Mohon tunggu...
Muhammad Wislan Arif
Muhammad Wislan Arif Mohon Tunggu... profesional -

Hobi membaca, menulis dan traveling. Membanggakan Sejarah Bangsa. Mengembangkan Kesadaran Nasional untuk Kejayaan Republik Indonesia, di mana Anak-Cucu-Cicit-Canggah hidup bersama dalam Negara yang Adil dan Makmur --- Tata Tentram Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi. Merdeka !

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Wayang Kontemporer (05) Sabda Batara Kala kepada Dhalang Tukidjan

11 Februari 2010   10:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:58 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Pitut telah lima hari di rumah Karang Jati, rumah itu sebagai tukar rumah di Watu belah --- rumah itu mereka tempati agar mudah merawat Mbah Tukidjan, yang  telah mengalami sakit tua.  Ada trayek angkot melewati jalur jalan di depan rumah itu, sehingga mudah membawa mbah apabila  ke dokter di kota.

 

Melewati malam ketiga setelah mbah meninggal.  Pitut selalu terbangun malam-malam karena mendengar suara orang berbicara. Malam lalu ia menganggap itu suara orang ronda saja. Tetapi malam ini suara berat itu sekali-kali bersahutan seperti yang seorang mengiyakan  si Suara Berat.

“Jan, kamu telah memainkan aku sebanyak 1.356 kali seumur hidupmu --- aku sangat berterimakasih, aku menjadi sangat mengerti bahwa manusia sangat kuatir dan takut pada bencana.  Tetapi aku ditakdirkan untuk memangsa  manusia.  Cuma bapak-ku Batara Guru memberi berbagai syarat yang membatasi keserakahan-ku.”

”Ya pukulun. Juga kami diberikan mantra untuk membatasi kebuasan pukulun.”  Terlihat Pitut, bahwa Dhalang Tukidjan bersudjud ke arah dinding, seperti seorang abdi menghadap tuannya.

“Kemarin sepintas aku memberimu aba-aba bahwa aku ingin memberi wejangan kepadamu --- agar kamu mempunyai kesempatan untuk meneruskan peranmu sebagai dhalang buana. Memberikan ajaran moral dan peringatan bagi manusia. Syukur malam ini kamu datang Jan !”

 

Mbah Tukidjan tidak bergerak ia tetap dengan posisi menyembah, seperti seekor labi-labi di dalam keremangan ruangan. Sedang Pitut mengintip dari sebalik gorden antara ruang tamu dengan ruang keluarga. Di kedua ruangan ini memang banyak tersimpan pusaka dari Eyang Uyut Tukiyo yang berhasil merantau ke Deli sebagai kuli kontrak. Jadi suasananya memang sangat magis.  Ada sepeti wayang kulit yang telah dimiliki keluarga itu  sejak tahun 1869. Sejak Eyang Uyut  Tukijo berhasil menjadi centeng perkebunan tembako di  Deli.

 

“Jan, aku mau kamu tetap dikenang sebagai dhalang buana --- syukur malam Jum’at Kliwon ini kamu datang. Begini Jan. “  Hening .

Tidak ada kelanjutan suara berat itu.

 

“Jan, aku mau kamu memberitahu bangsa-mu --- arahan ini kuberikan kepada anak cucumu, cicitmu --- karena jasamu menghidupkan peranku dalam setiap pertunjukan wayang untuk ruwatan, lakon Murwakala  untuk keselamatan. Begini Jan.”   Hening kembali. 

 

Diberanikan Pitut untuk menjulurkan kepalanya lebih dalam ke ruang tamu.  O, terlihat dinding tempat Ki Dhalang Tukidjan mengarahkan sembahnya. Ada seorang raksasa berdiri hampir kepalanya menyundul pian.  Matanya bersinar merah, terkadang ada kilas giginya yang putih.

“Jan, aku sadar aku harus menyayangi anak cucu dan cicitmu Jan “  Suara itu datar tetapi berat. Intonasinya seperti orang akan menyampaikan berita simpati.

“Jan ada tujuh bencana akan menimpa bangsa-mu Jan --- aku beri penangkalnya, teruskanlah berita ini kepada anak-cucumu dan cicitmu. Bencana itu Jan, mengerikan !”

“Apa  tujuh bencana itu pukulun. “ Terdengar suara mbah Tukidjan bergetar, tetapi ia tidak mengangkat wajahnya. Hening sekali malam Jum’at itu. Suara jangkrik saja tidak ada, barangkali sekali-kali ada suara angin menggesek daun dan ranting yang berderik.

 

“Pukulun apa itu bencana yang tujuh ?”

“Dengar Jan.  Pertama bencana kelaparan, kedua bencana kemiskinan, ketiga bencana keruntuhan moral yang sekarang sudah di tahap sangat mengkuatirkan., ke-empat bencana ketidak mampuan bangsa-mu mengelola negara, ke-lima bencana ditaklukkan negara lain dengan cara yang baru karena kelemahan ideologi bangsamu, ke-enam kehancuran budayamu karena kalian hanya menjual tetapi tidak bisa mencipta, ke-tujuh negeri-mu kembali terpecah-pecah seperti jaman dulu karena kalian tidak mempunyai cara yang cerdas membentuk pemerintahan yang mempersatukan.”  Terdengar isak tangis mbah Tukidjan sesegukkan.  Hening kembali.

 

“Bertindaklah Jan, cepat dan cerdas, tangguh dan tandon, hemat dan cermat, toto-titi-taberi lan telaten.  Sebarkan ilmu Sastra Jendra Hayu ning Rat ! ”  Tiada tanggapan dari mbah Tukidjan. Hening.

“Ingat empat saudara dalam Ilmu Sastra Jendra Hayu ning Rat itu.”  Hening.

 

Sepi tetapi di kejauhan mulai terdengar suara kokok ayam jantan.  Ayam kampung dan ayam bekisar.

“Jan, di dunia saat ini satu milyar manusia kelaparan --- mereka pelan-pelan mati, mati kelaparan, di negeri-mu pun ada Jan. Jan kamu sombong seolah-olah kalau ada uang bisa membeli pangan , jangan Jan.  Bangsa-mu harus mempunyai Ketahanan Pangan yang mandiri. Cepat bertindak  Jan.  Pertanian dan Kelautan Jan !” Suara berat itu bergema waktu menyebutkan pertanian dan kelautan --- karena di laut kita jaya, tetapi nelayan asing beroperasi semena-mena.  Mereka menyiapkan kapal pabrik pengalengan hasil tangkapannya. Langsung ekspor rek !.

“Tukijan, nelayan asing itu Jan menertawakan bangsa-mu Jan. Mereka tidak takut Jan kepada-mu. Rawat dan ruwat-lah kapal perangmu Jan, kalau memang ada --- personelnya diruwat jangan membuat tindakan kualat !”  Di telinga Pitut terdengar deru ombak dengan latarbelakang musik Kitaro --- yang gendang dan gong-nya menggema. Tergambar orang Vietnam, orang Thailand, orang Taiwan, orang Jepang ----- o itu ada juga orang Myanmar menari-nari di atas kapal nelayannya.  Orang Myanmar ?  Kalau kapal nelayan Cina pantaslah mereka memang bangsa super. Kita harus takutlah.

 

“Pukulun apa lagi yang harus diperbuat bangsaku ?”

“Kemiskinan Jan --- bilang pada Pemimpin-mu, cukup dengan menghantam korupsi sampai keakar-akarnya.  Tiru Cina.  Tebas satu generasi birokrat yang korup.  Korupsi hilang. Ekspor akan naik, pajak akan naik, industri tumbuh, investasi tumbuh, anggaran cukup, birokrat akan efisien, rakyat akan sehat, buruh dan petani sumringah.  Pokoknya Pendapatan aman dan Pengeluaran pun aman !” Hening kembali ditingkah kokok ayam makin mendekat.

“Jan, moral bangsamu di mana pun ia mengabdi kini sangat merosot --- apa yang bisa diharapkan pada abdi negara, prajurit  tamtama, dan para perwira yang semangat tempurnya tidak berkobar ?  Produktivitas bangsa-mu rendah, daya saing bangsa mu rendah --- jangan dengarkan pujian konsultan asing. Atau pemimpin negeri asing.   Kamu sendiri  yang harus berani menilai, mengevaluasi, memperbaiki.  Perbaiki dengan Revolusi Budaya --- bangsamu telah tertinggal sekali.  Sumber alam-mu tidak berarti apa-apa bila moral rendah, produktivitas rendah, daya saing rendah.  Angka ekspor bangsa-mu separohnya angka ekspor bangsa Singapura. Tahu ?!”

 

Terdengar kembali tangisan mbah Tukidjan.

“Segera perbaiki metode bernegara. Bukan saja metode kerja di organisasi yang ada saat ini. Rombak struktur menuju efisiensi waktu dan pencapaian sasaran. Itu namanya Budaya kerja harus dirombak. Setelah moral diperbaiki dan metode kerja diperbaiki ---dengan segera ! Itu namanya Revolusi Budaya”

 

“Jan, kamu boleh menangis memang bangsa-mu harus menangis, karena bangsa lain menertawakan bangsamu !.  Kalis sambi Kolo !

Bangsa-mu tidak kokoh, kalau cara mengurus negara sepanjang limatahunan begini. 20 kali berarti seabad. Tahun 2045 Indonesia seabad merdeka. Menangislah kamu semua, kalau bangsamu tidak maju-maju.”

 

            “Militer kamu tidak mandiri dalam persenjataan, metode ketrampilan tidak disesuaikan dengan  Pertahanan Rakyat Semesta, rakyat tidak terlatih mempertahankan setiap jengkal negerinya --- bagaimana mau perang seratus tahun lamanya?  Kalau metode logistik juga tidak sesuai dengan alam nusantara. Mana ideologi bangsamu yang menyatu padukan, bahwa mereka tidak akan menyerahkan walau sejengkal tanah airnya.  Mana dan dimana ideologi-mu ?  Sampai berapa kuat terpadu dalam dada setiap warganegara ?  Kalau senjata moral dan budaya bangsamu tidak kuat.  Bangsamu akan ditakluk-kan.   Bangsamu kembali menjadi bangsa kuli dan konsumen belaka.

 

            “Jan, warisan Budaya nenek moyang boleh kamu bangga-banggakan, boleh kamu jual.  Tetapi mana Budaya baru-mu ?  Mana Budaya modern-mu ?

Budaya baru yang menjamin kelestarian kehidupan bangsamu, perkembangan budaya modern bangsamu ---- ke mana strateginya ?”

 

            “Jan cegah segera ke-enam bencana itu agar jangan terjadi bencana ke-tujuh. Tammatnya NKRI !   Cepat kerjakan restorasi  seperti Jepang melakukan “Meiji Restorasi “  tanggal 3 Januari 1868 --- Meiji Restorasi adalah revolusi kebudayaan Jepang, yang menyatukan semua potensi menuju Jepang yang modern.  Hanya dalam satu generasi, Jepang berhasil dari negeri retrogresif menjadi negeri progresif,  modern dan unggul di dunia “

 

            Terdengar suara adzan --- bersamaan dengan lenyapnya kedua tokoh itu. Batara kala dan Dhalang Tukidjan yang sudah almarhum.

Pitut bingung bagaimana cara mbahnya, Dhalang Tukidjan akan menyampaikan wejangan simpatik “Tokoh Bencana” , Batara Kala yang bersimpati kepada bangsanya. Allhu A’lam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun