Kesebelasan Indonesia kalahkan Kamboja untuk menaklukan Malaysia di partai semifinal. Bagi timnas kita, "Taklukkan Malaysia adalah Price Dead", (secara meme lucu-lucuan). Maksudnya " tak bisa ditawar. Ini harga mati". Hal ini penanda demikian besar gema dan sensasi patriotik setiap laga olahraga Indonesia melawan Malaysia.Â
Sejatinya laga dalam olahraga tersebut merupakan sebuah prosesi "sakral" guna menuju keagungan dunia olahraga ; Sportifitas dan Prestasi. Namun dalam realitasnya tidak demikian. Sakralitas itu mengalami perubahan secara signifikan pada suasana, makna dan bahkan cara melakukannya ketika kedua negara serumpun dan bertetangga dekat ini dirusak dinamika politik bertetangga yang diangkat dari isu-isu kesalahpahaman, perilaku oknum dari kedua negara, dan kemungkinan adanya kesengajaan "gerakan resmi diam-diam" negara.Â
Sakralitas olahraga tak bisa terjaga secara total ketika jiwa-jiwa politik menginisiasi prestasi kedalam jargon harga diri bangsa, kemulian negara, dan gengsi sejarah diri rezim. Oleh politik, olah raga tak lagi semata sebuah prestasi pribadi atlet sebagai jiwa unggul yang mengutamakan kejujuran dan sportivitas dalam "Citius-Altius-Fortius" yakni menjadi yang "tercepat, tertinggi dan terkuat".Â
Oleh politisasi isu pula, konteks multi even olahraga bukan lagi "Yang lebih penting bukan untuk menang, tapi untuk ikut serta"--ungkapan terkenal Pierre de Coubertin, bapak Olympiade modern. Fenomena tersebut sudah berlaku mendunia.Â
Olahraga sejatinya tak memiliki bangsa atau negara secara admintrasi dan teritori. Olahraga (beserta kompetisinya) adalah milik individu si atlet di dalam bidang olahraganya. Dia membawa dirinya untuk menjadi manusia unggul yang jujur dan sportif dalam prestasinya, selanjutnya menjadi inspirasi universal bagi setiap orang menghadapi kehidupan-tanpa sengenal batas administrasi negara.
Kalaupun harus "berbangsa dan bernegara" sebagai identitas, maka cabang olahraga (Cabor) itulah bangsa dan negara si atlet. Dia mengabdikan dirinya untuk menjadi yang "Tercepat, Tertinggi dan Terkuat" bagi "bangsa dan negaranya" yakni 'Cabang Olahraga' yang ditekuninya.
Sangkarut pasang surut hubungan diplomatik Indonesia-Malaysia yang serumpun dan bertetangga sangat dekat berimbas juga pada bidang olahraga. Suara-suara arus bawah masyarakat yang terbakar rasa nasionalismenya oleh dunia politis kemudian tak lagi menjadikan mereka mampu melihat even olahraga sebagai milik si atlet, milik cabor (cabang olahraga), atau milik dunia inspirasi universal, melainkan telah jadi milik politis negara.Â
Perseteruan ini muncul tak hanya dipicu "satu buah isu politis" melainkan banyak dan kompleks dalam kurun waktu yang panjang. Isu "bendera terbalik" dengan kontroversialitas disekelilingnya hanyalah satu isu terkini dari beragam isu terdahulu yang tak pernah publik kedua negara lupakan. Jadilah politisasi olahraga sebagai bahan bakar berkompetisi olahraga yang bukan lagi diisi keinginan menjadi manusia 'spotif' sebagai penanda unggul dalam olahraga.
Dari kondisi atau suasana itu muncul semboyan "kita boleh saja kalah dengan negara Thailand, Filipina, dan lain-lain, tapi tak boleh kalah lawan Malaysia". Ketika timnas kita kalah lawan Thailand, Singapura atau Myanmar, kita tidak terlalu kecewa. Tapi bila kalah lawan Malaysia... "hadoooh..sakitnya tuh di sini!" Heu heu heu...begitulah hiperbolis suasan a perseteruan olahraga Indonesia-Malaysia.