Dewasa ini, istilah Mahayana seringkali digunakan untuk melabeli, merujuk kepada nama sebuah mazhab tertentu di dalam sistem keagamaan Buddhisme. Dan sebagai konsekuensinya, istilah ini juga menjadi sering digunakan untuk diperbandingkan dengan mazhab-mazhab lain di dalam agama Buddha. Dan lebih lanjut lagi, istilah Mahayana ini juga menjadi diidentikkan dengan warna tertentu dari jubah seorang biksu, atau ritual-ritual praktik tertentu dan sebagainya.
Apakah istilah Mahayana hanya menyangkut permasalahan eksternal seperti demikian?
Sebelum melangkah lebih jauh, kita perlu menyepakati satu hal terlebih dahulu, yaitu bahwa pada dasarnya tidak ada satupun ajaran Buddha yang memiliki esensi tujuan yang letaknya di luar. Semua ajaran Buddha adalah berkaitan dengan pengelolaan batin, transformasi batin dan penyempurnaan batin. Ketika bicara batin, maka ini adalah sesuatu yang letaknya di dalam, bukan di luar. Jika kemudian, ada ajaran-ajaran Buddha yang kemudian mengejawantah menjadi ajaran-ajaran yang seolah-olah terlihat seperti mengatur hal-hal eksternal, seperti cara berperilaku dan sebagainya, maka itu pun seyogyanya perlu dipahami sebagai sebuah metode yang sebenarnya pun diajarkan untuk mendidik batin. Â
Kita seringkali bertemu dengan fenomena di mana kita suka berlomba-lomba menilai dan "menggunjingkan" tingkah laku seseorang yang kita labeli sebagai "tidak sesuai sila atau vinaya". Kita kemudian dengan semua upaya kekuatan intelek kita, bisa menyebutkan satu per satu sila apa saja yang dilanggar dan sebagainya, kemudian menjadikannya sebagai sebuah wacana debat yang hangat. Kita tidak pernah menanggapi fenomena tersebut dengan sikap introspeksi ke dalam: Apakah saya sendiri telah menjaga sila saya sendiri dengan kokoh, bebas cacat dan cela? Apakah saya bisa mengenali klesha yang acap kali menganggap diri lebih mulia dan selalu melihat keburukan orang lain ini dan bisakah saya menaklukkan klesha ini? Apakah saya bisa menumbuhkan rasa iba dan senantiasa mencari cara agar saya bisa menolong orang yang sila-silanya cacat ini karena saya tahu akibatnya akan sangat buruk bagi mereka? Padahal, praktik sejati ajaran Buddha, sangat jelas dan bebas debat, adalah ketika kita senantiasa introspeksi ke dalam!
Oleh karena itu, Shantidewa, di dalam mahakaryanya, Bodhicaryawatara, mengatakan dengan sangat cerdas dan bijak bahwa mengenakan sepasang sandal kulit di kaki adalah sudah sangat cukup daripada harus mencari potongan kulit seberapa banyak untuk melapisi seluruh permukaan dunia demi melindungi kaki kita ketika berjalan. Â
Demikian pula, Mahayana, adalah sebuah istilah yang seyogyanya, dinilai dari dalam, bukan dari luar.
Menurut tradisi Tahapan Jalan Menuju Pencerahan, terdapat 3 kategori praktisi Dharma, yaitu para makhluk yang disebut sebagai bermotivasi kecil, menengah dan agung, yang mana ini semua adalah bergantung pada cara berpikir dan motivasi mereka dalam aktivitas mereka sehari-hari.
Makhluk kategori pertama, yakni yang bermotivasi kecil, terbagi lagi menjadi 3, yaitu: makhluk bermotivasi kecil-kecil, makhluk bermotivasi kecil-menengah, dan makhluk bermotivasi kecil-agung.
Makhluk bermotivasi kecil-kecil memiliki batin paling picik dan sifat paling egois yang dapat ditemui dalam diri seorang manusia. Mereka bahkan tak punya kecenderungan sedikit pun terhadap kehidupan spiritual, dan hanya mencari kesenangan sesaat dalam kehidupan sekarang. Motivasi mereka sangat kecil karena tak melampaui kehidupan saat ini. Karena prioritas mereka adalah mengalami sebanyak mungkin kesenangan dalam kehidupan ini, mereka tak segan-segan menyakiti makhluk lain demi mengejar tujuan mereka, bahkan cenderung melakukan tindakan kejam. Mereka berbohong agar dagangannya lancar. Mereka merebus kepiting hidup-hidup ke dalam panci berisi air mendidih demi semangkok santapan lezat. Mereka mencaci ketika terusik.
Makhluk bermotivasi kecil-menengah berubah-ubah antara melakukan perbuatan negatif dan positif; kadang mereka berbuat jahat, kadang mereka berbuat bajik.
Sementara itu, makhluk bermotivasi kecil-agung adalah praktisi yang paham bahwa segala kesenangan dalam kehidupan sekarang bersifat terbatas dan keliru. Mereka menganggapnya kurang bernilai karena satu alasan: kenikmatan ini tak bisa dibawa mati! Mereka lalu berpikir untuk tak terlalu bernafsu mengejar kenikmatan seperti itu, melainkan lebih fokus mencapai kebahagiaan di kehidupan mendatang. Hal ini dapat dilakukan dengan menjalankan sila murni serta latihan-latihan lain untuk memastikan kebahagiaan jangka panjang.