Mohon tunggu...
Wiyamara Man
Wiyamara Man Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pecinta dan penikmat hidup sederhana

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Konflik Harta Warisan Keluarga

4 September 2012   10:17 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:56 3122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13467538161214048089

[caption id="attachment_210467" align="alignnone" width="406" caption="tadungkung.com"][/caption] Bencana.. itulah yang terpatri saat orang bicara harta warisan keluarga. Harusnya berbagi dalam kebersamaan, namun nyatanya tidak seperti dambaan. Dalam sebuah keluarga, terutama bagi anak-anak di sebuah keluarga yang sudah punya pasangan hidup, harta warisan keluarga bukan lagi milik anak keluarga kandung saja. Pasangan dari masing-masing anak kandung pun ikut ambil bagian dalam keputusan harta warisan keluarga. Yang lebih tragedi, adalah ketika pasangan masing-masing lebih banyak memiliki andil untuk memutuskan daripada anak-anak kandung yang memiliki hak atas warisan orangtuanya itu. Dilema ini terjadi pada teman saya yang berupaya agar saudara kandungnya tidak ribut dan saling menekan. Ada sebuah rumah keluarga dan itu adalah warisan bersama dari kedua orangtuanya. Ibunya telah tiada, namun ayahnya masih bisa beraktifitas bersama orang-orang di lingkungannya. Mereka tiga bersaudara, satu perempuan, anak pertama dan dua lagi anak laki-laki. Mereka sudah menikah semua, pernah tinggal di rumah orangtuanya sampai akhirnya mereka memiliki rumah sendiri dan keluar dari rumah tinggal orangtuanya. Masalah kemudian terjadi, setiap anak merasa memiliki hak untuk mendapat bagian dari rumah itu. Pasalnya, para pendamping mereka sudah mengeluarkan dana untuk perbaikan dan mempercantik rumah orang tua saat dulu mereka tinggal disana. Konflik semakin menajam, ketika para pendamping merasa ada salah satu dari mereka terlihat ingin menguasai harta warisan keluarga itu dengan menekan anak-anak kandung di rumahnya sendiri. Alhasil, saudara kandung yang harusnya akur, saling mengerti dan saling mendukung, kini menjadi seteru yang keras dan menekan satu sama lain. Rumah orangtua bukan lagi tempat mengasyikkan untuk berkumpul, melainkan tempat yang panas dan membakar seperti neraka dimana setiap orang berusaha untuk mengusir satu sama lain dengan alasan sumbangsih siapa yang lebih banyak. Fenomena ini banyak terjadi akhir-akhir ini. Kita tidak lagi melihat diri masing-masing sebagai saudara kandung hanya karena harta warisan. Persaudaraan sedarah yang lahir dari satu rahim yang sama seakan tidak memiliki kekuatan untuk mengetuk rasa hati nurani anak-anak yang lahir di dalamnya. Sebegitu luar biasanya harta telah membutakan mata hati seseorang hingga tanpa segan rela menghancurkan kebersamaan sebagai keluarga kandung. Semua kebersamaan sejak kecil hingga dewasa pupus hanya karena harta yang selalu datang pergi dan bisa dicari lagi. Apa yang bisa kita pelajari dari kehidupan seperti ini? Konflik karena harta adalah suatu kondisi yang merendahkan martabat seseorang dari kehidupannya di mata dunia. Ia tanpa sadar telah menuhankan harta sebagai tuhan dan rela melakukan segala cara demi mendapatkan tuhannya itu. Kita tidak pernah belajar tentang pemberian dengan cara yang bijaksana untuk menyikapi masalah bersama. Ada kalanya semua itu didatangkan Tuhan kepada hidup sebuah keluarga agar bisa bersatu kembali melalui konflik masalah bersama itu. Adakalanya, hal itu malah menjadi bencana bagi keluarga itu karena tidak adanya kebijaksanaan yang cukup besar untuk menenangkan badai nafsu anggota keluarga kita yang ingin merampok sendiri sesuka hatinya demi dirinya sendiri. Harta itu datang dan pergi. Ia bisa dicari. Namun saudara kandung adalah materai dari langit, sekali hancur, ia tidak akan bisa berdamai lagi. Kepada siapa seseorang akan lari ketika ditimpa malapetaka kehidupan selain kepada keluarganya sebagai tujuan utama? Hidup manusia selalu naik dan turun, kita tidak pernah tahu kapan berada di atas dan kapan berada di bawah. Adakalanya, kita akan membutuhkan saudara kandung sebagai penopang yang diberikan Tuhan sejak lahir, karena saudara kandung lebih mengerti dan memahami karakter dan sifat kita yang alami. Lalu, ketika semua itu dihancurkan hanya demi harta yang sifatnya sementara di genggaman kita, apakah mungkin ketika susah kita bisa saling menguatkan langkah di jaman yang serba susah sekarang? Semoga kita masih bisa mendengar suara Tuhan lewat suara hati nurani ketika anggota keluarga kita mengalami keributan hanya karena harta warisan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun