di Gramedia. Saat itu di Gramedia kita masih bisa bebas membaca. Selama beberapa jam aku banyak membaca buku dan seusainya aku diizinkan membeli satu buku yang murah.

Membaca dan buku menjadi hal yang berharga di masa kecilku. Dan kenangan itu kurawat baik-baik hingga sekarang.

Bapakku seorang penyuluh pertanian. Jadi, beliau jarang di rumah. Ada waktu di mana beliau akan pergi ke pelosok. Atau bila pulang, baru saat Mahrib ia sampai ke rumah. Jadi, waktu kebersamaanku lebih banyak dengan Ibu.

Ibulah yang menemaniku belajar. Ia mulai kesulitan ketika aku sudah duduk di kelas 3 SD. Pelajaran sekolah waktu itu sudah semakin rumit sehingga kakakku yang gantian mengajariku.

Ada satu nilai yang ibu tanamkan baik-baik. Kejujuran. Sesulit apa pun ulangan, tidak boleh menyontek. Salah satu kebanggaanku adalah aku tidak pernah menyontek selama ujian. Meski hasilnya nilai raporku merah, tak masalah. Di rumah pun, aku dibiarkan mandiri mengerjakan tugas sekolah. Caranya mengajari tidak memberi tahu mentah-mentah. Tapi ibu menuntunku pads pemikiranku sendiri.

Bahkan tugas-tugas muatan lokal, seperti membuat donat, membuat bolu ubi, bahkan klepon, pernah kukerjakan sendiri. Ibu hanya memberi petunjuk, langkah-langkah sesuai resep. Seberapa banyak takaran. Seberapa lama harus mengaduk adonan.

Kelas 5 SD, setelah menang di tingkat kabupaten, aku maju pada olimpiade matematika tingkat provinsi. Harus dikarantina selama satu minggu. Tinggal di asrama.

Saat itu aku gagal. Bukan karena tidak mampu. Tapi karena tidak fokus tanpa ibu. Itu pengalaman pertama harus tidak serumah tanpa ditemani ibu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun