[caption id="" align="aligncenter" width="403" caption="dok.youtube.com"][/caption]
"Aristotandyo..?"
"Hadir, Bu Har,!" sahut yang punya nama, malas-malasan. Huh, mengapa sih setiap dosen bila absensi atau periksa tugas selalu memanggil nama mahasiswa dengan mengurut abjad? Bosen kan, jadi kelinci pertama, korban percontohan melulu,!" rutuk Aristotandyo dalam hati.
"Ayo, bawa ke depan tugas matektur IV-nya,!" lanjut Bu Hara, kedua bola mata dibalik bingkai klasik Cartier lensa Rodenstok-nya cermat mengawal gerak tubuh Aristotandyo yang mulai beranjak setengah terpaksa.
[caption id="" align="aligncenter" width="393" caption="Dok. Kaskus.co.Id"]
![Dok. Kaskus.co.Id](https://assets.kompasiana.com/statics/crawl/557b245724a9d5ca688b4568.jpeg?t=o&v=770)
"Bret! Sret! Buk!Clap! Psst..nssst..," seketika terjadi kesibukan dalam kelas.
Buku-buku dibongkar.
Diktat-diktat dibolak-balik.
Bisik-bisik disana sini.
"Atmowidodo Sianipar..," Bu Hara tak peduli pada bisak-bisik kepanikan yang melanda seisi kelas, tetap melanjutkan absensi sekaligus menagih tugas. Wajib untuknya menjelma menjadi juru siksa tersadis bagi para mahasiswa di semester-semester awal. Bersedia disiksa atau akan bertemu dengannya lagi tahun depan, alias mengulang mata kuliah.Baginya, semuanya itu terserah si mahasiswa.
Menurut Bu Hara, ada baiknya para mahasiswa yang lembek-lembek segera pindah jurusan saja, karena sekolah Arsitek lebih berat daripada sekolah tentara. Dalam Arsitek, keindahan adalah sesuatu yang harus bisa dihitung dengan angka-angka yang pasti!