Mohon tunggu...
Roni Andrian
Roni Andrian Mohon Tunggu... -

Cerpen...I love it

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Wayang Heboh: Hanoman Berulah Lagi

17 Januari 2012   00:52 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:48 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Alkisah, di suatu sore beranjak malam. Di Negeri Ada-Ada Saja. Sang lurah, Ki Semar, berjalan dengan salah satu putranya, Petruk. Mereka habis menghadiri rapat Pewayangan yang dipimpin oleh Batara Kresna, membahas Dampak Pembatasan Konsumsi BBM di istana.

Dalam perjalanan itu, mereka mengisi dengan senda gurau, saling mengejek tapi dijamin tak ada baku pukul, saling bakar atau aksi pengrusakan fasilitas umum seperti aksi-aksi demontrasi di negeri tetangga, yaitu Indonesia.

Tak lama hujan turun,. Ki Semar mengajak Petruk ngiup, mampir di suatu warung kopi, namanya Warung Kopi Idaman.

***

Nirmala sedang senyam-sennyum sambil mengaduk-ngaduk kopi. Bajunya merah muda, panjang, sopan namun tetap terkesan anggun dan cantik. Warga pewayangan menjulukinya si cantik yang judesnya setengah mati.

(Nirmala adalah seorang imigran dari negeri dongeng. Sudah 10 tahun menetap di Negeri Ada-Ada Saja setelah diusir dari istananya karena terlibat sengketa tanah oleh si Sirik).

“Ini, Ki. Monggo diseruput kopinya,” kata Nirmala lembut.

“Loh, kok bukan kamu yang minta disruput. Hehehehehe,” Ki Semar menggoda nakal.

“Papi! Aku kasih tau emak loh,” sela Petruk sambil senyam senyum.

“Tenang saja. Ibu mu paling lagi sibuk nonton Anugerah. Malam ini kan episode terakhir,” kekeh si Semar.

Akhirnya mereka pun tenggelam dalam obrolan hangat sambil menonton TV dan kacang goreng. Remote ada ditangan Ki Semar.

***

“Loh-loh. Lagi apa itu si Hanoman ngamuk di depan gedung DPRA (Dewan Permusyawaratan Rakyat Alengka)?Teriak-teriak! Pake main robohin pagar segala?” ujar Ki Semar sambil menunjuk ke kaca televisi.

“ Mudah-mudahan gak ada peristiwa obong –obongan lagi,” harapnya dalam hati.

***

Di depan gedung DPRA (Dewan Permusyawaratan Rakyat Alengka) tengah berlangsung demontrasi oleh para Hanomaners, dipimpin oleh Hanoman sendiri. Mereka bergabung dengan beberapa ormas sipil seperti Serikat Petani, Aliansi Gerakan Reforma Agraria , Konsorsium Pembaharuan Agraria , Persatuan Pergerakan Petani , Serikat Petani Kelapa Sawit, Serikat Nelayan, Aliansi Masyarakat Adat, Serikat Hijau , dan Paguyuban Petani Hutan.

Kericuhan tidak bisa di tolerir. Para “punakawan” bagian keamanan berusaha menahan serbuan massa, tapi kalah tenaga. Kesulitan-kesuliatan yang dihadapi semakin kompleks setelah HAM mulai digadang-gadang, sehingga para punakawan tidak bisa main “kasar” lagi. Paling banter main semprot air saja.

Massa tumpah ruah dijalan, memakai atribut, berteriak-teriak dan menyanyikan lagu-lagu penambah semangat. Sayang, mereka nyanyi tak dilengkapi dengan gamelan jadi “greget”-nya masih kurang.

Namun pada akhirnya pagar berhasil di jebol.

***

Kembali ke warung Idaman mbak Nirmala.

“Papi, rupanya banyak calon sinden berbakat di ibu kota. Bisa kita adakan pemilihan Sinden Idol disini. Pasti banyak yang ikutan audisi. Tinggal Papi minta tolong Den Mas Gatotkaca saja untuk sebarin selebaran dari atas,” kata Petruk.

