Seni menciptakan suasana penuh kebahagiaan harus dilakukan setiap anggota keluarga setiap hari. Yang memiliki kewajiban untuk membuat suasana tenang dan damai bukan monopoli seorang isteri (ibu). Ayah dan anak-anak juga mempunyai andil. Apa jadinya bila ayah dan ibu tak pernah atau jarang berkomunikasi. Ayah dan anak bahkan bertemu saja tidak apalagi berbincang-bincang. Ibu dan anak memang lebih sering berkomunikasi dibandingkan dengan ayah dan anak.
Tidak ada komunikasi antar anggota keluarga akan membuat hubungan semakin jauh. Satu sama lain tidak memiliki keterikatan batin. Semua memikirkan dirinya sendiri dan sibuk dengan dunianya masing-masing. Meskipun tinggal satu rumah, ternyata ada juga yang antara suami dan isteri tidak berkomunikasi secara intens. Kalau berbicara seperlunya saja. Seandainya anak-anak tidak ada masalah, dianggap tak perlu bicara panjang lebar. O, o, ternyata yang ini keliru besar.
Untuk anak-anak maksimal tingkat SLTA, ibu sering berkomunikasi dengan mereka. Minimal kalau mau sarapan, makan siang atau makan malam selalu menawarkan pada mereka. Atau, bila hubungan ibu-anak ini begitu akrab pasti anak akan melakukan komunikasi yang lebih. Bahkan anak sekarang tidak malu curhat pada ibunya kalau hubungan mereka dekat. Anak merasa nyaman ngobrol dengan ibunya, baik anak laki-laki maupun perempuan. Ibu juga akan merasa kalau anaknya lebih percaya pada ibu daripada pada temannya.
Akan tetapi ada juga yang ibu dan anak berkomunikasi dalam keadaan tidak santai, tidak penuh kebahagiaan. Komunikasinya dalam suasana panas, ibu marah, anak marah. Kadang ayah juga merasa harus berkomunikasi dengan anaknya kalau beliau pas marah.
Orang tua lupa, dalam keadaan marah kita bukannya memberi nasehat melainkan melampiaskan kemarahan. Anehnya, pada saat marah inilah orang tua merasa anaknya tidak patuh dan membantah. Banyak kita temui, anak lebih nyaman berada di luar rumah di lingkungan yang mau menerima keadaan dia. Anak tidak betah berada di rumah karena di rumah sendiri dia merasa tidak nyaman.
Berbeda kalau antar anggota keluarga sering berkomunikasi. Ada obrolan kecil yang bisa mengakrabkan hubungan ibu-ayah, ibu-anak, ayah-anak dan ayah-ibu-anak. Mungkin obrolan itu tidak penting-penting amat.
Contoh, seorang anak TK mengajak bicara ibunya. Anak tersebut mulai melontarkan sebuah kalimat. “Ma, kasihan pak tani. Padinya ambruk. Hujannya deras. Kok padinya bisa ambruk?”
Dari obrolan kecil ini, bila ibu menjawab pertanyaan si anak dan anak puas maka ibu juga merasa senang bisa berbincang-bincang dengan si kecil. Kadang anak-anak bercerita tidak membutuhkan tanggapan dari orang tuanya secara berlebihan. Perhatian orang tua sekedar menjawab cukup yang dibutuhkan saja. Karena pada dasarnya anak hanya butuh didengarkan omongannya.
Pada saat santai, waktu luang, situasi nyaman dan memungkinkan untuk berbicara, inilah saat yang tepat bagi orang tua menasehati anak. Anak akan beranggapan diajak diskusi (bukan dinasehati). Akan tetapi kalau orang tua menasehati saat marah, kesannya bukan memberi nasehat melainkan memarahi bahkan memojokkan. Sama-sama memberi nasehat, ajaklah anak ngobrol di kala suasananya santai penuh keakraban.
Ternyata anak akan mengingat-ingat nasehat orang tua sebagai kebaikan dan anak akan menuruti apa yang disampaikan ibu dan ayah. Kalau pesan yang kita sampaikan ke anak berkenan maka orang tua mudah sekali untuk membentuk anak. Anak akan diarahkan sesuai keinginan orang tua juga akan gampang.
00000