Akhir – akhir ini, kehidupan masyarakat Ibu Kota Jakarta seringali diresahkan dengan perilaku para preman yang semakin massif, baik yang bertindak secara individual, berkelompok maupun teroganisir dengan kedok organisasi kemasyarakatan. Gerakan mereka tidak hanya dilakukan dengan pemaksaan dan intimidasi bahkan seringkali juga disertai dengan kekerasan fisik, manakala keinginan mereka tak bisa dipenuhi.
Selain modal tampang yang sangar, mentalitas yang berani ala preman, perangai mabuk sebagian pelaku premanisme menjadikan mereka lebih berani mengolah kata seenak udel. Acapkali menjadikan sebagian masyarakat tak bernyali, takut bertindak melawan hegemoni para preman. Keterbatasan jangkauan aparat penegak hukum, tindakan premanisme yang dapat dilakukan secara spontanitas, dan dapat terjadi dimana saja, menyulitkan aparat penegak hukum terutama kepolisian untuk melakukan penindakan setiap saat. Di perparah dengan lemahnya reaksi dari masyarakat secara kolektif membuat mereka tampak leluasa menjalankan aksi. Tak ayal kelompok preman tumbuh subur dan perilaku premanisme semakin massif terjadi.
Dalam perspektif sosiologis, munculnya tindakan perilaku premanisme sesungguhnya dapat dimaknai sebagai respons terhadap kondisi lingkungan social. Lingkungan social kehidupan Ibukota yang seringkali mempertontonkan perilaku induvidualistik, sikap acuh tak acuh terhadap orang lain, relasi sosial yang renggang dan masing – masing orang lebih menjaga self safety tanpa mau peduli dengan nasib yang dialami orang lain. Perilaku demikian, terjadi pada kebanyakan masyarakat ibu kota sehingga menyebabkan para pelaku premanisme yang berseliweran dapat bertindak dengan berani dan leluasa.
Mereka seolah tahu bagaimana perangai orang – orang ibukota ini yang cenderung individualistik dan tak peduli orang lain yang sebagian orang bahkan memaknainya sebagai identitas kehidupan moderen. Momentum inilah yang sebenarnya dimanfaatkan oleh para pelaku premanisme, untuk memperoleh materi, walau hanya sekedar menyambung hidup ditengah tekanan kehidupan dan sulitnya mencari pekerjaan memadai di ibukota. Maka seperti dikatakan “bang Napi” bahwa kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat pelaku, tapi kejahatan bisa terjadi karna ada kesempatan sebab maraknya kejahatan di ruang public bukan hanya berkaitan dengan niat si pelaku tetapi lebih karena adanya momentum yang hadirnya berbarengan dengan kesempatan. Di sisi lain, instrument Negara sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bukan hanya tak mampu menjangkau setiap tindakan premanisme tetapi juga seolah nampak ada kesan pembiaran, abai dan lalai sehingga meninmbulkan banyak praduga, mungkinkah juga mereka memiliki kepentingan yang tersembunyi dengan para pelaku premanisme tersebut.
Kejahatan premanisme secara sosiologis, diantaranya dapat diklasifikasikan sebagai tindak kejahatan ekspresif, yakni kekerasan dilakukan pelaku karena ketidakmampuan mereka mengendalikan amuk psikologis dan dendam kesumat yang berkecamuk di kepala mereka secara rasional. Walau tak semua kejahatan premanisme dapat diklasifikasikan demikian namun kejahatan premanisme yang marak di ibukota saat ini hampir sebagian besar menunjukan klasifikasi tindakan kejahatan yang ekspresif. Entah karena rasa ketidak adilan yang mereka rasakan atau sinisme tentang kehidupan mereka yang seolah menjadi labeling sehingga menjadikan mereka seringkali berpikir tidak rasional. Mereka tak mampu lagi merasakan adagium "Ubi societas ibi justicia", (di mana ada masyarakat dan kehidupan di sana ada hukum (keadilan), sebab mereka, barangakali tanpa kita sadari adalah korban dari kesemrawutan pengelolaan negeri ini.
Meningkatkan kewaspadaan dan perlindungan terhadap diri sendiri untuk menghindarkan diri dari perilaku premanisme, tentu adalah menjadi sangat penting sebagai langkah awal. Namun hal ini tidaklah sepenuhnya cukup, mengingat tindakan premanisme dapat terjadi dimana saja, yang tidak setiap saat terkontrol oleh instumen perlindungan dari negara. Oleh karena itu, salah satu cara efektif untuk menghindarkan diri dari berbagai tindakan premanisme adalah menumbuh kembangkan kesadaran social secara kolektif. Kesadaran yang nampaknya makin pudar bahkan hilang di negeri ini, padahal karakteristik kultural bangsa ini adalah cerminan kesadaran itu sendiri.
Prasolova – Forland (2002) mengemukan kesadaran social berhubungan dengan kewaspadaan seseorang terhadap situasi social yang dialami diri sendiri dan orang lain, sehingga individu menjadi dapat menjadi tahu dan menyadari hal – hal yang terjadi disekelilingnya, seperti mengenai apa yang orang lain lakukan, siapa saja yang berada di sekitar dan keadaan apa yang sedang terjadi. Dalam hal ini kesadaran social dapat dilihat sebagai presentasi individu tentang informasi yang berhubungan dengan tujuan sosialnya (Sheldon, 1996).
Kesadaran sosial merupakan hasil belajar memahami situasi atau kondisi sosial yang mampu membawa sesorang pada suatu pengambilan sikap yang berani mengambil tindakan untuk melawan unsur yang menindas dari realitas tersebut. sebuah kesadaran sosial muncul karena seseorang harus memiliki intelegensi sosial. Intelegensi ini tidak hanya sebatas kepekaan, rasa simpatik dan empatik terhadap situasi masyarakat yang sedang mengalami penindasan baik fisik maupun psikis, tetapi sebuah bentuk kesepahaman seseorang akan realitas sosial sehingga dirinya paham apa yang seharusnya dilakukan dalam menyikapi realitas tersebut (Freire, 1972 : 1).
Dalam kenyataan yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari – hari, sangat terlihat bahwa tingkat kesadaran sosial di negeri ini mengalami pemudaran bahkan bisa dikatakan perlahan – lahan sirna atau hilang. Hal tersebut dapat dilihat dari kenyataan yang terjadi di Indonesia bahwa jaman sekarang maraknya korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara, adanya kekerasan rumah tangga, perkelahian di mana-mana, warga masyarakat yang main hakim sendiri, penyuapan, makin beragamnya penipuan di masyarakat dan hal – hal lain yang berdampak negatif dalam kehidupan bermasyarakat.
Dengan melihat hal-hal tersebut diatas, tanpa kita sadari lahirnya perilaku premanisme adalah merupakan direct impact dari hilangnya kesadaran social secara substantive sehingga setiap anggota masyarakat memiliki kecenderungan untuk berbuat sekehendak hatinya tanpa memperdulikan lagi kaidah sosial yang berlaku. Apabila hal ini terus terjadi dan tidak ada usaha untuk mengubah situasi tersebut menjadi lebih baik maka dapat dipastikan bahwa kehidupan bermasyarakat menjadi tidak tentram, yang kuat akan berkuasa, yang pandai akan menguasai yang bodoh dan yang kaya akan menguasai yang miskin. Pada akhirnya yang miskin menjadi bengis dan melahirkan generasi preman.
Jika kesadaran social itu tumbuh secara efektif maka solidaritas akan terjalin dan lahir secara alamiah. Solidaritas ini menjadi penting dalam menghadapi berbagai perilaku premanisme. Saling mengingatkan, saling membantudan bersama – sama menghalau setiap tingkah pola mereka sesungguhnya dapat menghindari perilaku para preman. Secara psikologis tindakan solidaritas ini sesungguhnya sangat efektif mengingat para preman bermodal nyali dan lebih banyak bertindak individual sehingga jika saja masyarakat memiliki kesadaran kolektif untuk saling bersatu maka boleh jadi mereka tidak akan seberani itu untuk bertindak.
Lebih jauh dari itu adalah tumbuhnya kesadaran social juga dapat dilakukan dengan memberi ruang ekpresi kreatifitas yang lebih memadai kepada para preman sebagai langkah prefentif sehingga potensi mereka tersalurkan secara fungsional. Namun dimensi ini sangat tergantung dengan peran serta instrument negara dengan segala fungsinya mengikutsertakan masyarakat secara bersama – sama, terutama memastikan tanggung jawab dan kewajiban mereka terlaksanadengan baik secara secara massif.
Paling penting lagi, adanya kesadaran bahwa dalam memenuhi kebutuhan hidup, hendaknya memperhatikan beberapa aspek di masyarakat sehingga tidak menimbulkan benturan kepentingan dan peran. Masyarakat seyogianya harus menyadari bahwa masing – masing individu di dalam melaksanakan status dan peran yang disandangnya harus penuh tanggungjawab serta memperhatikan kaidah yang berlaku. Dengan menyadari bahwa ada status dan peran akan timbul rasa kebersamaan, rasa peka terhadap orang lain dan dapat saling membantu satu sama lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H