“Hush! Si Hanoman itu lagi ngamuk. Dia nuntut hak-hak para petani dikembalikan. Bukan nyinden itu! Sembarangan kowe!” ujar Ki Semar.

“Pengen mereka yaitu mendesak DPRA segera membentuk Pansus penyelesaian konflik agraria dan sumber daya alam tanpa merevisi UU No 5 Tahun 1960. Mendesak /menghentikan segala bentuk perampasan tanah rakyat dan segera mengembalikan tanah-tanah yang dirampas kepada rakyat, serta meminta segera dilaksanakan Pembaruan Agraria Sejati sesuai dengan Konsitusi 1945 dan UUPA 1960,” jelas Ki semar dalam satu nafas.

“Wah papi hebat, bisa tahu semua plus menjelaskan dengan gamblang, lugas dan tepat guna,” puji si Petrok.

“Tepat sasaran kale,” jawab Ki Semar.  “Lha wong aku juga barusan baca dari Koran ini kok,” jawab Ki Semar menunjukkan harian “ADA-ADA SAJA POST” yang ada ditangannya.

“Hanomaners juga ndesak agar punakawan-punakawan keamanan ditarik dari konflik agraria dan membebaskan para pejuang rakyat yang ditahan dalam melawan perampasan tanah,” sambung Ki Semar.

”Berarti, masih banyak pelanggaran HAM, dong?” tanya Petruk penasaran.

“Dengar-dengar sih begitu. Rame sih beritanya kalau masih ada warga sipil yang di bedil,” jelas si Semar.

“Tapi, Pi. Di tv itu, para punakawan senyam senyum saja menghadapi massa Hanomaners yang tergolong beringas. Padahal pagar saja bisa rubuh kok,” lanjut Petruk bertanya.

“Ya eyalaaaah. Khan banyak media massa lagi nyorot. Masak mau main bak bik buk!” Semar sontak menjawab.

Di tv, siaran live masih berlanjut. Nampak gambar massa dan punakawan keamanan masih “main” dorong-dorongan. Sayang, kalau campur bergandengan tangan pasti lebih romantis.

“Akibat dari aksi demo Hanomaners, jalan lumpuh total. Kereta-kereta kuda baik yang mahal mengkilat, kereta kuda sejuta umat, kereta kuda impor  juga ada, buatan sendiri berjajar tak karuan…mengantri. Macet puool pokoknya,” jelas mbak cantik yang ada didalam televise melaporkan.

Di tengah hiruk pikuk massa yang demo, para pengguna jalan nampak kebingungan, ketakutan, cemas dan linglung. Semua campur jadi satu.

Takut terkena amuk massa atau aparat.

Cemas karena terlambat pulang.

Dan linglung akibat gas metan yang melebihi batas toleransi (akibat kencing kuda disana-sini).

Karena macet berjam-jam, kereta-kereta kuda yang terjebak macet akhirnya pada buang kotoran dan buang angin sembarangan. Susah mengatur volume knalpot.

Sepertinya PR baru bagi dinas Perhubungan Alengka untuk melakukan uji emisi agar dagelan tetap lancar.

“Cas cis cus…Cas cis cus…Cas cis cus,” sang reporter TV Loro mengabarkan sambil mengusap-usap kakinya yang terkena cipratan kencing kuda.

Polusi udara, polusi suara dan pencemaran di sepanjangn jalan tak kalah dengan pencemaran kali Ciliwung yang melegenda.

Pesing dimana-mana!

“Hm, mereka demo untuk kepentingan rakyat ya, pi. Mulia sekali hatinya,” ujar Petruk sambil angguk-anggukan kepala.

“Betul. Asalkan caranya juga benar dan terarah,” jawab Ki semar.

“Loh, maksudnya, pi?” tanya Petruk lagi.

“Eits,..jangan terburu menilai seseorang. Hati orang siapa tahu. Kita bisa lihat, demo dengan tujuan untuk membela rakyat kecil seperti di Jakarta, Makassar. Tapi, kenyataannya justru rakyat yang menanggung akibatnya. Contohnya rakyat jadi merasa ketakutan, gak merasa aman.Coba lihat dari dampak ekonominya juga. Distribusi barang - jasa pada terhambat. Akibatnya? Harga-harga pada naek karena supply and demand tak seimbang. Toh, rakyat juga yang nantinya terbebani. Apalagi aksi demo yang berujung anarki,” jawab Ki semar sambil mengelus-elus perutnya.

Saking asiknya ngobrolin si Hanomaners di TV. Di sudut meja lain Nirmala tampak bolak-balik melihat jam dindingnya dengan cemas.

“Lama bener, pakde,” gelisah Nirmala dalam hati.

“Kalau ada aspirasi, salurkan dengan cara yang benar. Merobohkan pagar gedung DPRA, memblokir jalan tol, membakar ban-ban mobil di tengah jalan, merusak traffic light. Apa secara langsung rakyat merasakan? Takut iya. Positifnya? Mimpi kalee ,” Ki Semar berbicara ringan sambil senyum kearah Nirmala yang bolak-balik melihat jam.

Barangkali ia sudah gerah atau ngantuk karena mereka berdua tidak beranjak pergi sedang hujan sudah berhenti sejak tadi.

“Dulu taon ‘66, mahasiswa pada demo menurunkan Orde Lama. Menuntut perbaikan. Pemerintahan yang bersih atau apalah terserah. Begitu ORLA jungkir balik dan sebagian dari orang-orang itu pegang jabatan. Kok malah mereka berlomba-lomba korupsi. Piye toh iki?” ujar Ki semar lagi.

“Iya iya pak. Jadi inget. Hanoman yang tukang teriak-teriak juga sering nyolong pisang tetangga kok.. Kadang-kadang juga ikutan mabok,” kata Petruk sengit.

“yah namanya juga Hanoman,” sela Ki Semar.

“Coba kita bareng-bareng belajar dari peristiwa kali ini. Belajar menyalurkan aspirasi dengan baik dan elegan. Mencari simpati masyarakat tidak harus dengan kekerasan. Memaksa orang mendengar kita justru bisa jadi bumerang. Kalau bicara kita  baik dan sopan, pasti kita banyak mendapat empati.Di sisi lain, perlunya pembelajaran untuk menerima kritik orang lain, apalagi kritik yang  membangun. Toh mendengar itu tidak ada salahnya,” nasehat Ki Semar sembari melihat jam.

“Nanti kalau kamu bebas dari tugas negara nge-babu Den Mas Arjuna, kamu bebasmemilih impian. Mau jadi direktur, pengusaha, pegawai negeri, atau jadi Pak Presiden kek…Tapi posisi terakhir itu baru kosong tahun 2014 nanti,” nasihat Ki Semar.

“Jadilah orang yang mau mendengarkan kritik. Input hendaknya di renungkan, diresapi. Win-win solution itu berat tapi harus diusahakan,” tutup Ki Semar.

Beberapa saat kemudian, Ki Semar terperanjat melihat jam tangannya.

“Waduh. Berapa mbak semuanya?” tanya Ki semar terburu-buru.

“Ambil saja kembalinya,” Ki Semar menaruh uang diatas meja dan tiba-tiba pergi sambil berlari kencang. Lupa kalau anaknya masih melongo.

“Ayo, Pet (maksudnya Petruk). Cepetan Pulang!” teriak Ki Semar.

Sontak Petruk menyusul ayahnya yang terbirit-birit.

Tiba-Tiba terdengar suara wanita berteriak kesal merintih. Parau, berat dan serak merayu bintang.

Itu bukan mbak Hantu Kesot Jadi-Jadian saat di”cium” sepatu pak Satpam di depan lift.

Atau suara wanita yang tengah diperkosa oleh supir angkot di Jakarta.

Tapi itu suara Nirmala. Rupanya sinetron “ANUGERAH” sudah habis.

Sumber gambar: http://gabusanartpark.wordpress.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun