Mohon tunggu...
Evi Dwiningtias
Evi Dwiningtias Mohon Tunggu... lainnya -

aku hanya seorang penulis pemula yang mencoba berkarya. mohon kasih saran dan kritiknya ea ^^

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Penantian, Wayang dan Hujan Tengah Malam

7 Juni 2012   20:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:16 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pukul dua belas lewat sepuluh menit, seperti biasa mata terbuka seketika itu juga. Seolah ada jam beker dalam otak yang secara tidak sadar membuatku bangkit dan membuka mata. Mimpi yang entah tak dapat kuingat jelas sebelumnya sirna sudah. Yang menyambutku hanya suara gemuruh dari atas dan hawa dingin yang tak biasa. Aroma mendung tercium menyegarkan.


Tubuhku bergerak melakukan rutinitas biasaku ketika terjaga. Pintu kamarku terbuka separuh. Tanpa pikir panjang kuraih handelnya dan keluar kamar. Gelap pekat tak membuat mataku jera mengamati sekeliling ruang tamu. Kosong dan tak ada seorang pun. Suara televisi yang menyala terdengar dari arah ruang tengah. Tak luput pula dehaman keras dan berat yang mengiringinya. Aku sudah dapat menduga siapa yang masih terjaga di sana.


Agaknya mataku tak cukup tertarik untuk melihat lebih jauh kondisi ruang tengah. Itu bisa kulakukan nanti. Yang menjadi perhatianku adalah pintu depan yang terbuka. Kontan saja kakiku bergerak terkomando sendiri. Kulongokkan kepalaku. Membatin aku sudah bisa mengira sosok yang tengah duduk di teras depan rumahku saat ini. Ya, sosok wanita paruh baya berdaster orange dengan rambut sebahu tergerai. Aku jadi ingat cerita salah satu tetanggaku yang ketakutan saat melewati depan rumahku. Katanya dia melihat seorang wanita bergaun panjang dengan rambut tergerai sedang berjalan-jalan di atas tanggul depan rumahku. Berbagai macam dugaan mistis terlintas dalam benak tetanggaku. Alhasil, dia tak berani lagi lewat di depan rumahku tiap tengah malam. Sungguh lucu.


"Belum tidur, Bu?" sapaku lirih dari ambang pintu. Sosok yang kusapa tak bergeming sedikit pun. Alih-alih menengok pun tidak. Pandangannya masih terjurus ke depan. Entah apa yang sedang dipikirkannya dengan tatapan kosong seperti itu. Aku hanya mampu menangkap luka di hatinya. Ya, luka akibat pendustaan anak yang ia lahirkan. Meski begitu ia masih setia menantinya pulang, sampai detik ini. Tiap kali melihat itu, rasa iri menjalari hatiku. Apa aku akan mendapatkan penantian yang sama jika pada detik ini aku tak kunjung pulang? Ah, mungkin tidak juga. Beliau tak bisa tidur nyeyak kalau anak lelakinya itu yang belum pulang. Sedangkan aku? Tak ada yang perlu dicemaskan. Aku tak pernah membuat kesalahan fatal sejauh ini.


Merasa tak kunjung mendapatkan jawaban, kutarik badanku kembali ke dalam rumah. Samar-sama tercum bau tanah tersiram percikan air. Hujan telah datang. Hmm... kunikmati sebentar bau hujan yang menyegarkan itu. Ada sensasi tersendiri saat menikmatinya. Bau hujan memang menyenangkan.


Tak lama, hanya dalam hitungan menit percikan air yang semulaberupa rintikan kecil berubah deras. Aku memutuskan untuk melanjutkan ritual malamku. Kulangkahkan kakiku ke belakang. Terlihat sosok pria paruh baya duduk di atas kursi rotan reot -- yang harusnya terbuang -- dengan televisi menyala di depannya. Keningku mengernyit sesaat mendapati tayangan yang meuncul di layar kaca. Bukan kupasan berita malam seperti yang biasa sosok itu tonton.


Bahasa Jawa kental dan orang-orang berbaju ada Jawa lengkap. Tak lupa iringan musik gamelan yang mengiringanya. Ah, wayang kulit. Tayangan yang kukira telah sirna dari layar kaca itu ternyata masih ditayangkan. Mengingatkanku pada masa kecilku dulu. Ketika tengah malam, nenekku tak pernah absen menontonnya. Stasiun tv yang menayangkannya pun hampir sama. "Itu Mantep kan?" gumamku seraya memandangi gerak dalang memainkan Rahwana yang dipegangnya.


"Iya." Satu kata terucap dari mulut ayahku, membenarkan tebakanku.


Dalang yang sudah hampir tua itu masih eksis rupanya. Suara dan kelincahan memainkan benda berbahan kulit itu masih sama. Ki Mantep Sudarsono, berbaju biru, berblangkon coklat. Persis saat ia melakoni iklan salah satu obat sakit kepala. Refleks kuhempaskan pantatku di atas dipan ruang tengah. Menonton aksi Ki Mantep sejenak. Dialog berbahasa Jawa Krama membuatku harus berpikir ekstra. Untunglah ada tulisan berbahasa Indonesia yang menyertai tampilan di layar kaca. Meski begitu aku tak kurung mengerti jalan cerita yang sedang berlangsung. Kisah Rahwana dan Rama hanya itu yang dapat kutarik dari beberapa kalimat yang kudengar. Coba aku menontonnya lebih awal. Jadi, bisa mengetahui cerita secara keseluruhan. Kalau seperti ini tidak enak, aku tidak mengerti sama sekali, pikirku.


Setelah cukup puas menikmati tayangan tengah malam itu, aku kembali beranjak ke ruang belakang. Rutinitas yang umum, gosok gigi dan buang air kecil. Aktivitas yang sudah mendarah daging karena sudah terjadi sejak aku kecil. Ingatan tetang pesan yang para orang tua sering katakan masih segar dalam benakku. "Sebelum tidur jangan lupa gosok gigi dan cuci kaki. Buang air kecil juga biar nggak ngompol." Kata-kata itu begitu membekas. Padahal dulu sering kali aku mengabaikannya. Sungguh aneh.


Hujan dan gemuruh petir membuatku bergindik. Mengerikan. Aku pun bergegas kembali ke kamarku. Melanjutkan tidurku. Saat melewati ruang tamu kulihat pindu depan telah ditutup. Hmm.. penantian yang menjemuhkan berakhir dengan kehampaan. Dia tak pulang malam ini. Aku tidak yakin ibuku akan benar-benar nyenyak. Tak bisa dipungkiri meski aku terlihat tak peduli, tapi aku turut memikirkannya juga. Bahkan, aku merindukannya. Masa kecilku dengannya hanya terisi oleh pertengkaran-pertengkaran. Tak ada keakraban layaknya kakak-adik pada umumnya. Namun, satu hal yang masih membekas dalam ingatanku. Ketika dia melindungiku. Ya, aku masih mengingat saat itu. Huft, aku merindukan sosok kakakku yang dulu. Rindu sekali dan berharap ia akan kembali selayaknya dulu. Harapan yang sama yang diinginkan oleh orang tuaku.


Semarang, 08062012

http://ceritagadishujan.blogspot.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun