(Dijadikan Guru atau Musuh Terbaik)
Adagium yang mengatakan bahwa pengalaman baik ataupun buruk adalah guru terbaik. Pengalaman tidak selamanya nyaman, menggembirakan, dan menyenangkan. Namun, bisa saja lebih buruk, menyedihkan, bahkan menyakitkan. Pengalaman tidak hanya dapat dijadikan guru, tapi juga dapat menjadi musuh terbesar. Pengalaman yang baik melahirkan sebuah kenangan indah, kesan harmonis, dan kegembiraan. Sedangkan pengalaman yang buruk akan melahirkan kenangan yang tak indah, harmonis, ataupun gembira. Lebih tepatnya menjadi pressure point (titik tekanan) bagi kita yang mengalami itu. Bahkan bisa masuk traf 3S (stress, struk, stop). Dari nukilan kisah-kisah pengalaman yang buruk juga dapat di jadikan motivasi tersendiri, asal ada niat dari dalam hati dan sungguh-sungguh.
Pengalaman memang merupakan serangkaian proses pengembangan diri yang dimana manusia sebagai agen pelaksananya, dan tidak bisa dilewat kan. Â Dalam proses ini kita harus dapat menfilterisasi yang mana yang sepatutnya dipikirkan, kembangkan atau dihapuskan. Proses ini dapat menentukan sikap kita dalam menanggapi pengalaman sebagai guru atau musuh. Pengalaman pastinya adalah masa lalu, dan kesalahan besar dimasa lalu secara otomatis akan menjebak pemilik pengalaman dalam perannya sebagai agen sosial dimasa sekarang ataupun masa depan. Sama halnya seorang yang pernah berdusta baik sekali ataupun berulang akan tetap sama dijuluki pendusta hingga akhir hayatnya. Kendatipun dia sunguh-sungguh ingin bertobat dan berbuat baik, akan selalu tertutupi oleh kesalahan yang diperbuat dimasa lalu. Jadi berpandai pandailah bersikap dan kritis dalam hidup. Urungkan niat yang buruk dimasa kini semampu mungkin dan berpikirlah positif agar kelak tidak terjebak pengalaman sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H