Mohon tunggu...
Muhammad Wislan Arif
Muhammad Wislan Arif Mohon Tunggu... profesional -

Hobi membaca, menulis dan traveling. Membanggakan Sejarah Bangsa. Mengembangkan Kesadaran Nasional untuk Kejayaan Republik Indonesia, di mana Anak-Cucu-Cicit-Canggah hidup bersama dalam Negara yang Adil dan Makmur --- Tata Tentram Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi. Merdeka !

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Serial Wayang Kontemporer (03) Wisanggeni mendamprat Prabu Duryudono

19 Januari 2010   23:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:22 786
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Syahdan dalam pengembaraan mencari Sang Ayah, merasa lelah lantas mengaso di bawah Bringin Kurung di Alun-Alun di Kerajaan Betaviala. Angin sumilir menidurkannya hingga menjelang senja. Itu pun terbangun karena kakinya yang menjulur ke arah Beteng Lor, disandung oleh kaki Sang Kanthongbolong, hingga anak Semar itu jatuh tersungkur terguling-guling. Kedua manusia itu sama terkejut.

“He, siapa kamu, di mana matamu kok menabrak orang lagi tidur”demikian tegur Wisanggeni kepada Kanthongbolong

“Maaf den, aku Kanthongbolong alias Dawala alias Dublajaya alias Pentungpinanggul alias Petruk---maaf den aku lagi bingung kelanganpetel, aku sudah menyinggahi banyak negeri, kota dan kerajaan---petel-ku belum juga ketemu “sembah Petruk kepada Wisanggeni

“Petelmu hilang, ‘ja kuatir ganti baru ---nanti kubelikan”

“Jangan den petel itu sangat bertuah, lama telah mengiringi pengabdian saya kepada para kesatria yang jujur dan sakti”

“Baiklah, negeri mana saja yang telah kamu singgahi ?”

“Den negeri ini namanya Betaviala—sebelumnya aku mampir di Kerajaan Pancala, sebelumnya lagi Matswapati, sebelumnya lagi Khadiri, sebelumnya lagi Rambipuji, sebelumnya lagi Kerajaan Astina, sebelumnya lagi Kerajaan Dwarawati, sebelumnya Kerajaan Amarta sebelumnya lagi desa-ku Tumaritis “

“Begitu luas daerah yang dijajahi, petelmu belum ketemu ?”

“Belum den—aku den, sejak dari Astina, pikiran-ku bertambah-tambah gendheng. Bukan saja masalah kehilangan petel, tetapi jadi tambah sedih, benci, dan marah den—karena Raja Duryudono alias Suyudono lagi kesrimpet tali temali kedunguannya sendiri. Dia mabok kekuasaan Den. Dia jadi ‘orang aradan’, jadi orang yang lalai dalam peri kehidupannya.”

“Bagaimana persoalannya ?”

“Memang Astina adalah bakal lawan tuanku Pandawa dari Kerajaan Amarta, tetapi kalau belum waktunya perang—rakyatnya lapar aku berduka—walau Bratayuda akan berkecamuk dengan segala persenjataan, tetapi kalau prajurit Astina tidak mempunyai pedang dan tameng, aku prihatin, karena perang tidak seimbang—aku benci Kurawa bersenang-senang saja, sedang Kurusetra sudah di depan mata menginginkan darah tertumpah, baik pengorbanan dari rakyat jelata, prajurit, maupun para ponggawa dan kesatria---kalau tidak ada rasa prihatin dari Duryudono dan para Kurawa, aku tidak ikhlas pengorbanan kedua belah pihak pada perjuangan peperangan yang dijanjikan tidak frontal, baik senjata lahir maupun senjata bathin dan rohani”

E Kanthongbolong.Apa urusanmu dengan kedunguan Duryudono. Ha ?”

“Aku mencari petel-ku, lantas ketemu dengan masyarakat tani miskin, pengemis, anak jalanan, para panji klantung, orang cacat, penganggur, pemulung dan rakyat jelata Astina---mereka menangis, menangis mereka bercerita ; kami lapar, kami lapar, kami miskin, mengapa mempersiapkan perang Bratayudha – Raja kami Duryudono malah membeli gajah putih mahal dari Afrika untuk dirinya dan menteri-menterinya, dan sejumlah kuda putih arab yang mahal untuk seluruh adik-adiknya para kurawa yang berpuluh-puluh orang itu “

“O begitu yang mengganggu pikiranmu Kanthongbolong ?Apa urusanmu para Korawa dan Duryudono ingin bermewah-mewah ?”

“Itu tadi den—perang Bratayudha yang dijanjikan menjadi tidak adil Den !”

“O begitu—mari Kanthongbolong. Tunjukkan jalan ke Astina, biar aku labrak si Duryudono !”

Perjalanan itu dimulai kesatria Wisanggeni dengan pengiringnya punakawan Petruk alias si Kanthongbolong.Byar-byar-byar-dok-dok.

Byar-byar-dok-dok. Bukan main serunya langkah kedua manusia itu menuju Astina.Hutan, ladang, sawah, belukar, kota dan desamereka lewati.Gunung, bukit, lembah dan ngarai mereka daki dan turuni.Makin dekat ke Astina makin banyak rakyat jelata mengikuti barisan Wisanggeni dengan Sang Kanthongbolong. Sampailah mereka di Alun-alun Astinapura. Wisanggeni melompat ke atas Gapura Istana.

“Oii, Duryudono—kemari kamu keluar ! “

Puluhan prajurit dan ponggawa mengepung dan mengeroyokWisanggeni. Wisanggeni hancurkan semuanya.Pengawal, perabot, gorden, semua dijungkir balikkan dan dirobek-robek.Duryudono, Duryudono, di mana ko’e, ha !

“Duryudono, Duryudono, di mana ko’e.Ayo- aku ingin bicara sama kamu.He- Duryudono !” Wisenggeni yang hatinya jengkel bertambah jengkel. Dia ingin berduel dengan para kurawa sesegera mungkin. Kemudian keluar Kurawa sepuluh orang dipimpin oleh Kundasayin.Tidak lama bersilatan mereka melawan Wisanggeni.Tampil lagi Kurawa duapuluh dipimpin Durmuko dan Durmanobo. Bablas kabeh bergelimpangan.

“Het, het, het, dedemit kamu kurang ajar memplintir ---memplintir---memplintir “datang Dursasono maju jurit.

Perang tanding Wisanggeni dengan Dursasono seru sekali---dia memang andalan Prabu Suyudono,diutus tanding dimana-mana. Tetapi orang yang benar tentu dapat mengalahkan manusia kardus yang tidak benar.Dor bletak brak. Satu pukulan di kepala Dursasono, terpental dan di-injak sekali rusuknya.Pingsan-koma.

Prabu Suyudono terperanjat di singgasananya.Kesatria pantang melarikan diri.

“He bocah apa sebenarnya kepentingan-mu membuat rusuh di negaraku, Astina ?”

“Aku Wisanggeni datang dari Mayapada---membawa kejengkelan, tiba di Arcapada aku tambah jengkel. Manusia memiskinkan sesama manusia, yang diberi wewenang lupa diri mengurus kawulanya---lebih mendahulukan melanggengkan kekuasaan-nya. Aku tidak peduli syah apakah tidak kekuasaanmu. Tetapi para Dewa telah menitahkan bahwa kekuasaan-mu akan dipertaruhkan dalam Perang Bratayuda “

Prabu Suyudono alias Duryudono termangu mendengar orang Mayapada bicara soal syah tidaknya ia berkuasa di Astina.

“Kekayaan alam Astina harus kamu kembalikan kepada rakyatmu.Mereka saat ini banyak yang lapar, menganggur, miskin, menjadi panji klantung mengakali semua sisi kehidupan di kerajaan ini.He Duryudono aku tidak bicara apakah kamu memperoleh Pulung, Wahyu, Andaru, Teluh Braja apa Guntur untuk mendapatkan Astina. Derajatmu aku tidak peduli !Tampak Prabu Duryudono meredupkan matanya kemalu-maluan dan mendongkol menahan amarahnya.

“Duryudono, sebelum Bratayuda---kamu harus menghindari meninggalkan enam watak jelek berikut ini :


  1. Nista, yaitu jangan bertindak jahat dan tercemar
  2. Dusta, jangan berwatak tidak jujur,panjang tangan alias korupsi
  3. Dora, yakni jangan mengingkari atau tidak menepati janji
  4. Drengki, yaitu suka dengki, tamak,panas hati, acuh tak acuh dan meremehkan masalah
  5. Angkara murka---jangan sekali-kali ya ! dan
  6. Candala, watak jelek yang suka melakukan kecurangan dan menginginkan yang bukan milikmu. Mengakui yang diamanatkan sebagai milikmu---Sesuatu yang ditemukan sebagai seolah-olah milikmu sejak lama(peg-pineg)---sehingga tidak dapat membedakan milik-mu denganmilik orang lain (baca milik rakyat)---itu namanya Colong-Jupuk !

Lupa diri Duryudono mencolot ingin menerkam Wisanggeni.Heeeat—zuup. Plak. Wisanggeni berkelit ke kanan tangannya menabok leher tengkuk Prabu Suyudono.Kliyengan.Terjatuh dan mahkotanya terlepas menggelinding.Wisangeni berdiri tegak kokoh.

“Het, Duryudono alias Suyudono—Kamu harus hemat, teliti dan cermat ! siapkan perang Bratayuda yang menyengsarakan itu---jangan sekarang kamu sengsarakan prajurit dan kawula-mu !Aku bisa membunuhmu sekarang.Tetapi kematian-mu telah ditentukan di Bratayuda.”

“Kukutuk kamu---kamu matinya dengan mahkotamu terlepas dan kepala-mu hancur digada !”

Wisanggeni sekonyong-konyong ingat “misi mencari bapak”.Wuuus, zup blas. Ia terbang menembus pian dan atap balairung, terus ke angkasa mencari negeri Madukoro.Rakyat yang berjubel melongo, enggak tahu nasibnya jadi bagaimana---gogo-goro berlalu.Kanthongbolong menyelinap melanjutkan misi mencari petel-nya yang hilang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun