Mohon tunggu...
Nico Andrianto
Nico Andrianto Mohon Tunggu... -

Bersyukur dalam kejayaan, bersabar dalam cobaan......

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pagelaran Wayang Kulit di National Gallery of Australia

8 September 2011   00:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:09 454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tanggal 21 Mei yang lalu, James O. Fairfax theatre dalam area National Gallery of Australia, Canberra menjadi host pagelaran wayang kulit berjudul “Bima in the forest of Marta” atau “Babad Wanamarta”. Ruangan berkapasitas 300 tempat duduk tersebut dipenuhi oleh penonton yang bahkan rela berdiri di sisi-sisi ruangan, di balkon, tiduran atau duduk-duduk di bantal di samping panggung. Serasa memindahkan suasana pedesaan Jawa tiga dekade yang lalu ke Australia, Ki puppet master Dr. Joko Susilo didukung Ngesti Budaya Gamelan ensemble yang di-kendang-i oleh Soegito Hardjodikoro menjadi bintang pada acara budaya sore itu.

Wayang versi Jawa dipertunjukkan di sebuah layar putih/“kelir” didepan sorot lampu yang ditonton di sisi sebaliknya sehingga disebut wayang (bayang-bayang). Bersumber kisah Mahabarata atau Ramayana, wayang Jawa menceritakan Pandawa melawan Kurawa yang merefleksikan nilai-nilai filosofi kehidupan pertarungan antara kebenaran melawan kebathilan. Dimainkan oleh ki dalang dalam beberapa fragmen, figur-figur wayang bisa berdialog, bermanuver, berperang, dilengkapi dengan berbagai senjata atau kendaraan. Percakapan dibuat dengan suara berbeda antar tokoh, diselingi humor, petuah, tembang, suluk, membuat wayang kulit sebuah hiburan populer di Jawa.

Dalam pertunjukan sore itu diceritakan upaya Pandawa untuk mempertahankan eksistensi mereka akibat perseteruannya dengan Kurawa. Karena kehilangan kerajaan dalam sebuah perjudian akibat bujukan Kurawa, Bima bermaksud membuka wilayah baru Pandawa di hutan Marta. Upaya itu banyak menemui rintangan, melewati gunung, hutan, sungai, goa-goa, dan terutama tantangan dari kalangan para raksasa penghuni hutan Marta. Sesaat setibanya di hutan Marta, dua tokoh antagonis, raksasa dan Togog menghalangi upaya Bima itu dan terjadilah percakapan:

Raksasa           : “Good, day mate. How are you?”

Bima                : “I am Bima. And You?”

Raksasa           : “My Name is Muhammad Umam, from the Indonesian Embassy in Canberra”.

Bima                :  And you at the back, what is your name?”

Togog              : “Are you talking to me?” (penonton: hahahaha), My name is Gatot Subroto, (penonton: hahahaha) also from the Indonesian embassy” Oh, lot of staff in here.

Raksasa           : “Look, listen Mate, you can’t do that”, “What do you think you are, what do you think you’re doing?”, This is a conservation forest, so by the name it is an animal place and you just cut all the trees. Well, Julia Gillard will upset to you. (penonton: hahahaha)

Bima                : “I just want to make a home for my family”.

Togog              : “Nnnooo, you can’t do that, body. You can’t. Go back to your country. Go back where you from, Mate. Hehehe, Where is your passport (penonton: hahahaha), have you got a visa? (penonton: hahahaha), you speak English?, you must speak English if you came to the English speaking country. (penonton: hahahaha)

Raksasa           : You are just like John Howard.  (penonton: hahahaha)

Bima                : Well, I have to pay my job, clean up this forest and build up for my family.

Togog              : If you do not stop what you’re doing right now, you will become our dinner. (penonton: hahahaha). I will put your body, man, put view sauce, and skin you and make sure paid tend your meat, and put a sauce, pepper, and soup …. and ehh. Ooh, look at that, You are like a Rugby player”.

Raksasa           :  If you do not stop, you will meet your death.

Bima                : Bring, it on. (penonton: hahahahahahaha)

Penonton terbius oleh pertunjukan langka ini. Mereka tak beranjak dari tempat duduknya selama lebih dari 2,5 jam, bahkan standing ovation meledak selama lebih lima menit. Banyak diantara mereka berhamburan ke panggung dan menanyakan berbagai hal mengenai wayang kepada ki dalang dan para penabuh gamelan yang beberapa diantaranya juga bule Australia. Mereka menanyakan bagaimana cara memainkan gamelan, bertanya tentang figur-fugur wayang atau sekedar ingin berfoto bersama dengan latar belakang “kelir” wayang.

Selain beberapa pegawai KBRI, beberapa bule ikut menjadi “nayaga” atau penabuh gamelan yang terdiri dari saron, rebab, gong, kendang, bonang, dan kenong. Salah satunya adalah Pak Bill, seorang bule keturunan Belanda kelahiran Indonesia yang berimigrasi ke Australia. Dari pengakuannya, mereka berlatih selama dua minggu untuk mempersiapkan pentas kali ini. Beberapa kesulitan berhasil diatasi dalam sesi latihan, meskipun diakuinya tidak ada sinden. Pertunjukan kali ini dipersiapkan dengan sangat baik, seperti adanya script di bawah kelir yang dibaca ki puppet master.

Gamelan dan wayang yang dipakai berasal dari KBRI di Canberra, sehingga tidak perlu mendatangkan dari Indonesia. Membawa wayang ke Australia tentu tidak mudah secara imigrasi karena wayang adalah produk olahan dari kulit binatang. Kelir pertunjukan berukuran lebih kecil dari ukuran normal. Karena keterbatasan pula terpaksa wayang-wayang itu ditancapkan di stereoform, bukan pelepah pisang. Tentu tak ada blencong dari nyala api atau pawang hujan, karena pagelaran diadakan di dalam gedung dengan tata cahaya dan suara yang excellent.

Bagi orang Indonesia di Canberra, pertunjukan wayang tersebut adalah sebuah nostalgia masa kecil, sementara bagi warga Australia adalah eksotisme budaya timur yang kaya dan penuh filosofis. Pertunjukan sore itu benar-benar berubah menjadi duta kebudayaan Indonesia dalam cara yang menghibur, sebuah keberhasilan soft diplomasi Indonesia. Peristiwa itu seperti mengulagi keberhasilan Sunan Kalijogo menggunakan wayang sebagai sarana dakwah, menyampaikan pesan-pesan islam kepada masyarakat jawa beberapa abad yang lalu.

Dalang bisa menyelami budaya Australia dan membuat penonton terkesima dengan humor-humor khas Australia-nya. Suaranya merdu seperti Ki Anom Suroto, sementara sabetannya mirip Ki Manteb Sudarsono. Dialog menggunakan bahasa inggris yang dimengerti oleh audien Australia, meskipun suluk dan tembang masih dalam bahasa Jawa. Karena terbatasnya waktu, tentu pertunjukan kali ini tidak persis pertunjukan wayang semalam suntuk. Pakem wayang misalnya goro-goro tetap hadir meskipun dipersingkat. Dalam situsnya, ki dalang jebolan STSI Solo yang menetap di New Zealand ini berpengalaman membuat wayang Karetao negeri Kiwi, wayang Cuchulain, Skotlandia dan juga beberapa pertunjukan serta kolaborasi seni di Amerika Serikat, Inggris, New Zealand dan Australia.

Terdengar di tengah pertunjukan beberapa anak kecil menangis disindir ki dalang akan dimakan oleh raksasa yang suka makan anak-anak yang berisik. Sepertinya banyak publik Australia sudah familiar dengan wayang. Pernah penulis melihat wayang di musem nasional Australia dimana beberapa anak bule mencoba memainkan gamelannya. Anak-anak bule serta orangtuanya banyak mengenakan batik atau kebaya Jawa dalam pertunjukan itu sepertinya menunjukkan kecintaan mereka akan budaya Indonesia. Pertunjukan wayang kali ini adalah sebentuk diplomasi budaya yang cukup berhasil. Wallohu a’lam bissawab.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun