Ini cerita yang saya rasa sangat menyedihkan dan prihatin, dimana Zahrah (18) wanita asal Tuban terpaksa melapor ke Mapolres Karangasem, Bali, karena baru sehari dinikahi oleh I Gede Karta (23), langsung diceraikan oleh suaminya itu gara-gara ibunya mendadak kesurupan. Hal ini dilaporkan Zahran ke Mapolres Karangasem di Amlapura pada hari Kamis tanggal 7 Juli 2011 kemarin. "Saya tak mengerti kok bisa seperti ini. Baru sehari kami menikah, suami saya langsung minta cerai," katanya.
Pernikahan tersebut dilaksanakan pada hari Senin, tanggal 13 Juni 2011 di rumah orang tua Karta di Dusun Kuum, Desa Ababi, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem Bali. Pada saat acara pernikahan tersebut, mendadak ibu mertuanya kesurupan dan sangat mengherankan bagi Zahrah. Hal tersebut membuat sikap pihak keluarga besar Karta kepada Zahrah berubah 180 derajat, sehingga membuat Karta mengambil keputusan untuk mentalak dan menceraikan Zahrah.
Hal inilah akibat dari perkawinan yang terlalu gampang dan murah biayanya, dengan hanya modal Rp. 10 juta, bisa menikahi wanita lain. Hanya mengundang para saksi, pernikahan dapat dilaksanakan, maka dengan biaya pernikahan yang murah tersebut, dapat dengan mudah orang menikah dan bercerai.
Bukan berarti dengan pesta pernikahan yang mengeluarkan biaya besar tidak bisa bercerai, tetapi paling tidak bisa membuat orang berpikir beberapa kali untuk bercerai.
Di suku Batak, jika ingin menikah maka banyak proses dan prosedur yang dilalui, seperti persiapan untuk acara adat dan resepsi, sehingga dibutuhkan biaya untuk biaya-biaya adat mulai dari martupol ( jika ada ), tiking marakup dan pesta adat serta resepsi dengan biaya yang tidak kecil. Pada saat ini, suku Batak kalau menikah minimal biaya yang keluar rata-rata  Rp. 50 juta. Hal tersebut yang membuat orang Batak :
- Berpikir beberapa kali untuk menikah, karena biaya yang besar dan proses adat yang ruwet.
- Berpikir beberapa kali untuk menikah lagi, karena proses adat dan biaya yang besar.
Dalam hal ini sisi positifnya adalah membuat orang Batak berpikir dua kali untuk bercerai dan menikah lagi. Selain itu, jika bercerai seseorang di mata Gereja dan adat adalah jelek, karena tidak berhasil membina rumah tangganya.
Namun demikian, bukan berarti orang Batak tidak ada yang kawin cerai, tetapi hal tersebut memberikan efek yang tidak baik secara tekanan psikologis karena dia akan menjadi pembicaraan dan namanya tidak baik di mata keluarga dan Gereja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H